Istri Kedua?

1034 Words
-1- -Bandung- Ivana mematung di tempat dengan mata membulat dan mulut membuka. Gadis berparas cantik tersebut mencubit tangan Alisha, sang kakak yang duduk di sebelahnya. Tak peduli Alisha menggerutu karena punggung tangannya terluka karena tergores kuku sang adik. "Apa, Yah? Menikah dengan mas Zayan?" tanya Ivana, mengulangi apa yang telah diucapkan ayahnya barusan. "Iya, sekaligus menjadi menantu keluarga Hatim," jelas Pak Harja Harimurti, ayahnya Ivana. "Ta-tapi 'kan, Yah. Mas Zayan itu ... sudah menikah," lirih Ivana. "Betul, tapi karena kanker yang dulu nyaris merenggut nyawa Dahayu, jadi kandungannya harus diangkat. Beliau tidak bisa memiliki keturunan," sahut Pak Harja. "Aku jadi istri kedua?" Gadis beriris mata cokelat itu kembali bertanya. Hatinya terasa sakit karena harus menerima kenyataan pahit. Pak Harja menghela napas berat. Berpindah ke samping sang anak dan membelai rambut putrinya yang berusia dua puluh empat tahun itu dengan lembut. "Iya, Nak. Ini permintaan khusus dari bu Laila, neneknya Zayan. Beliau yang meminta ayah untuk menikahkanmu dengan cucunya." "Tapi, Yah, kenapa harus aku?" Ivana memandangi wajah pria yang menjadi cinta pertamanya itu dengan mata berembun. "Karena anak perempuan ayah cuma dua. Kakakmu sudah menikah, jadi tinggal kamu," balas Pak Harja. "Ayah paham, ini berat banget buatmu, Na. Tapi ingatlah, tanpa bantuan keluarga pak Hatim dulu, mungkin ayah tidak bisa memberikan kehidupan yang layak buat kalian," lanjut pria yang wajahnya nyaris serupa dengan sang putri. Ivana mengalihkan pandangan pada ibunya yang tengah menyusut sudut mata. Perempuan yang usianya separuh baya tersebut tampak sama terlukanya dengan sang putri. "Istri kedua. Jadi, aku ... pelakor," lirih Ivana. "Nggak begitu, kamu 'kan nggak berniat merebut suami orang," sela Alisha. "Terus apa dong?" Ivana mulai terisak. "Ehm, berbagi suami," tukas Alisha yang membuat adiknya betul-betul menangis. Perempuan berusia dua puluh enam tahun tersebut merengkuh pundak Ivana. Membelai rambut sebahu sang adik sambil mengucapkan kata-kata penghiburan. Sementara itu di kursi seberang, anak bungsu keluarga Harimurti mengusap wajah dengan tangan. Pria berusia dua puluh satu tahun itu menghela napas berat. Raid Khairy sangat paham dengan situasi rumit seperti ini. Di satu sisi, Raid ingin memprotes keputusan ayahnya. Namun di sisi lain, dia tahu bahwa ayahnya juga tidak punya pilihan selain menikahkan kakak keduanya dengan anak dari bos Ayah, Pak Firman Hatim. Saat ini pun, ayahnya dan Ivana masih tercatat sebagai karyawan di perusahaan milik keluarga Hatim yang bergerak di bidang restoran dan perhotelan. Bahkan, Dzaki yang merupakan suami dari Alisha pun bekerja di tempat yang sama, hanya berbeda divisi. Kalau sudah begitu, bagaimana bisa keluarganya menolak pinangan? Walaupun kenyataan sebenarnya, Ivana hanya akan menjadi istri kedua dari Zayyan, dan bukan sebagai istri utama pewaris perusahaan tersebut. Isak tangis Ivana dan ibunya perlahan mereda. Mau menangis hingga air mata berubah menjadi darah pun percuma. Sekali ayahnya mengambil keputusan, itu artinya final bagi keluarga. "Aku boleh minta satu syarat?" tanya Ivana yang mulai tenang. "Syarat apa?" tanya Pak Harja. "Aku ingin berbicara empat mata dengan mas Zayan, sebelum pernikahan dilaksanakan," pinta Ivana. Pak Harja mengangguk,"akan ayah sampaikan. Dan kamu, bersiaplah, Sabtu nanti keluarga Hatim akan tiba. Acara lamaran akan langsung dilaksanakan," ujarnya. *** Hari-hari selanjutnya, Ivana Alitza tampak murung. Gadis yang biasanya ramah dan ceria itu berubah menjadi zombie. Senyuman manis yang biasanya menghiasi wajah kini pun menghilang. Mata berbinar seketika meredup. Seakan-akan tengah kehilangan gairah hidup. Perubahan sikap Ivana dirasakan betul oleh kedua sahabatnya, Hadrian dan Nia. Persahabatan mereka yang terjalin semenjak masih berseragam putih biru, membuat keduanya ikut merasakan kepedihan hati Ivana. "Udah dong, jangan nangis mulu," pinta Nia. Saat itu mereka bertiga tengah berada di sebuah kafe di daerah Buah Batu. Menghabiskan waktu Jum'at sore sepulang bekerja, sekaligus menghibur Ivana. "Kebayang nggak sih, udahlah nikah tanpa cinta, ehh harus jadi istri kedua pula," rengek Ivana sembari meneruskan tangisan di pundak Hadrian, hingga kemeja pria itu basah. Hadrian sendiri harus menahan perasaan sakit dalam hati, karena sebetulnya dia sudah mencintai Ivana sejak lama, tetapi tidak berani mengungkapkan karena tidak mau merusak hubungan persahabatan mereka. "Iya, aku paham ini berat banget buat kamu, Na. Tapi coba deh, mindsetnya diubah," sahut Ardania yang akrab dipanggil Nia. "Diubah kumaha?" timpal Hadrian yang sejak tadi menahan rasa pegal di pundaknya, karena harus menahan kepala Ivana. (kumaha = gimana) "Anggap ini sebagai bakti pada orang tua," jelas Nia. Seketika tangisan Ivana berhenti. Perempuan berkulit kuning langsat itu menengadah dan memandangi wajah bulat telur Nia dengan lekat. "Bakti, ya?" lirihnya. Nia manggut-manggut membenarkan. Kemudian kembali menyuap kwetiau goreng seafood milik Ivana yang masih tersisa banyak. Gadis bermata bulat itu tersenyum lebar saat Ivana menarik piringnya dan kembali menyantap makanan sambil menggerutu. "Kebiasaan kamu teh, main embat aja," sungut Ivana. "Kirain kamu udah nggak mau," timpal Nia. Jitakan pelan dari Hadrian mendarat di kepala Nia. Ketiga sahabat itu saling melirik, sejurus kemudian mereka tertawa bersama. "Gitu dong, ketawa lagi dan menjadi Ivana Alitza yang ceria," ujar Hadrian sembari mengusap rambut Ivana dengan segenap perasaan. Saat ini, hanya hal tersebut yang bisa dia lakukan. Mengurangi beban dalam hati perempuan pujaan, walaupun batinnya sendiri terluka. Ivana mengulaskan senyuman tipis. Merasa senang memiliki sahabat-sahabat yang baik seperti kedua orang ini. Setelah lelah mengobrol selama beberapa jam, akhirnya ketiga orang tersebut membubarkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Ivana melaju dengan motor matic mungil miliknya. Menembus jalanan yang macet karena banyaknya mobil dari luar kota yang berkunjung ke kota kembang ini di akhir pekan. Gadis berhidung mancung itu mengernyitkan dahi saat tiba di rumah. Di depan rumah ada sebuah mobil mewah terparkir. Ivana mendorong masuk motor dan parkir di sebelah mobil ayahnya. Jalan memasuki rumah dari pintu samping dan nyaris bertubrukan dengan Alisha yang melongok ke luar. "Kakak ihh, ngagetin!" serunya. "Kamu dari mana aja sih? Dari tadi diteleponin nggak aktif," balas Alisha. "Emang kenapa?" "Mas Zayan udah nungguin dari tadi. Kan kamu bilang mau ngomong empat mata." Ivana membulatkan mata. Alisha mendorong tubuh sang adik ke kamarnya. "Buruan mandi, nanti kakak dandanin!" titahnya sambil membuka lemari Ivana dan mengacak-acak isinya. Beberapa menit kemudian Ivana tengah dirias oleh Alisha, tepat di saat sang ibu membuka pintu kamar. "Cepetan!" seru Bu Hanna. Alisha menarik tangan adiknya. Menggusur tubuh yang sedikit lebih tinggi darinya itu hingga tiba di ruang tamu. Sepasang mata beriris hitam menyapu penampilan Ivana dari kepala hingga ujung kaki. Secarik senyuman terbit di wajah Zayan Hutara dan membuat wajahnya semakin rupawan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD