3. Kamu Baik-baik saja?

1440 Words
Ayam sudah berkokok sedari tadi. Tapi sepertinya dua perempuan yang masih memejamkan mata itu terlalu malas untuk bangkit dari bawah selimutnya. Dengan mengulat sebentar, Biandra membuka matanya perlahan. Melirikkan matanya ke samping, tempat di mana Isyara masih berbaring dengan sebelah kaki bersender ke tembok. Ia lalu membetulkan letak selimut yang tak menutupi sebelah kaki adik tercintanya ini. Sebelum turun, ia meraba sekitaran perut Isyara dan mengambil novel lumayan tebal itu untuk disimpan di satu-satunya meja kecil yang ada di sana. Kebiasaannya tak pernah berubah. Mungkin memang begitu para pecinta novel menghabiskan malamnya. Kata Isyara, malam memang waktu yang tepat untuk menyelami cerita dan menjadi sang pemeran utama. Berwudhu adalah hal selanjutnya yang ia lakukan. Setelah menyelesaikan kewajibannya, ia membangunkan Isyara sambil menunggu nasi gorengnya matang. "Teteh tahu, nggak?" Sebuah suara muncul dari belakang. "Apa?" Isyara memicingkan mata dengan senyum jahil yang terbit di bibirnya. Ia duduk di undakan tangga paling bawah. "Semalem Teteh ngorok, tahu." Biandra tak menghiraukan cekikikan adiknya dan hanya fokus membalikkan telur ceplok di atas wajan gerhana. Begitu Isyara menanggilnya, karena pinggirannya sudah menghitam akibat terlalu banyak lemak yang gosong dan tak bisa dibersihkan kembali. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, tak lama Isyara keluar dengan handuk di pundaknya. "Aku nggak sholat, Teh. Tamunya dateng." Ia menyengir lalu mengambil sendok dan mencicipi nasi goreng dari wajannya langsung. "Matiin dulu lampu kamarnya," ucap Biandra mengambil piring dan menuangkan nasi berselimut kecap itu ke piring yang sudah terdapat telur. Memberikannya pada Isyara yang langsung membawanya ke ruang samping. Di atas meja sana dan menaikkan kedua kakinya ke atas kursi. "Udah tadi, Teh." Biandra menyusul dengan bawaan sama, sepiring nasi goreng. "Kamu juga ngorok, tahu tadi." "Ih, kapan?" Isyara mengunyah kembali. "Aku udah bangun, kamu masih ngorok." Biandra menjawab sambil mengedikan bahunya lalu melahap sesendok. Membuarkan Isyara terdiam beberapa saat sebelum berkata. "Teteh, nanti kenaikan kelas anak-anak ngadain acara ke Jogja." Kunyahan mulut Biandra memelan seiring suara Isyara yang juga mengecil di akhir kalimat. Biandra meletakkan piringnya memusatkan perhatian pada Isyara. "Kapan acaranya?" "Masih lama kok. Aku ... boleh ikut?" "Nanti-" "Aku bakalan nabung kok, uang bekelnya bakal aku sisihin sebagian. Jadi nggak minta ke Teteh lagi." Isyara berbicara tanpa jeda. Membuat bibir Biandra tertarik sedikit. "Masih lama, nanti aja dipikirinnya." Ia melanjutkan makan kembali. Padahal bukan masalah biaya yang membuatnya tertegun. Uang tabungannya masih cukup untuk sekadar membiayai Isyara pergi. Sedikit-sedikit, ia juga sudah mempersiapkan uang untuk kuliah Isyara meski tak jarang ia ambil juga untuk kebutuhan bulanan yang menumpuk. Masalahnya ia tidak mau sendiri, ia tidak mau Isyara pergi jauh darinya. *** Biandra melepaskan tali tas selempangnya dari bahu dan menyimpannya di loker pegawai, bagian belakang. Hari ini Amel tidak masuk, katanya sakit. Padahal kemarin paling heboh mendapat traktiran dari Pak Bos. "Udah sarapan?" Dikri menengok saat Biandra melewatinya. Biandra menoleh ke arahnya mengangguk sambil tersenyum, ia mulai menyiapkan sendok garpu ke dalam wadah lalu meletakkannya ke masing-masing meja yang sebagian sudah dibereskan Cika dan Bayu. Tempat makan ini lumayan besar, bisa di bilang begitu. Lantai atas hanya tersedia beberapa kursi saja karena tidak banyak ruang yang tersedia di atap. Biasanya jika sore, ada beberapa pasangan yang sekedar minum dan memesan makanan ringan atau mengobrol dan berswafoto di sana. Siang begini biasanya tidak ada yang makan di atas, kecuali weekend. Begitu penjelasan Amel yang didengarnya. Biasanya jam segini memang belum banyak pelanggan yang datang, kebanyakan dari mereka penikmat pedas. Jadi Opecca akan penuh saat jam makan siang tiba. "Bu, ini bukain dulu, berat." Dikri dengan belanjaan penuh di tangannya berusaha membuka lemari pendingin. Mata Biandra berkeliling, mencari Bu Leah yang sepuluh detik kemudian tak didapatinya. Ia berlari ke arah dapur, membuka pintu kulkas dengan langsung memasukkan sawi, timun dan teman-temannya ke laci paling bawah. Yang sebenarnya percuma saja jika beberapa jam ke depan akan digunakan Adit untuk menambah nilai estetik dan juga kesegaran saat menghidangkan makanan nantinya. Dikri mendongkak, melihat dari celah daun bawang di pelukannya. Ini bukan Bu Leah, karena tidak bersuara. Jika Bu Le, pasti sudah mencak dan menabok pantatnya sambil mengomel, "Simpen dulu di bawah, sih! Songong langsung masukin kulkas! Bocah gendeng." "Eh, makasih ya. Berat banget sumpah padahal cuma ngambil dari luar," ujar Dikri tertawa canggung sambil mengusap tengkuknya. Biandra mengangguk lalu meminta kresek besar dari tangan Dikri untuk di simpan di bawah laci. Biandra langsung pamit membersihkan sampah yang sudah menumpuk di sudut dapur. Sampah potongan kulit wortel, kulit bawang putih dan yang paling banyak tentu saja tangkai cabai. Beberapa sawi layu juga tak sedikit. "Sini gue bantuin." Dikri memakai sarung tangan karet itu dan menjinjing kresek sampah warna hitam, mengikuti Biandra yang hampir selesai dengan tumpukan kulit wortelnya. "Alah siah, ke kamar mandi perasaan sebentar masa udah jam segini aja." Bu Leah tergesa dengan memakai apron memasak kembali setelah melirik jam. "Neng, di sini dulu lah. Ini bawang masih banyak yang harus dikupas. Si Cika jaga di depan, 'kan?" Biandra mengangguk membenarkan. "Iya, Amel nggak masuk soalnya." Biandra menjawab sambil mencuci kedua tangannya di wastafel. "Ini pisonya." Dikri memberikan pisau kepada Biandra yang digiringnya duduk di kursi yang baru dibawa dari depan. Biandra lalu memakai penutup kepala berbentuk jaring itu dan mulai bekerja. Dikri menarik kursinya dan berkata pelan, "Hati-hati." Tidak ada yang dapat mendengarnya selain Biandra. Oleh karenanya ia mengangguk lalu melanjutkan kembali, mengambil bawang yang menumpuk di atas meja. *** "Makan dulu Kak, tinggal sedikit lagi kok." Adit atau yang lebih sering dipanggil Didit menegakkan bahu setelah Biandra menawarkan untuk menggantikannya mencuci piring. Di sini, tidak ada peraturan si A tugasnya ini, si B itu atau si C ongkang kaki. Bahkan Adit yang notabennya seorang yang mengemban posisi tertinggi sebagai main chef dan mengatur semua keperluan Opecca sekaligus mengurus gaji karyawan. Selagi masih bisa saling membantu, tak ada yang lebih mudah jika dikerjakan bersama. Memasak tidak termasuk, karena itu khusus Adit, Bu Leah dan Dikri yang memegang dapur. "Lo udah makan, emang?" Adit melepas sarung tangan karet dan mencuci tangannya sekali lagi. Biandra mengambil alih, melanjutkan cucian yang belum sempat dibereskan di dalam kitchen set sana. "Nanti aja, Kakak bisa duluan. Yang lain juga nunggu giliran." Tanpa bertanya lebih lanjut, Adit melepas apronnya meninggalkan Biandra sendiri. Selain tidak ada jobdesk khusus, bekerja di tempat makan juga tidak memiliki jam istirahat berarti. Kapan pun jika pelanggan mulai senggang, mereka akan bertukar peran. Tak jarang jam makan siang mereka bersatu dengan makan sore jika pelanggan sedang membeludak. *** Uang hasil gajian dari tempat kerjanya dulu masih tersisa, jadi Biandra memutuskan untuk membeli sesuatu ke swalayan terdekat. Sekaligus membeli titipan Eva, tetangga samping rumahnya. "Kata Mbak, yang rasa vanila. Yang seratus atau empat ratus gram, ya?" Ia memindai dengan matanya, melihat kisaran harga dan mengira-ngira, jika sekalian beli popok apakah uangnya cukup atau tidak. Baiklah, ia sudah memutuskan. Biandra lalu mengambil dua dus susu bayi berukuran empat ratus gram dan satu buah diaper. Namun saat membalikkan badan, semua barang yang ada di tangannya luruh seketika. Sebuah lengan besar membantunya, memberikan keranjang yang sebelumnya Biandra tidak ambil karena berpikir bawaannya tidak akan banyak. "Maaf Pak, nggak sengaja." Laki-laki yang menabrak Biandra mengerutkan alis. Padahal ia yang salah. Lalu ia mengambilkan barang Biandra yang terjatuh akibat ulahnya itu. Biandra menunduk, mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu belum beranjak dari hadapannya. Oleh karena itu Biandra mendongkak dan memutuskan untuk pergi terlebih dulu. Ketika lengan kirinya dicekal, respon yang diberikan Biandra persis ketika Dikri juga memegang lengannya di depan loker malam itu. "Kamu nggak papa?" Biandra sempat tertegun, mendongkak kembali menatap si laki-laki. Lalu tersadar dan mengangguk penuh sebagai jawaban. Matanya buru-buru dilarikan ke depan sana. Sedangkan laki-laki itu masih menatapnya tanpa jeda. "Kamu tidak kenal saya?" Laki-laki itu kembali bersuara. Biandra masih menunduk ketika lagi-lagi lawan bicaranya ini menariknya ke pinggir karena pegawai swalayan mendorong troli berisi tumpukan dus besar di sana. "Kamu kerja di Opecca, bukan?" Ah, Biandra seketika tersadar dan langsung menunduk meminta maaf. Bagaimana bisa ia melupakan wajah pemilik tempat kerjanya. Laki-laki itu terkekeh sendiri saat mendapati Biandra menggigit bibir bawahnya, mungkin merasa malu. "Sudah, tidak papa. Nama kamu siapa? Saya Kafka, kalau kamu belum tahu." Kafka menyerahkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Biandra. "Saya Biandra, Pak." Ia membalas jabatan tangan Kafka sekian detik dan langsung menariknya kembali. "Beli apa?" Bodoh, padahal barusan ia mengambilkan susu dan popok bayi dari lantai karena ulahnya menyenggol Biandra. Tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya, Kafka lalu mempersilakan Biandra pergi ke kasir terlebih dulu. Saat ia mengamati punggung kecil itu beranjak, ia lalu melanjutkan melihat gawainya dan memeriksa apa saja yang harus dibelinya. Hal aneh justru terjadi, selagi memilih saus instan, pikirannya tertuju pada pandangan mata gadis yang baru ditemuinya. Tatapan kosong namun penuh kebencian dan amarah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD