bc

Privilege

book_age16+
1.7K
FOLLOW
15.9K
READ
dark
love-triangle
family
goodgirl
powerful
drama
comedy
sweet
bxg
serious
like
intro-logo
Blurb

"Detik ini, aku melepaskanmu."

Tidak ada retak yang teramat dibanding runtuh dunianya. Cermin bening itu telah hancur. Melebur satu dengan harapannya dahulu.

Dengan hati remuk tak berbentuk, perempuan itu pergi dengan terisak. Tak jauh beda dengan pria yang mematung menatap punggung kecil yang semenit lalu masih berada dalam rengkuhannya. Hangat itu telah pergi, membawa serta hatinya. Jemari kecil itu telah hilang, tak bisa lagi dia genggam.

Kafka Arkais Lee, pria itu menunduk. Menatap punggung yang semakin menjauh dan hilang di sudut sana. Gadisnya yang rapuh telah pergi. Biandra Visha, gadis itu merasakan hal sama.

Ia sama hancurnya.

Aku lupa bahwasannya kamu terlarang bagiku yang terkekang.

-Privilege 2020-

Pict: vector by Andarihello, imaginated by Picsart

Font: Anonther Hand, Cutive Mono from Picsart

chap-preview
Free preview
1. Untuk Pertama Kalinya
"Detik ini, aku melepaskanmu." Tidak ada retak yang teramat dibanding runtuh dunianya. Cermin bening itu telah hancur. Melebur satu dengan harapannya dahulu. Dengan hati remuk tak berbentuk, perempuan itu pergi dengan terisak. Tak jauh beda dengan pria yang mematung menatap punggung kecil yang semenit lalu masih berada dalam rengkuhannya. Hangat itu telah pergi, membawa serta hatinya. Jemari kecil itu telah hilang, tak bisa lagi dia genggam. Kafka Arkais Lee, pria itu menunduk. Menatap punggung yang semakin menjauh dan hilang di sudut sana. Gadisnya yang rapuh telah pergi. Biandra Visha, gadis itu merasakan hal sama. Ia sama hancurnya. Aku lupa bahwasannya kamu terlarang bagiku yang terkekang. ??? Tidak ada yang lebih baik dari pada secangkir teh hangat dan buskuit coklat yang lezat untuk minggu pagi ini. Dengan handuk yang melilit rambut setengah keringnya, Biandra masih sibuk dengan membersihkan meja yang penuh bungkusan plastik. "Adek kebiasaan, bukannya beresin malah masih ngorok." Namun ia tak merasa kesal sama sekali, malahan bibirnya menarik senyum geli di sana. Lalu ketukan langkah dari belakang membuatnya menoleh seketika. Seorang gadis dengan baju gombrong yang celananya tenggelam di dalamnya. Masih mengucek mata lalu menguap. Merentangkan tangan beberapa detik, menikmati sisa-sia kantuknya. "Bawelnya ngalahin ibu banget ish, nggak suka." Si pelaku utama sampah menumpuk di atas meja datang. "Pagi, Tetehnya Ayish. Masih pagi dilarang ngedumel. Pamali." Lalu gadis ABG itu mengecup pipi kanan sang kakak. Setelahnya ia menyengir tanpa dosa. Membuat Biandra langsung menjauhkan pipinya dari Isyara. "Iiiih, bau, tahu. Jorok. Sana, sikat gigi dulu." Biandra mengusap pipinya kasar. Korban bibir Isyara yang sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir ini. Morning kiss, katanya. Tentu saja, Biandra tak serius tentang itu. Ia tersenyum melihat tinggah Isyara yang selalu bisa membuatnya tersenyum setiap pagi. Selesai menutup pintu toilet, ia mengambil roti bakar yang sudah dilapisi susu coklat di atasnya. Kakaknya sudah melesat entah ke mana. "Kebiasaan, lampunya belum dimatiin." Teriakan itu terdengar dari atas sana, tempat di mana mereka tidur. Satu-satunya ruangan yang digunakan sebagai kamar. Baginya, keadaan seperti ini sudah menjadi teman sarapannya sehari-hari. Maka dari itu, Isyara dengan santai mengunyah roti lalu menyeruput teh milik Biandra tanpa harus memusingkan teriakan kakaknya karena ia lupa mematikan lampu kamar atau lupa menutup pasta gigi. Ah, ia memang selalu lupa masalah itu. Mencocol roti dengan susu coklat yang semalam dibelinya dari warung depan, lalu melahapnya dengan mimik muka yang keterlaluan_lebaynya. "Lari pagi yok, Teh?" Bindra selesai memasukkan sampah ke pengki lalu membuangnya ke sudut dapur, tempat sampah. "Nggak bisa, ada kerjaan." Isyara memberengut mendengar jawaban yang selalu sama. Tidak bisa, tidak bisa terus. "Jangan kerja mulu Teh, ih. Nanti nggak kawen-kawen, loh. Jadi perawan tua baru nyaho." Yang dibalas Biandra dengan setitik senyuman. Isyara kembali mengunyah makanannya dengan santai. "Jangan sering minta roti bakar ah, repot beresinnya." Biandra membereskan pemanggang roti dari atas kompor. Bukan pemanggang listrik yang biasa digunakan orang Hanya benda pipih yang dipanaskan di atas kompor. Tidak mudah menanggung beban dua kepala sekaligus. Apalagi Isyara masih mengenyam bangku sekolah. Biaya kontrakan saja sudah engap. Ditambah membeli sepatu, tas, buku, bayar UDB dan segala tetek bengeknya. Tapi tak ada satu pun yang membuat semangatnya patah karena ia mempunyai Isyara, dorongan penyemangat kecilnya, apa lagi yang dibutuhkan seorang Biandra? Tidak ada. Ia hanya perlu membayangkan sang adik menjerit senang karena dibelikan sebuh novel saja amat bersyukur. Menambah semangatnya menjadi menggebu. "Sekolah dulu yang bener. Jangan kenal cowok duluan. Ngerti nggak?" Ah, tehnya sudah dingin karena ditinggal menyapu dan menjemur baju yang sudah dicucinya tadi. "Masa nggak boleh kenalan sama cowok?" "Pacaran maksudnya. Kok bolot sih, Adek aku?" Isyara terbahak sambil mengunyah roti. Akibatnya, terbatuk sampai wajahnya memerah. "Teteh ih, bukannya ambilin minum malah ngetawain. Durhaka emang." Biandra hanya menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan tingkah polah adiknya ini. "Ada lagi yang kamu butuhin buat sekolah?" Biandra menepuk punggung sang adik agar merasa baikan. Lalu batuknya berhenti. Digantikan sebuah raut tak enak seraya tak berani memandang wajah sang kakak. "Mmh ... belum ada sih kalo sekolah. Tapi ...." "Judulnya apa?" Biandra memangkas. "Kok Teteh ngerti sih pembicaraan aku ke sana?" Isyara tertawa canggung. Lalu berhenti karena tepukan keras di punggungnya. Berlanjut memandang Biandra dengan sebal. "Eh jangan deng. Sayang uangnya." Isyara menggerakkan telunjuknya di bibir gelas sambil menunduk. "Aku lebih sayang kamu, Dek." "Jadi, judulnya kali ini apa? Masih penulis yang sama?" "Jangan Teh, ah. Mending buat beli kebutuhan yang lain dari pada beli novel." "Kenapa? Itu kan kesukaan kamu. Aku juga seneng liatnya. Kamu cengengesan sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas. Kadang ngomong sendiri juga, kadang teriak nggak jelas. Kadang-" "Ish, Teteh seneng apa ngejek sih sebenernya?" Biandra tersenyum dibuatnya. Menggoda Isyara adalah hal pertama yang akan dilakukan ketika paginya tiba. Rasanya menyenangkan. Coba lakukan pada adikmu, dan beritahukan bagaimana rasa senangnya. "Lakukan apa yang membuat kamu bahagia. Selagi tidak merugikan orang lain, tidak papa." Usapan di kepalanya membuat Isyara mendongkak, menatap sang kakak yang sedang_lagi-lagi tersenyum. "Tapi Ayish ngerugiin Teteh, dong. Bikin uang Teteh berkurang," Timpalnya. "Aku nggak pernah ngerasa dirugiin kamu. Jadi ... judulnya?" "Years gone bye." "Beda penulis?" "Iya. Ini penulis panutan Ayish selanjutnya." Dengan wajah semringah, ia tak henti memandang Biandra yang sedang mengeluarkan uang dari dompet. "Ini nggak papa, seriusan?" Biandra mengangguk sambil mengusap kepala sang adik dengan lembut. Tidak ada rasa lebih menyenangkan dari membahagiakan orang yang kamu sayang. Jadi, lakukan dengan tulus, maka hasilnya menjadi lebih indah. Seperti yang Biandra lakukan. Sebenarnya, ini hal remeh yang mungkin dianggap tidak ada apa-apanya bagi orang lain. Tapi bagi Isyara, menerima semua kasih sayang dari sang kakak adalah kebahagiaannya tiada tara. *** Biandra mengendarai sepeda motornya dengan perlahan. Menatap seksama pada jalanan terik hari ini. Di belakangnya sudah tersedia tiga box piza dengan toping berbeda. Hari ini tugasnya menjadi seorang pengantar makanan. Mengirim piza dengan selamat sampai tujuan lalu kembali mengambil pesanan. Begitu terus sampai kewajibannya selesai lalu pulang dan mengulang hari selanjutnya dengan kegiatan lain yang menghasilkan. Sebelum turun, ia melepaskan helm dan menurunkan standar. Lalu mencocokkan alamat yang sudah diberikan. Setelah seseorang muncul dari balik pagar, barulah Biandra memberikan pesanannya. "Wooi! Ini siapa yang pesen piza?" Biandra tersenyum pada pelanggan yang berdiri di depan pagar sambil tersenyum canggung. "Sebentar ya, Mbak. Saya tanyain dulu." Laki-laki itu masuk ke dalam sambil meneriaki hal serupa. Biandra dengan kedua tangan menopang box berukuran besar itu hanya bisa menunggu sambil menunduk sampai laki-laki tadi berubah menjadi seorang remaja, lalu memberikan sejumlah uang kepadanya. "Ambil aja. Itung-itung uang tip," katanya sambil menutup kembali pagar dihadapannya. Biandra mengucapkan terima kasih dengan sedikit kencang. Lumayan, sepuluh ribu. Selesai mengantar dua box yang tersisa, Biandra kembali ke toko lalu menyerahkan uang piza kepada sang atasan. Setelah menerima upah, ia mengembalikan kunci motor lalu menunduk berterima kasih. Hari ini tidak banyak pesanan yang harus ia antar. Itu tandanya, waktu untuk beristirahat bertambah. Namun isi dompetnya yang akan menipis. Setelah sampai di rumah, ia mendapati Isyara sedang duduk di kursi sambil membolak-balik halaman buku dipangkuannya. "Yaampun, kaget." Isyara terlonjak saat Biandra meletakkan tas selempangnya ke atas meja. "Udah ucap salam dari tadi," kata Biandra yang langsung mengambil cangkir di dapur. "Nggak denger Teh, maap. Waalaikumussalam." Membasahi kerongkongan adalah hal selanjutnya yang Biandra lakukan. Sedari tadi perutnya minta diisi dan ia terlalu malasa membeli makanan untuk mengganjal perutnya. Jadilah ia menahannya sampai pulang ke rumah. lalu Biandra duduk di sebelah Isyara. Ia menepuk kaki sang adik hingga terduduk. "Buat bekel besok." Uang pecahan enam puluh ribu itu disimpan di atas meja. Isyara mengangguk lalu mengambilnya, segera memasukkan ke dalam tas sekolah. Lalu kembali tenggelam menjadi sang pemeran utama dalam novel yang dibacanya. Biandra segera melesat, membersihkan tubuhnya yang terasa sangat lengket. Di dalam sepetak kamar mandi itu, tidak ada yang tahu bahwa diam-diam ia sering menangis. Seperti yang dilakukannya hari ini. Mengingat hal yang sudah lama ia ingin singkirkan dalam benaknya namun terasa sangat sulit. Kenangan itu selalu membekas. Dan sialnya, ia tidak tahu cara menghapusnya. Capek. Pusing. Sesak. Semuanya beradu padu dalam hatinya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Switch Love

read
112.4K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.6K
bc

Wedding Organizer

read
46.3K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
53.9K
bc

Hubungan Terlarang

read
500.2K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook