Prolog

650 Words
~~***~~ Apakah ini siang? Atau malam? Langit tertutup gumpalan awan hitam tebal, tetapi masih nampak secercah cahaya berwarna jingga-kekuningan di sela-selanya. Angin berhembus kencang. Terasa hawa panas yang dibawa olehnya, beserta pasir dan batuan kerikil yang lantas melewati tubuh-tubuh tak bernyawa di atas tanah. “Dasar munafik!” Ayunan benda besar dengan bilah tajam yang melengkung terhalau oleh tombak panjang milik sang wanita. Terlepas dari genggaman, lantas melambung tinggi ke udara hingga ujung runcingnya menancap di atas tanah. Cukup jauh dari sang empu yang kini telah berlutut di hadapan si lawan. “Cukup. Menyerah dan mohon ampunlah kepada Semesta, Az’ganath.” “Kepada Dia yang berlagak agung, tapi begitu pilih kasih?” Ia mendengus. “Jangan harap! Aku tidak mau berlutut di hadapan Makhluk sok suci itu!” Lengking kesakitan keluar dari mulut pria bertanduk tersebut. Zirah hitam pada bahu kiri nyatanya tidak mampu menghalau senjata wanita bersurai ungu pucat. Sihir yang mengalir memberi rasa perih yang berkali-kali lipat. Menjalar ke seluruh tubuh sampai-sampai semua saraf Az’ganath mati rasa. “Perbuatanmu sudah melewati batas, Pemimpin dari Narak! Semesta telah memutuskan hukuman yang pantas untukmu.” Cahaya  putih berpendar di tubuh pembicara. Sesaat sebelum tangan itu bergerak, suara parau menghentikannya. “Dewi Syringa, utusan Sang Semesta ….” Az’ganath bernapas patah-patah. “… Apa karena kau makhluk paling sempurna lagi spesial, sehingga tidak mau membuka matamu? Apa kau sudah benar-benar buta dengan apa yang mengelilingimu? Kau telah dibodohi oleh keindahan dunia, Dewi.” Tidak ada sahutan dari lawan bicara, ia terkekeh. Terbatuk pelan, kemudian lanjut bicara. “Semesta itu kejam. Tidak berhati, dan hanya bisa memberi hukuman.” “Itu karena kau yang berulah, Pemimpin dari Narak. Seandainya kau tidak macam-macam dan melanggar batas keseimbangan dunia, Semesta pasti akan berbaik hati padamu.” Rahang si pria mengeras. Panas hati yang belum redam kembali berkobar dan menjalar ke kepala serta seluruh tubuhnya. “Melanggar batas!? Apa keinginanku untuk melihat dunia luar itu keterlaluan!?” Sang Dewi tidak menjawab. Namun, dari tatapan dan raut wajahnya, nampak jelas jawaban yang dibutuhkan Az’ganath, dan itu makin membuat makhluk asal Narak tersebut naik pitam. “Kenapa hanya manusia dan makhluk Nirvana saja yang boleh melihat keindahan?! Mengapa aku tidak diperbolehkan melihat cahaya yang menyinari kehidupan manusia!? Merasakan kehangatan yang menenangkan, bukan yang menyiksa seperti di Narak! Menghilangkan sejenak beban dan penderitaan yang selalu jatuh ke pundakku dengan melihat itu semua! Apa itu sesuatu yang sangat sulit untuk dikabulkan oleh Semesta!? Apa keinginanku terlalu berat bagi-Nya yang begitu Kuasa!?” “Kegelapan sudah menjadi bagian dari jiwamu. Kau tidak bisa meninggalkannya begitu saja.” “Lalu, yang begitu kau sebut adil!?” serunya semakin emosi. “Terkutuk kalian semua makhluk munafik! Keseimbangan dunia? Menjaganya!? Tidak akan pernah terjadi!” Pria berambut hitam-keunguan tiba-tiba berdiri. Membuat orang-orang di sekeliling Az’ganath terperanjat—terutama ketika aura gelap kembali menguar dari tubuhnya. “TERKUTUK KAU SEMESTA! TERKUTUK TERKUTUK TERKUTUK! TERKUTUK KALIAN MANUSIA DAN MAKHLUK MUNAFIK PENGIKUTNYA. TIDAK AKAN ADA KEDAMAIAN DI DUNIA PENUH KEBOHONGAN INI! KESUCIAN HANYALAH TOPENG. KEBAJIKAN HANYA KEBOHONGAN. KEBENCIAN TAK AKAN PERNAH SIRNA! “PERANG INI BELUMLAH USAI! DENDAM INI AKAN TERUS MENGHANTUI TANAH KALIAN. KEPADA ANAK CUCU KALIAN! TIDAK AKAN ADA YANG BEBAS! TIDAK AKAN ADA YANG BERSUKA CITA! SAMA SEPERTIKU! SAMA SEPERTIKU! SAMA SEPERTIKU! SAMA SEPER—“ Kalimatnya menggantung di udara begitu saja, saat mata tombak sepanjang tiga puluh sentimeter memisahkan kepala dengan tubuh Az’ganath. Tempat yang mulanya begitu ramai dan menegangkan, menjadi senyap seketika. Hawa yang terbawa udara bergerak terasa lebih lembut dan tenang. Langit pun perlahan kehilangan bungkalan yang ternyata tengah menutupi sinar perak rembulan. Usai, begitulah pikir mereka. Meski begitu, semua ucapan pemimpin Narka tadi masih terngiang—terutama di kepala empat penguasa yang masih mengelilingi jasad yang perlahan berubah menjadi abu. Kutukan. Satu kata yang akhirnya menghantui hingga mereka pulang dan kembali duduk di singgasana masing-masing. ~~***~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD