Chapter : 2

2300 Words
  “Akhirnya kau datang juga.” Suara yang terdengar penuh syukur meluncur dari mulut Astrid saat mendapati kemunculan sosok Tessa dari pintu kaca ganda. “Di mana mereka?” tanya Tessa sambil terus berjalan dan Astrid mengekor di sampingnya. “Mereka baru tiba dua menit yang lalu, dan aku menempatkannya di ruang pertemuan.” Tessa bergegas ke ruang pertemuan yang dimaksud oleh Astrid tanpa lebih dulu ke ruang kerjanya. Tessa berjalan anggun memasuki ruang pertemuan dan di sana telah ada David Hoffman yang tampak mengenakan jas berwarna biru tua yang membungkus kemeja putih di dalamnya. “Maafkan saya karena terlambat,” ucap Tessa memulai. “Bukan salah Anda karena saya yang memajukan pertemuan.” Tessa sempat terkejut karena yang dikatakan David Hoffman, nyaris sama dengan yang disampaikan oleh Tessa pada Astrid. Pertanda jika Astrid telah menyampaikan apa yang Tessa ingin sampaikan.   Tessa menarik salah satu kursi yang kemudian ia duduki. Pertemuan yang terasa menegangkan bagi Tessa di tengah emosinya yang belum kembali pulih usai rasa kesal yang meggerayanginya satu jam yang lalu akibat kegagalannya untuk berbicara dengan Darek. Pertemuan bisnis yang didominasi oleh David Hoffman, sementara Tessa berusaha untuk memulihkan kendali pada dirinya meski dirasanya gagal. Tessa tenggelam dalam lamunan yang ditangkap oleh David. “Bagaimana menurut Anda, Mrs. Wagner?” Pertanyaan yang membuat Tessa lepas dari lamunan dan tatapan mata David yang tertuju pada Tessa sepenuhnya. “Aku---” Tessa merasa napasnya tersekat di tenggorokan. Tessa juga sempat melirik ke arah Astrid yang duduk di sampingnya. “Apa ada hal yang ingin Anda komentari, Mrs. Wagner?” Tessa menelan ludah, mengumpulkan sisa kesadarannya untuk berhadapan langsung dengan pria tegap yang menjulang di seberangnya. “Aku… aku rasa belum ada untuk saat ini.” Tessa mengatakannya dengan cepat dan ia tak yakin dengan jawaban yang ia berikan, begitu juga dengan David yang menatap dengan curiga. “Anda yakin?” David perlu mengulang dan memastikan jika apa yang dikatakan Tessa benar, tak ada hal yang membuatnya ingin berdebat. Pertemuan yang berbeda dengan pertemuan terakhir keduanya yang penuh interupsi dan perdebatan, khususnya mengenai pendanaan. “Baiklah jika memang tidak ada. Semoga kerjasama kita menghasilkan sesuatu yang menguntungkan antara kita.” “Ya, saya harap juga begitu.”   Tessa kembali ke meja kerjanya lima menit setelah kepergian David Hoffman dari kantornya. “Apa yang terjadi denganmu, Tes?” Pertanyaan yang membuat Tessa lepas dari lamunan di kepalanya. Astrid berdiri di ambang pintu pantry kantor mereka. Sementara Tessa berdiri di depan jendela sambil mengamati pemandangan jalan yang membentang di luar sambil menggenggam sebuah mug berisi kopi. “Aku… Aku hanya terkejut dengan pertemuan yang dimajukan jadwalnya,” ucap Tessa dengan segumpal kebohongan. Yang terjadi tidaklah seperti itu. Rasaa kesal yang telah mengkudeta pikiran Tessa di pagi hari. Astrid bergerak mendekat dengan tumit sepatu yang mengetuk-getuk lantai. “Kau terlihat tidak fokus sepanjang pertemuan. Apa sedang ada masalah?” Tessa berbalik, ia bersandar pada tepian meja pantry, menatap Astrid yang berdiri tak jauh darinya. “Tidak. Mungkin aku hanya sedang butuh liburan.” “Terdengar menarik,” seloroh Astrid sambil mengangguk pelan dan Tessa tersenyum sebelum kembali meneguk kopi dalam mug yang digenggamnya dengan erat. “Kau ada saran untukku?” Pertanyaan yang terdengar janggal bagi Astrid. “Apa maksudmu?” Reaksi terkejut yang spontan. Tessa menatap Astrid dari atas tepian cangkirnya. “Aku ingin mengajak Darek untuk berlibur. Dan sialnya aku tak memiliki ide akan melakukannya di mana,” ungkap Tessa dengan suara yang terdengar kesal. Astrid hanya menatap tanpa mengatakan apa pun. Wajah Tessa tampak tegang dan guratan kekesalan jelas terpampang di wajah cantiknya. “Kenapa tidak pergi ke sebuah tempat yang tak banyak dikunjungi orang?” Astrid menarik sebuah kursi dan duduk. “Pergilah berlibur ke tempat yang mungkin lebih ke alam.” “Aku tak memiliki ide untuk hal itu,” timpal Tessa. “Mungkin berarung jeram? Atau paralayang?” Tessa terdiam. “Kau ahlinya untuk uji nyali, Tes.” Astrid menambahkan. Tessa kembali terdiam. Ia sudah lupa kapan terakhir kalinya ia melayang di udara dengan parasut dan menikmati sensasi terjangan udara dan degupan jantung yang memacu adrenalin. Kesibukan yang telah merampas semua kesenangan Tessa. “Kau ingin aku membantumu untuk mengaturnya?” Astrid menawarkan diri dan Tessa menatap Astrid yang tampak tulus. Ide yang diberikan Astrid ada benarnya bagi Tessa. Ia ingin rehat sejenak dari semua kegilaan dalam kehidupannya beberapa bulan belakangan. Ide yang cemerlang dengan membawa Darek bersamanya. “Bagaimana?” “Ya, ide yang bagus dan aku ingin kau membantuku untuk hal itu.” “Tentu,” sambar Astrid yang membuat keduanya tersenyum.   ***   Dosa diikuti perasaan takut akan ketahuan. Siang itu Matheo Andrews dengan perasaan suka cita bersiap untuk menemui sang kekasih Annabelle yang telah ia kencani sejak tahun lalu. Seorang model cantik yang usianya terpaut nyaris sepuluh tahun dari Matheo. Gadis cantik yang memiliki cita-cita tinggi untuk meraih impiannya sebagai model ternama dunia. “Kau yakin akan melamarnya?” Suara sang adik yang terdengar ragu akan niat baik Matheo pada Annabelle. “Dia masih terlalu muda, Theo. Aku tak yakin ia akan---” “Kenapa adikku tidak memilih untuk mendoakan kakaknya agar berhasil melamar seorang gadis dan menikahinya.” Matheo mengatakannya dengan dengusan. Ada sedikit kecewa namun apa yang dikatakan Christa memang benar. Annabelle masih terlalu muda bagi Matheo. Annabelle baru saja merayakan ulang tahun kedua puluh tiga dan Matheo kini menginjak usia tiga puluh lima tahun.      “Di mana kau sekarang?” “Aku sedang dalam perjalanan untuk menyaksikan pagelaran,” jawab Matheo sambil mengemudikan mobilnya menembus keramaian kota New York siang itu. Christa terkekeh sebentar dan Matheo membiarkan adiknya melakukan hal itu. Pandangan matanya tetap tertuju ke depan sementara telinganya tersumpal headset. “Aku harap kau tak kecewa, Matheo sayang.” “Terdengar lebih baik, Adikku,” timpal Matheo yang membuat Christa kembali terkekeh. “Bagaimana kabar Madre di sana?” tanya Matheo kali ini. Perjalan Matheo sudah mulai memasuki halaman gedung acara pagelaran busana digelar. Antrean mobil mewah yang menunggu untuk masuk dengan melalui pemeriksaan yang ketat. “Kabar Madre baik, Matheo. Tidak kah kau merindukan untuk pulang?” tanya Christa di ujung saluran telepon. “Tidak jika kau bertanya sekarang. Tapi jika kau bertanya setelah rencanaku, aku akan menjawab iya.” “Begitukah?” tanya Christa bersamaan dengan Matheo yang kembali melajukan mobilnya tepat di depan pintu pemeriksaan. “Ya, aku butuh berlibur,” saut Matheo sambil menurunkan kaca mobilnya saat seorang petugas mengetuk kaca mobilnya. “Selamat siang, Sir.” Pria berjas hitam dengan kemeja putih di dalamnya menyapa Matheo dengan ramah saat kaca mobil Matheo bergerak turun. Matheo menyeringai sementara dua orang petugas memeriksa mobilnya. “Silahkan,” ucap petugas dan Matheo langsung bergegas memacukan mobilnya untuk mencari tempat parkir. Parkiran yang sangat padat dan ada deretan wartawan yang membidikkan kameranya ke setiap orang yang muncul dari dalam mobil. Matheo memilih untuk memarkir mobilnya di belakang gedung acara, bahkan Matheo sengaja menghindari keramaian karena dirinya sudah terlambat selama tiga puluh menit dari jadwal acara pagelaran dimulai. Dentuman suara musik yang menghentak dan sorot lampu yang berwarna-warni menyorot ke atas panggung. Sederet wanita berlenggak lenggok di atas catwalk dengan langkah anggun. Matheo melayangkan pandangan matanya ke setiap sudut ruangan yang temaram. Ia tak juga menemukan sosok Annabelle di antara orang-orang yang hadir sampai ponselnya terasa bergetar di dalam saku. Annabelle James: Kau datang terlambat, Theo. Aku sudah berada di belakang panggung dan aku harus berbicara hal penting denganmu. Pesan yang dikirimkan Annabelle yang membuat Theo menarik napas dengan dalam dan mengembuskannya dengan keras. Matheo sekali lagi melayangkan pandangannya dan kali ini terarah pada belakang panggung hingga menemukan lambaian tangan Annabelle. Matheo menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman ke arah Annabelle, tapi tidak dengan gadis itu. Ia tampak muram dan ada kesal yang tertahan. Matheo berbalik untuk berjalan memutar menuju ke arah belakang panggung. Di antara kerumunan dan keramaian banyak orang, para model yang telah siap berjalan di atas catwalk dan yang baru saja turun usai berjalan anggun di atas panggung. “Hi,” sapa Theo saat mendapati sosok Annabelle yang telah menunggunya di sisi dinding yang letaknya menepi. Annabelle menatap dengan tatapan yang membuat Matheo merasa ada sesuatu yang salah. “Maafkan aku, karena---” “Ada yang harus aku sampaikan padamu, Theo,” potong Annabelle dengan mimik wajah yang tak terbaca, Matheo tak mampu menebak apa yang ada dalam pikirian kekasihnya. Annabelle menatap Theo dengan tatapan mata yang kian terasa tak biasa. Mata biru yang tampak lebih keruh dan lebih gelap dari biasanya. Theo belum pernah melihat kekasihnya, wanita pujaannya seperti saat ini. Rahang Annabelle yang mengatup dan ia tampak gugup dengan jemari yang saling memilin dan tubuhnya bergerak gelisah. “Aku---” Annabelle tertunduk sebentar sebelum mengangkat wajahnya kembali untuk menatap Matheo. “Aku tahu,” sela Theo yang membuat Annabele terperanjat. “Aku tahu aku terlambat dan… aku selalu mengulanginya. Tapi aku mohon---” “Aku rasa hanya cukup sampai di sini, Theo,” potong Annabelle cepat tanpa bernapas. Matheo memicingkan matanya dengan tidak mengerti. Dunia beserta isinya seakan berhenti berputar pada porosnya. “Apa maksudmu?” tanya Theo bingung sementara Annabelle tampak tegang dengan kedua bahu yang sedikit naik saat ia menarik napas dengan dalam dan mengembuskannya. “Aku…” Annabelle menelan ludah, wajahnya terlihat menegang di bawah sorot mata Matheo yang kian keruh. Ketegangan kian terasa menyusup di atara mereka sampai manik mata Matheo mendapati sesosok pria berada tak jauh dari tempat mereka. Pria itu tampak memandangi mereka. “Aku mengerti jika---” “Tidak, Theo… Kau harus….” Annabelle mengikuti arah pandangan mata Matheo, membuat matanya membulat saat menatap kembali Matheo. “Semoga kau berbahagia,” ucap Matheo. “Tunggu,” sela Annabelle menyambar lengan berotot Matheo, membuat keduanya saling berhadapan kembali. Matheo melirik pria yang berdiri tak jauh darinya. “Aku ingin semuanya tetap baik-baik saja. Aku…” Annabelle menelan ludahnya, menatap Matheo dengan perasaan bersalah. “Aku mengerti tak akan baik, dan rasanya… akan lebih baik jika---” “Aku datang terlambat karena satu hal yang seharusnya menjadi...” Matheo menggantungkan kalimatnya dan Annabelle menatap dengan kening berkerut dan penuh tanya. “Sudah lah, lupakan,” ucap Matheo. Sepenuhnya ia menyadari jika Annaballe memang tidak mencintainya lagi. Ia telah gagal menjaga wanitanya untuk tetap bertahan dengannya. “Terima kasih, Theo.” Annabelle berjinjit untuk memberikan kecupan di kedua pipi Matheo. “Bye,” imbuh Annabelle.   Matheo Andrew: Aku akan pulang, penerbangan hari ini. Matheo mengirimkan pesan pada sang adik saat dirinya telah berada di dalam mobil. Menatap kosong hamparan rumput yang ada di hadapannya. Bayangan wajah Annabelle beberapa menit lalu kembali melintasi kepala Matheo. Apa yang dikatakan Christa sudah pernah Matheo pikirkan. Perbedaan usia yang membentang di antara keduanya, karir yang baru dimulai bagi Annabelle sementara Matheo dengan rencana membangun kehidupan rumah tangga bersama wanita yang dicintai kini benar-benar terjadi dan berakhir. Pria di sudut ruangan itu sungguh jauh lebih muda dibandingkan dengannya, hal yang mudah diduga dan Matheo merasa bodoh telah mengulur waktu untuk hal yang ia tahu akhir ceritanya.   Christa Andrew: Kau baik-baik saja? Denting notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponsel Matheo yang dikirimkan Christa dan ia biarkan begitu saja tanpa niat membalasnya dengan cepat.   ***   Dalam perjalanan kembali pulang ke rumah Tessa menyempatkan diri untuk membeli sikat gigi dan pasta gigi. Waktu menunjukan pukul delapan malam dan mini market tampak bersiap untuk segera tutup. Tessa kembali ke rumah dan yang mengejutkan saat mendapati mobil milik Darek yang telah terparkir di garasi rumah dan ruang tamu yang terlihat lebih terang. Tessa mendorong pintu mobilnya, keluar dan berjalan melintasi taman kecil di depan rumahnya, menaiki undakan sebanyak tiga undakan lalu mendorong pintu depan besar rumahnya. “Darek. Kau sudah kembali, Sayang.” Suara Tessa yang terdengar lantang disusul dengan pintu yang menutup di belakang langkahnya. Tak ada jawaban yang terdengar. Tessa berjalan kian ke dalam hingga telinganya menangkap suara obrolan. “Kalian---” Langkah Tessa berhenti saat mendapati sosok Gemma Baldwin dan Darek berbincang akrab di meja makan. “Hi, Tes,” sapa Gemma sambil beranjak dari kursi makan yang didudukinya dan mendekat ke arah Tessa yang masih menatap dengan terkejut. “Sayang, kau baru pulang?” tanya Darek yang tampak tersenyum sementara Tessa masih belum lepas dari keterkejutannya. “Gemma datang untuk mengantarkan makanan titipan Mom.” Darek menjelaskan maksud dari keberadaan Gemma di rumah mereka. Tessa masih terdiam, menatap keduanya bergantian, mengangguk pelan sebelum menarik napas panjang. “Aku mencoba menghubungimu, tapi sepertinya---” “Ya, ponselku mati,” sambar Tessa, ia mencoba untuk tersenyum pada Gemma yang berdiri di dekatnya. Tessa melangkah mendekat ke arah meja makan, merundukkan tubuhnya untuk mencium Darek dan apa yang diharapkan Tessa tak sesuai dengan yang ia bayangkan. Ciuman singkat yang Tessa rasakan bagai dinding yang dingin. Darek tak membalas ciumannya. “Kau ingin aku buatkan---” “Tidak,” sambar Tessa sambil menegakkan kembali tubuhnya sebelum menarik napas dan mengembuskannya dengan keras. “Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku akan beristirahat sebentar.” Tessa mengatakannya dengan lelah. Tessa menatap ke arah Darek dan Gemma.   “Baiklah, sebaiknya aku pulang sekarang sebelum Mark mencariku,” ucap Gemma dari belakang punggung Tessa yang masih menatap Darek. Gemma berjalan mendekat untuk meraih tas selempang miliknya yang ia gatung di sandaran kursi. “Selamat beristirahat, Tes.” “Terima kasih,” balas Tessa tepat dua detik sebelum Gemma berlalu dari hadapannya, meninggalkan ruang makan mereka dengan langkah yang terdengar teratur, tumit sepatu yang terdengar mengetuk-ngetuk lantai. Darek beranjak dari kursi yang didudukinya. “Sebaiknya kau beristirahat, kau terlihat tidak sehat, Sayang.” “Bisa kita berbicara sebentar?” tanya Tessa yang membuat Darek menoleh untuk menatapnya. Tatapan mata yang terkejut dan Darek membeku di tempatnya. “Aku ingin membahas tentang---” “Kau terlihat lelah, sebaiknya kita membicarakannya besok pagi.” Darek meraih kedua bahu Tessa, lalu mendekatkan kepalanya pada kepala Tessa sebelum mendaratkan kecupan hangat di kening Tessa dan berlalu setelahnya.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD