Kebangkitan

1796 Words
POV Aya sang kuntilanak Sendiri, kurasakan sepi yang begitu membosankan seolah dia membunuhku secara perlahan. Selama ini hanya ada suara serangga dan pohon beringin tua tempatku berada yang bersedia untuk menemaniku dalam waktu yang sudah cukup lama. Daun-daunnya menjadi selimut bagiku, dan batang pohonnya adalah tempatku bersandar. Sementara itu dahan-dahannya yang berbentuk kanopi menaungiku dari panas dan hujan. Meskipun tempat ini benar-benar nyaman bagiku, sayang aku tidak bisa pergi kemanapun. Karena hanya beringin inilah yang mampu melindungiku. Jika saja aku keluar dari batas akar terjauh dari pohon ini, aku mungkin akan mati untuk kedua kalinya. Anak laki-laki itulah yang membuatku terjebak di tempat ini. Tapi tanpa tempat ini mungkin aku sudah mati. Entah mana yang lebih baik, terkurung di tempat ini dalam keabadian, atau mati untuk kedua kalinya. Aku tahu setidaknya tempat ini menjauhkanku dari sosok-sosok itu. Mereka yang menginginkanku dan orang-orang yang mengincar nyawaku. Kondisiku kini juga dipersulit dengan tiadanya ingatan apapun dalam diriku, tapi setidaknya anak laki-laki itu memberiku harapan. Jikalau saja aku bisa membawanya mendekat, maka darah yang mengalir dalam dirinya akan menjadi jalan keluar bagi masalahku. Dalam kepalaku kini hanya ada keinginan untuk terus mempertahankan kelangsungan hidupku dengan menghisap darah manusia, dan juga insting untuk bertahan hidup. Hanya itu saja, yang tersisa dalam diriku. Malam itu bulan bersinar dengan cerah. Waktu yang tepat bagiku untuk menyisir helai-helai rambut panjangku dengan jari-jemariku. Akan tetapi seketika itulah aku menyadari sebuah bayangan yang muncul bergerak diantara rerumputan. Apakah anak laki-laki itu akhirnya memutuskan untuk mendekatiku? Menyebalkan sekali, kalau dia memang tertarik pada diriku, mengapa baru sekarang dia datang untuk menawarkan dirinya padaku? Sepertinya rasanya memang sulit untuk mendapatkan barang beberapa tetes darah dari manusia itu. Kumunculkan wujudku, tersenyum di balik kegelapan dan duduk bersandar pada salah satu dahan sambil memainkan rambut panjangku. Anak laki-laki polos itu muncul dari gelapnya bayangan malam. Bagiku, dia tidak seperti kebanyakan orang. Sorot matanya mudah terbaca, dan entah bagaimana aku yakin bahwa dia bukanlah orang yang ingin memanfaatkanku. Dia hanya menatapku dengan sorot mata kekaguman. Wajahnya amat polos dengan rambut hitam pendek berponi dan mata yang berwarna cokelat gelap. Melihat mata indahnya membuatku menjadi iri. Mataku sendiri memang tak kalah indah, hitam menawan bagaikan mutiara hitam. Tapi sebagaimana cangkang kerang yang hanya memiliki satu buah mutiara, bola mataku yang kumiliki hanya ada satu butir di mata kananku. Jika saja kuubah diriku menjadi wujud manusia mungkin aku bisa menutupinya. Tetapi tetap saja Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Anak laki-laki itu berjalan mendekat, menatapku dengan tatapan keraguan. Aku tak pernah mengenal siapa namanya, karena selama ini aku selalu memanggilnya tanpa mendapatkan jawaban. Tapi tidak untuk malam ini, malam ini dia datang untuk menyerahkan tubuhnya padaku. Ah akhirnya, penantianku terjawab sudah. Kemarilah manusia, aku membutuhkan beberapa tetes darahmu untuk menyembuhkan luka-lukaku. Kubisikkan kata-kata itu agar angin membawanya pada sepasang daun telinganya, mengharap biar dia segera bergegas untuk melangkah mendekatiku. Meskipun begitu, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda padanya malam itu. Tidak, apa yang kumaksudkan bukan penampilannya pada malam itu. Meski biasanya, aku melihatnya dengan piyamanya, dan kini dia mengenakan jaket hangat dan celana panjang. Sosoknya semakin mendekat, berjalan menyibak rerumputan. Dan ketika itulah wajahnya terlihat semakin jelas dibawah sinar rembulan. Kukirimkan pesanku padanya, terus-menerus agar membuatnya semakin berani untuk mendekatiku. Perlahan dia terus mendekat, meskipun langkahnya terasa berat. Aku tahu dia pasti merasa takut padaku, tapi aku takkan pernah menyerah dan terus membisikkan kata-kataku. Malam ini aku membutuhkannya, waktuku tak banyak lagi. Jika ada seseorang yang menemukanku, aku takkan bisa melawan mereka dengan kondisiku saat ini. Anak laki-laki itu kini berada tepat di bawah kakiku, dia berdiri diatas akar pohon beringin. Menatapku dengan tatapan malu-malu, kulihat wajahnya memerah. Suatu hal yang tak pernah kulihat sebelumnya dari korban-korbanku Aku melompat lalu membiarkan udara menahan tubuhku, perlahan aku melayang di udara sebelum mendarat berdiri di depannya, wajahnya semakin memerah. Dia mungkin tak menyangka kalau aku berani turun untuk mendekatinya, tapi ia berusaha tetap tenang tanpa melepaskan tatapan matanya dariku. Kini aku berada tepat di hadapannya, gaun dan rambut hitamku tertiup oleh sepoi angin malam. Kudekati anak laki-laki itu, merasa terancam dia mundur selangkah. Tapi aku menahannya dengan kedua tanganku, Aku takkan melepaskannya. Karena dia adalah mangsaku. Kucengkeram kedua bahunya dengan erat, lalu perlahan kudekatkan wajahku pada lehernya. Aneh, tidak seperti korbanku lainnya, dia tidak meronta. Tubuhnya hanya mematung mencoba menyerahkan tubuhnya padaku, tapi untuk apa? Kecurigaanku mulai muncul, akan tetapi aku tidak memiliki pilihan lagi. Kuputuskan untuk membuatnya tidak terlalu tersikasa. Kuhujamkan gigi taringku pada lehernya dengan cepat, lalu bergegas mencabutnya. Tanpa menghabiskan waktu aku segera menghisap setiap tetes darah yang keluar. Ketakutannya padaku sepertinya mulai merayapi tubuhnya ketika lidah dinginku menyentuh kulitnya yang hangat. Kurasakan tubuhnya gemetar seperti kedinginan, dan saat itulah kupeluk tubuhnya untuk menenangkannya. Jangan takut, aku takkan mengambil lebih dari ini. Namun saat itulah tangan kanannya bergerak, awalnya aku tak memperdulikannya. Tapi ketika aku menyadari apa yang akan anak laki-laki itu lakukan, semua sudah terlambat. Sebatang Paku Pusaka berwarna hitam kemerahan terayun dengan cepat menembus ubun-ubunku. Paku itu masuk dengan mudahnya seolah ubun-ubunku memiliki lubang dan paku itu adalah anak kuncinya. Kurasakan tubuhku menjadi berat, kakiku mulai menyentuh tanah, dan tubuhku kehilangan keseimbangan. Lalu aku jatuh pada pelukan anak laki-laki itu. Dengan kesadaran yang benar-benar menghilang. ############# Kucoba untuk membuka mataku, tapi rasanya sangat sulit dan menyakitkan. Seluruh tubuhku yang biasanya mati rasa kini mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Aku mulai merasakan dingin dan rasa sakit yang luar biasa pada tubuhku. Perlahan-lahan mataku mulai terbuka, tubuhku kini terbaring di atas sebuah tempat tidur dengan seprai dan selimut berwarna biru laut yang bersih. Rambut panjangku yang tergerai di atas tempat tidur itu menjuntai sampai ke bibir kolongnya. Kepalaku terasa pening, kusentuh ujung kepalaku dengan kedua tanganku. Aku mengerang kesakitan, mendadak kurasakan jemari tanganku terasa tersengat oleh sesuatu. Oh iya, paku itu? Seketika kilasan ingatan bermunculan sesaat sebelum aku kehilangan kesadaran. Kulihat jemari tanganku, sebuah bekas luka bakar menghitam muncul disana. Tidak mungkin! Paku kuntilanak biasa takkan memberikan bekas luka seperti ini, apakah jangan-jangan paku yang ia gunakan untuk menyegelku bukanlah paku biasa? Suara ketukan tiba-tiba terdengar dari arah daun pintu kayu jati berwarna cokelat. Membuatku langsung menyadari siapakah gerangaan sosok yang akan datang dari pintu itu. "Boleh aku masuk?" Aku terdiam tanpa menjawab apapun, karena aku tahu anak laki-laki itu pasti sudah menyadari bahwa aku sudah tersadar, erangan teriakan kecilku di sepinya malam seperti ini pasti langsung tertangkap di telinganya. Daun pintu itu lantas terbuka, dan tepat seperti bayanganku, anak laki-laki itu langsung muncul dari balik pintu sambil membawa segelas air putih diatas sebuah nampan alumunium. Namun kulihat raut wajahnya berbeda dengan apa yang aku lihat sebelum diriku pingsan. Ia kini terlihat lebih tenang, sangat tenang bahkan sampai aku nyarus hanyut dalam wajahnya itu. Anak laki-laki itu, apa jangan-jangan ia bersandiwara untuk memancingku turun dari beringin? "Namaku Aji, maaf telah melakukan hal yang buruk padamu. Tapi jangan salahkan aku, ada seseorang yang memintaku untuk melakukannya." Setelah mencoba menjelaskan situasi kepadaku, diletakkannya gelas kaca di atas meja kayu jati kecil di sampingku. Kuedarkan pandanganku pada kamar tempatku berbaring sekilas. Kulihat dari perabotan dan barang-barang di kamar ini, sepertinya ruangan ini adalah kamar anak laki-laki bernama Aji itu. "Jangan khawatir, kamar ini memang kamarku, gunakanlah sesukamu. Aku akan tidur di kamar adik perempuanku." Aku terdiam, Aji seperti bisa membaca pikiranku. Tetapi bukan hal itu yang kupikirkan, kata-kata sebelumnyalah yang membuatku terpikirkan akan sesuatu. Paku yang ditancapkannya pada kepalaku bukanlah pusaka biasa yang bisa didapatkan secara mudah. Kalau begitu, siapakah gerangan orang yang memintanya untuk menyegel kekuatanku? "Seorang laki-laki tua, umurnya sepertinya 70 tahun. Kalau dilihat dari pakaiannya, ia seperti seorang dukun” Aji tiba-tiba menjawab pertanyaan dalam pikiranku. “Namanya adalah Slamet, sebenarnya dia tidak memintaku untuk menusukkan paku itu di kepalamu. Ia hanya berkata bahwa paku ini untuk kebaikanmu sendiri.” Slamet? Kepalaku pening begitu mendengar nama itu, meskipun aku tidak memiliki ingatan apapun dalam diriku, tapi nama itu terdengar tak asing dan terus berdengung pada kepalaku. Kuhela nafas panjang lalu kusambung dengan sebuah senyuman getir. "Sepertinya karena ulah paku itu, Aku benar-benar sudah menjadi budakmu. Tak cukup hanya memasung ragaku, tapi bahkan paku itu bisa membuatmu bisa membaca pikiranku dengan mudah.” Tapi ngomong-ngomong jika orang tua bernama Slamet itu meminta untuk memberikan Paku pembunuh demit itu padaku, kenapa kau malah menusukkannya ke kepalaku?" Aji terdiam, ia bersandar pada dinding sambil menyilangkan tangan di depan dada. Selama beberapa saat ia hanya tertunduk sambil memejamkan matanya seolah sedang memikirkan sesuatu. "Kenapa aku menusukkan paku itu di kepalamu ya? Entahlah, sedikit banyak aku tahu tentang paku itu dan entah mengapa aku ingin mencobanya.” Hah? Mulutku menganga mendapatkan jawaban ngawur darinya. Aku telah mendengar alasan dari ratusan orang yang mencoba memburuku, mereka memiliki banyak sekali alasan. Dari ingin mengejar harta sampai kekuasaan. Tapi, alasan anak laki-laki ini tak bisa kupercaya? Coba-coba? Apakah ia melihatku sebagai kelinci percobaan? "Dengar anak muda, kalau kamu memang tak berniat untuk melakukan apapun padaku, lepaskan paku setan ini dari kepalaku!" "Lalu membuatmu dalam bahaya? Maaf nona, aku otomatis telah terlibat dalam masalahmu setelah menusukkan paku itu pada kepalamu. Kau tahu berapa harga kuntilanak yang telah berhasil diubah menjadi manusia dihargai berapa? Jutaan! Dan di negara yang orang-orangnya masih mempercayai hal mistis seperti ini, keberadaanmu amatlah dicari!" "Itu bukan urusanmu! Aku bukanlah siapa-siapa bagimu!" "Sayang sekali nona, karena paku itu kini kamu adalah siapa-siapa bagiku. Karena mulai sekarang kau berada di bawah tanggung jawabku!" "Berhenti memanggilku nona seperti aku tidak punya nama! Namaku adalah Aya! Aji terdiam, ia lalu berjalan keluar dari kamar tanpa berbicara sepatah kata pun. Aku mencoba duduk mencoba membiasakan diri dengan tubuhku yang baru. Paku itu bukan hanya menyegel kekuatanku, tapi juga mengubahku menjadi manusia. Sekarang aku tidak bisa lagi melayang terbang lagi. Kulihat air dalam gelas kaca itu, mengembun dengan lembut di dinding gelasnya. Kuambil gelas itu dengan kedua tanganku, menatapnya sekilas lalu mencoba meminumnya seteguk. Gelas berisi air itu terjatuh, isinya tumpah diatas gaun putihku sebelum hancur menghantam lantai. Kerongkonganku terasa ditusuk jarum, dan aku merasa ada cairan yang ingin keluar dari perutku. "Hoek!' Aku muntah, mengeluarkan darah merah kehitaman kental. Aji muncul tepat tak beberapa lama setelah itu. Tentu saja ia datang, karena aku muntah di kamarnya. Anak laki-laki itu takkan mungkin mengkhawatirkan diriku kecuali jika itu menguntungkan dirinya. Tanpa diminta Aji segera memijit tengkukku dan membantuku mengeluarkan semua darah berbau busuk itu. Setelah semua darah itu keluar, Aji meminjamkanku sapu tangan biru miliknya. Tubuhku terasa tak bertenaga, kusandarkan tubuhku ke dinding sementara Aji pergi keluar kamar dan kembali membawa pasir untuk membersihkan bekas muntahanku. Ekor mataku menangkap sesuatu yang bergerak diantara darah kental kehitaman itu. Makhluk itu berwarna putih seukuran ibu jariku, jumlahnya ada tujuh ekor. Mataku terbelalak, Aji yang mengetahui hal itu bersikap tak peduli. Tunggu, kalau ada belatung di dalam tubuhku, apa itu berarti tubuhku kembali membusuk? Apa itu artinya, kali ini aku akan benar-benar mati
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD