Pepes ikan dan sayur asem

1600 Words
   Satu minggu berlalu aku menunggu Ibu di rumah sakit, saat itu aku terkejut karena Ibu terjatuh saat kami sedang makan malam bersama. Aku yang panik berusaha membangunkan Ibuku, akan tetapi wajah Ibu yang tadinya bersemu ceria lambat laun berubah memucat.    Aku berlari ke luar untuk mencari bantuan, para tetangga yang mendengar teriakanku segera membantu membawa Ibu ke rumah sakit. Sepanjang malam aku tidak bisa tidur memikirkan Ibuku yang terbaring lemah di ruang gawat darurat.    Aku tidak di perbolehkan masuk selama beberapa jam oleh perawat, aku tetap menunggu Ibu di depan ruangannya berharap beliau segera siuman. Aku benar-benar tak bisa berpikir bila tak ada beliau di sisiku, aku hanya hidup berdua dengan Ibu setelah kepergian ayah yang telah di panggil oleh yang kuasa sejak aku masih kecil.    Aku tak bisa tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan dari mereka berdua, aku nggak mau terjadi sesuatu pada Ibu. Apapun yang terjadi Ibu harus tetap bertahan, apakan aku egois menginginkan Ibuku yang sakit-sakitan terus menemani aku?    Tidak, aku hanya ketakutan bila beliau juga meninggalkan aku seperti ayah. Apa jadinya aku bila hidup tanpa mereka berdua nanti? Satu-satunya kekuatanku hanyalah Ibuku seorang, aku rela melakukan apapun agar Ibu tetap tersenyum untukku.    Tak seberapa lama seorang dokter keluar dari ruangan Ibuku dan mencariku, “Kamu putri bu Kalsum?”    “Iya benar dok, saya putrinya. Gimana keadaan Ibu saya dok?” tanyaku sangat panic.    “Ehmm, saya harus mengatakan yang sejujurnya mbak. Ibu Kalsum menderita diabetes basah, gula darahnya sangat tinggi sehingga Ibu mbak harus di rawat selama beberapa hari”    Berita ini tak bisa menyembunyikan wajah terkejutku, “Ibu kena diabetes dok?”    Dokter itu mengangguk pelan, “Sebaiknya mbak juga tetap menemani Ibu Kalsum agar beliau lebih tenang, usahakan jangan menunjukkan wajah mbak yang sedih agar Ibu Kalsum tidak ikutan sedih”    “Baik dok”    Setelah mengatakan beberapa hal lagi dan melihat biaya rumah sakit yang sangat besar, aku menemui Ibu di ruangannya. Aku duduk di sebelah Ibu yang terbaring lemah, aah wajahnya sangat tenang saat beliau tidur.    “Nduk..”    “Iya bu?” jawabku kaget, tiba-tiba saja beliau memanggilku tanpa membuka mata.    “Ibu mau pulang saja, ibu nggak mau di rawat nduk”    “Kenapa bu? Ibu lagi sakit, nggak apa-apa Ibu di rawat. Nia disini nemenin Ibu kok, Ibu istirahat saja ya”    Seketika sorot mata Ibuku memperlihatkan sesuatu yang sangat tidak ingin ku lihat, antara sedih dan marah secara bersamaan. Aku tak bisa mengartikannya mengapa beliau melihatku seperti itu.    “Biaya rumah sakit mahal nduk, Ibu nggak mau kamu cari pinjaman kesana kemari untuk mengobati Ibu” yaah sudah ku duga Ibuku akan memikirkan hal ini, beliau tipe orang yang sangat hemat dan memikirkan masa depan.    “Nggak apa-apa Bu, Nia masih punya tabungan kok. Biaya rumah sakit Ibu bisa Nia tutupi” bohong, aku memang bohong pada Ibu agar beliau tidak khawatir soal uang.    Aku tidak punya pekerjaan tetap, setelah aku lulus kuliah jurusan administrasi kantor aku bekerja di sebuah toko bangunan di dekat tempat tinggalku. Aku menerima honor yang tidak banyak, honor itu hanya bisa di gunakan untuk menutup keperluan sehari-hari saja.    Bisa bekerja saja aku sudah sangat bersyukur, ketahuilah mencari pekerjaan di Jakarta sangat sulit sehingga aku harus tetap bertahan disana sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih layak lagi.    Masalah biaya rumah sakit Ibu, akan ku pikirkan nanti saja. Aku akan mengambil beberapa pinjaman dengan jaminan motor yang di tinggalkan ayah, semoga koperasi simpan pinjam masih mau memberikanku pinjaman mengingat kondisi motor ayah yang sudah usang.    “Nduk..”    “Ya Bu?”    “Nggak perlu repot-repot cari pinjaman buat Ibu, kamu pake uang itu untuk masa depanmu saja. Ibu nggak mau ngerepoti kamu, nduk”    Aku menggenggam tangan Ibu yang lemah, “Nia nggak apa-apa kok bu, uang bisa Nia cari lagi. Pokoknya ibu sehat aja udah jadi anugerah paling indah yang Tuhan berikan”    Entah bagaimana jadinya nanti, pokoknya aku harus mencari uang untuk menebus biaya rumah sakit elit ini. Untung saja di rumah sakit ini memiliki keringanan untuk para warga kurang mampu, mereka akan memotong bahkan memberikan keringanan biaya.    Untuk kasus ibuku ini, pihak rumah sakit tidak memaksaku melunasi biaya perawatan saat itu juga namun aku bisa membayarnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Jarang sekali aku menemukan tempat yang memanusiakan manusia apalagi saat keluarga pasien benar-benar membutuhkan.    Aku sangat berterima kasih pada rumah sakit milik keluarga Johanson ini, mereka benar-benar memberikan banyak bantuan pada kami.    Sebenarnya dokter mengatakan padaku kalau ibuku sudah menyembunyikan penyakitnya sejak lama, tapi sayang sekali penyakit ibu menggerogoti kaki beliau. Bila kami telat menanganinya, bisa-bisa kaki ibu harus di amputasi agar penyakit tidak menjalar ke tampat lainnya.    Aku harus bolak-balik mengantarkan ibu ke rumah sakit demi melihatnya kembali sehat dan tersenyum untukku, tapi satu yang membuatku bingung yaitu saat aku akan membayar tagihan selama ibu di rawat. *****    “Hah? Apa mbak?”    “Biayanya sudah lunas mbak” jawab petugas administrasi.    “Yang benar mbak? Saya belum membayar biaya perawatan mbak, hanya obat-obatan saja yang saya bayar sebelumnya” kataku ngotot, lah memang benar aku belum bayar biaya rumah sakit tapi mbak adminnya ngeyel.    “Atas nama pasien ibu Siti Kalsum, benar? Dan walinya Navia Arabelle, mbaknya bukan?”    “I-iya benar mbak” jawbaku kaku.    “Semua biaya perawatan dan obatnya sudah lunas mbak, ini yang ada di data saya mbak sudah bayar kemarin sore lewat transfer. Ibu Kalsum juga di haruskan tetap datang kontrol selama seminggu dua kali”    “…” aku tak bisa mengeluarkan kata-kataku saking terkejutnya.    "Mbak Navia, halo?”    “Mbak, saya kira itu bukan saya. Saya belum pernah mengirim uang untuk melunasinya, mungkin ada orang yang salah kirim dan tercatat saya yang membayarnya. Saya minta untuk di perbarui karena saya memang belum membayarnya”    Bagaimanapun juga aku harus meluruskan hal ini agar tidak terjadi salah paham di kemudian hari, bisa saja orang lain yang salah transfer kan?    “Benar ini mbak kok yang transfer” kata petugas itu, beliau memberikan sebuak kwitansi bukti pembayaran padaku “Ini ya mbak, nominal ransfernya sudah benar mbak”    “Iya mbak” jawabku pelan.    “Ibu Kalsum di jadwalkan untuk datang hari selasa dan jumat ya mbak, mohon untuk hadir agar pengobatannya lebih efektif” pinta mbak-mbak admin tadi.    “Iya mbak, terima kasih banyak”    “Sama-sama mbak” jawab petugas itu.    Aku berbalik dengan seribu pertanyaan di kepalaku, aku yakin betul aku belum pernah melakukan pembayaran untuk biaya perawatan tapi mbak admin ngotot aku sudah membayarnya. Karena bingung aku kembali pulang naik bus kota tetap dengan pertanyaan yang sama.    Siapa yang telah melunasi biaya rumah sakit dan pengobatan ibu? Orang itu juga membayar pengobatan selama setahun penuh.    Siapapun orangnya, aku akan mencari orang itu sampai ketemu. Aku nggak mau punya hutang budi pada orang lain, apalagi dengan seseorang yang nggak ku kenal. *****    Setelah kejadian itu aku tetap datang ke rumah sakit untuk jadwal pengobatan ibu, untungnya kaki ibu bisa di selamatkan jadi tidak perlu sampai mengamputasinya. Aku melihat perkembangan kesehatan ibu yang makin lama makin membaik saja sudah amat sangat bersyukur.    Sudah satu tahun berlalu aku menemani ibuku menjalankan perawatan untuk penyakit diabetesnya, ibu mengikuti semua pengobatan dan juga therapy dengan baik.    “Nduk?”    “Iya bu, ibu mau Nia minum?” tanyaku.    Ibu yang sudah terbiasa bermalam di rumah sakit setelah therapy tidak biasanya mengajakku bicara, setelah menjalani teraphy beliau sering kali tertidur karena kelelahan. Tapi malam ini di atas tempat tidur ruangan yang tersekat tirai dengan pasien lain, beliau mengajukan pertanyaan yang tak bisa ku jawab.    “Kamu dapat uang buat pengobatan ibu dari mana?”    “Nia kerja sambilan juga, bu” jawabku bohong, jujur sampai satu tahun ini aku masih belum menemukan siapa orang yang telah membayar biaya pengobatan ibu.    “Kamu kerja sambilan apa sampai bisa bayar semua uang pengobatan ibu?”    “Hemm banyak bu, tapi yang penting ibu sehat kan? Nia lihat ibu sehat dan menemin Nia aja udah seneng banget, Nia mau ibu tetep sehat tanpa mikirin uang”    Ibu menatapku sangat lama, “Iya, makasih banyak ya Nia. Kamu kerja keras buat ibu, nanti kalo ibu sudah sembuh kamu mau makan apapun bakal ibu masakin”    “Hehe, bener nih bu?”    “Iya dong, buat putri ibu satu-satunya apa sih yang enggak?”    “Nia mau makan pepes ikan dan sayur asem buatan ibu, udah lama Nia nggak makan pepes”    “Loh bukannya Nia sering beli ya?”    “Iya tapi rasanya kurang kalo bukan ibuku sendiri yang masak hehe”    Ibu yang berbaring berusaha meraih tubuh kecilku, “Ibu bakal masakin apapun yang Nia mau, tapi janji satu hal sama ibu”    “Apa itu?”   “Jangan bekerja terlalu keras, ibu nggak mau kamu sampai sakit. Kalo lelah Nia bisa istirahat dulu ya”    Aku mengangguk mengiyakan permintaan ibuku, berada dalam pelukannya yang hangat seakan menyelimuti seluruh tubuhku. Sehangat inikah semua pelukan ibu di seluruh dunia? Aku sangat bersyukur memiliki dan melihatnya di usiaku yang sudah menginjak usia dua puluh empat tahun.    Satu lagi kejutan yang tak hadir padaku ialah, aku di terima kerja di sebuah kantor berita online. Aku cukup terkejut karena melewati tes wawancara sebanyak empat kali dan menyingkirkan ratusan pelamar lainnya.    “Dengan ini aku bisa melunasi biaya pengobatan ibu untuk satu tahun ke depan” gumamku saat kembali ke rumah.    Aku ingin segera memberitahu kabar baik ini pada ibu tapi aku merasa seseorang tengah mengikuti aku sepanjang jalan. Aku berjalan agak cepat agar sampai ke pemukiman penduduk, pria yang tinggi sekitar dua meter itu terlihat beberapa kali di belakangku.    “To-tolong, siapapun tolong aku” gumamku amat ketakutan, aku sendirian disini. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD