Kesalahan

1408 Words
Selamat membaca! Aku mempercepat langkah kakiku, jantungku berdetak cepat tak berirama. Aku takut, cemas, kecewa bercampur menjadi satu. Tidak ada apapun yang terlintas dalam pikiranku selain satu hal itu. Aku semakin bergegas agar segera sampai di tujuan. Namun, tanpa sengaja tiba-tiba tubuhku bertabrakan dengan seseorang. “Auw.” Tubuhku terpental hingga jatuh mendarat halus di permukaan lantai. Aku memang berjalan dengan tergesa-gesa karena terlalu fokus pada benda kecil yang kini aku sembunyikan di balik saku. Bagaimana aku tidak fokus? Benda itu menjadi penentu hidup dan masa depanku. “Bapak, maafkan saya. Saya tidak sengaja,” ujarku sopan sambil menunduk, aku tak berani menatapnya. Wajahnya kadang membuatku tak sadarkan diri akibat ketampanannya. Rangga Prasetya, dosenku yang satu ini adalah dosen termuda dan tertampan di kampus ini. Tidak hanya tampan dan pintar, pria itu juga ternyata sangat kaya dan multi talenta. Paket lengkap. Sungguh, pria idaman seluruh wanita. Jika saja aku bertemu dengannya lebih dulu sebelum kejadian itu, mungkin aku juga akan merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh mahasiswi kebanyakan di kampus ini. Tertarik bahkan tergila-gila padanya. “Lain kali hati-hati.” “Iya, Pak. Maafkan saya,” tuturku dengan masih tertunduk, aku hanya menatap sepatu hitamnya yang bersih dan mengkilat. “Tegakkan kepalamu!” titah Pak Rangga dengan tegas. Tegakkan? Oh tidak! Aku tidak mungkin melakukan itu. “Nadia Arfahinata!” panggilnya karena aku tak kunjung mengangkat kepalaku yang tertunduk. “Eh iya, Pak.” jawabku dengan segera dan langsung mendongkak, menatap wajah tampan dosenku yang satu itu. Nah kan, sekarang Pak Rangga tersenyum, tampak sangat manis. Ah, senyuman Pak Rangga membuat tulang sumsumku lemas tak berenergi. Tak ingin khilaf lagi, kemudian dengan cepat aku berbalik dan berlari setelah berpamitan padanya. Kini, aku sudah sampai di tempat biasa. Tempat di mana aku dan dia berbincang dan bertemu secara rahasia. “Vian, aku hamil!” ucapku dengan suara bergetar, membuat dia menghentikan aksinya. Vian Pranata, mahasiswa tertampan dan juga terpopuler di kampus. Aku menyukainya sejak aku pertama kali datang ke kampus ini, kita sangat dekat, bahkan orang-orang selalu menjodohkan kami entah karena apa, dan karena kebiasaan itu membuat kami dekat. Jujur, sejak awal aku melihatnya aku memang tertarik padanya. Menyukainya karena ketampanannya. Ya, walau sebenarnya masih lebih tampan si Pak Rangga. Tanpa diduga, Vian juga mempunyai perasaan yang sama. Pria itu mengutarakan perasaannya ketika kami sedang berdua di kelas kala itu. Hingga pada akhirnya, aku dan Vian memutuskan benar-benar jadian tanpa sepengetahuan mahasiswa lainnya. Kami selalu bertemu dan jalan bersama secara sembunyi-sembunyi. Hingga pada suatu waktu, kami merayakan anniversary tanggal jadian yang ke satu tahun. Awalnya, Vian hanya mengajakku ke Villa keluarganya untuk merayakan anniversary kami. Namun, di tengah keadaan Vian malah berbuat lain. “Vi….” ucapku gugup ketika Vian menggenggam erat kedua tanganku yang terasa dingin. Vian menatap wajahku sendu, matanya sayu. Aku membalas tatapannya, aku tahu apa maksud Vian. Tapi aku menolak, aku takut. Aku takut hamil, aku takut ayah dan ibuku tahu. “Tidak apa-apa, aku akan bertanggung jawab.” jawabnya kemudian dengan perlahan. Tubuhku kaku, desiran darahku mengalir cepat beriringan dengan keluarnya keringat di pelipis wajahku. Aku masih ketakutan, tapi Vian tersenyum dan mengatakan, “Tenanglah, tidak akan ada yang tahu.” ucapnya. Kata itu sedikit membuat aku tenang. Keesokan harinya. Aku melakukan aktifitas seperti biasa, pergi ke kampus dan belajar design kesukaanku. “Hai, Nadia," sapa Gina, teman kampus sekaligus temanku sejak kecil. Kami sangat dekat, bahkan sampai dikira adik kakak oleh orang-orang yang tidak mengenal kami. “Eh ya, ada apa?” tanyaku sambil merapikan buku-buku yang baru saja aku baca. “Nanti malam kita ke club yuk," ajaknya seraya tersenyum. Pergaulan Gina memang lebih bebas dariku, gadis itu sering ke club bersama kekasihnya. Gina merupakan anak broken home, wajar saja jika kegiatannya bebas tanpa ada satupun yang melarangnya, kecuali neneknya yang sudah tua. Meski Gina seperti itu, aku tidak tahu sejauh apa pergaulannya di bandingkan diriku setelah kejadian malam itu. Mungkin sudah bisa dipastikan bahwa yang aku lakukan itu lebih parah darinya. “Mau ngapain?” tanyanya sambil menggaruk kepala. “Main kelereng.” Gina menjawab sambil memutar kedua bola matanya malas. “Ya happy-happy lah," lanjutnya lagi sambil memainkan rambutnya yang panjang di hadapanku. “Tapi gimana sama bokap, nyokap gue?” bimbangku yang pasti akan dilarang oleh kedua orang tuaku jika tahu aku pergi ke tempat hiburan malam yang bebas. “Tenang, gue yang urus!” jawabnya dengan begitu mudahnya dan terdengar mantap. Malam hari di rumahku. Gina benar-benar mengajakku ke club, gadis itu dengan berani datang ke rumahku dan meminta izin kepada ayah dan ibu membawaku keluar dengan alasan menginap di rumahnya. “Eh, lo gila ya!" ujarku ketika Gina sudah masuk ke kamarku. “Ayolah, gue ulang tahun hari ini. Gue pengen lo datang sebagai hadiah buat gue, ayolah Nadia sekali ini saja!" pintanya dengan wajah memelas. Aku menghembuskan napas dengan kasar, aku tidak pernah menginjakan kakiku tempat hiburan malam sekalipun. Namun, melihat wajahnya yang memelas membuatku tidak tega untuk menolak. “Hm, baiklah.” “Yeay!” teriak Gina kegirangan. Malam itu, kita berdua benar-benar pergi ke club, Gina disambut dan ramai oleh teman laki-lakinya yang tidak aku kenal. Mereka membawa Gina ke sekumpulan orang yang sedang menari ke sana dan kemari, mengikuti alunan musik yang sangat keras. Dentumannya bahkan hingga mencapai ulu hatiku, aku tak biasa dengan hal ini. Ditambah dengan bau alkohol yang menyengat membuatku semakin tidak tahan. Sekilas aku menatap mereka dengan kedua sudut mataku, bahkan di setiap sudut ruangan. Muda dan tua tak mau kalah, mereka berbuat bebas tanpa menghiraukan suasana sekitar. Sekelebat aku seperti melihat wajah Vian, wajah itu berlari ke arah kerumunan orang yang sedang menari tadi. “Vian," teriakku dengan keras, namun tetap saja suaraku kalah dibanding dengan kerasnya musik sialan itu. Benar! Itu benar-benar Vian. Vian Pranata, kekasihku. Aku tidak salah lihat, mataku tidak minus karena aku tidak suka membaca. “Vian,” teriakku lagi dengan keras, aku tidak dapat melihatnya lagi karena kerumunan itu semakin ramai. Ditambah dengan gemerlap lampu yang semakin minim penglihatan. Namun, tidak ada satupun orang membalikkan badannya. Orang-orang di sekitarku juga tampak tak mendengar, mereka masih asik dengan kegiatannya. “Huft…” Aku menghembuskan napas kasar dan lelah. Sepertinya aku hanya berhalusinasi. Mataku menyapu bersih ruangan tersebut, aku mulai bosan. Gina yang tadi tertawa riang pun sekarang sudah tidak terlihat, mungkin dia menari sambil berjalan menjauh hingga aku tidak dapat melihatnya lagi. Sekarang aku mulai panik karena sudah beberapa menit aku tidak melihat wajah sahabatku itu, aku tidak kenal siapapun lagi di sini selain dia. Bagaimana jika aku diganggu orang mabuk atau dijahili pria asing di sini. "Aaaa, Gina kamu di mana sih?" batinku yang menjerit dalam hati, percuma jika berteriak nyata, namun tidak terdengar. Tiba-tiba tubuhku dipeluk dari belakang oleh seseorang. Dan ternyata seseorang itu adalah Gina yang aku cari dari tadi. “Ya ampun, Gina! Ngagetin aja deh." Aku memukul keras tangannya karena merasa kesal. “Haha, sorry. Lagian lo kenapa tegang gitu coba. Ayo dong, nari-nari sama gue!" ajaknya dengan menggoyangkan seluruh tubuhnya di hadapanku. Membuatku geli sambil geleng-geleng kepala. Aku menghela napas berat. “Gue itu takut lo kabur duluan, bagaimana kalo gue di sini tanpa lo dan diganggu sama orang mabuk atau orang asing?” “Gak apa-apa dong! Kan lo bisa kaya mendadak kalau ketemu om-om sultan,” ledeknya diiringi dengan suara tawa yang renyah. “Sialan! Gue gak butuh duit begituan,” hardikku sambil mengerucutkan bibirku kesal. “Hehe... Bercanda kali gue. Ya sudah yuk, ikut sama gue!” “Eh, ke mana?” tanyaku dengan kedua alis yang saling bertaut. Kepanikan kembali bersahabat denganku ketika Gina menarik tanganku, masuk dan bergabung dengan orang-orang yang menari. “Gina, gue gak bisa nari beginian!” teriakku pada Gina. “Apa? Gue gak denger!" Tanyanya yang membuatku jengkel. Gina menari dengan begitu lihainya, dia memaksaku untuk mengikuti gerakannya, tapi aku hanya menggerakkan sedikit tubuhku. Lampu kerlap-kerlip di atas itu membuat mataku pusing, dengan cepat aku kembali duduk di tempat tadi dan hanya menatap Gina dari kejauhan. Gina terus tertawa riang, menari mengikuti alunan musik yang dimainkan oleh DJ dan entah kapan akan berhenti. Bosan dengan hal itu-itu saja, aku meraih sebuah gelas yang berisi minuman yang entah itu apa, yang jelas minuman itu Gina tuangkan di gelasku. Lalu aku mencoba berkeliling. Berharap ada tempat tenang untukku beristirahat sambil menunggu Gina selesai dengan pestanya. Derap langkah kakiku terus melangkah menyusuri ruangan yang aku harapkan tenang dan damai untukku istirahat, jauh dari kebisingan, gemerlap lampu dan bau alkohol. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD