Permintaan Seorang Ibu

1258 Words
"Apa? Aku tidak mau, Bunda!" protes Rayya kepada bunda dan ayahnya.  Gadis dua puluh lima tahun itu protes, sebab tidak mau dipaksa menikah dengan lelaki bernama Dimas, yang tak lain adalah calon kakak iparnya.  "Ini permintaan Ibu Laksmi, Nak." Terlihat sekali raut bingung, yang jelas terpancar di wajah wanita berusia empat puluh tujuh tahun tersebut.  "Iya, tapi enggak bisa kaya gitu juga, Bunda. Semua yang terjadi adalah takdir yang sudah Allah tuliskan, sejak sebelum kita lahir ke dunia ini." "Bunda tahu, Nak. Tapi Ibu tidak tega melihat Ibu Laksmi yang setiap hari menangis melihat Dimas seperti orang tidak waras karena kehilangan kakakmu." Ya, Dimas lelaki yang menjabat sebagai seorang direktur di sebuah perusahaan milik ayahnya, adalah kekasih Ria. Ria sendiri bekerja sebagai salah satu staf keuangan di perusahaan di mana kekasihnya pimpin.  Sedangkan Rayya adalah seorang gadis yang bekerja sebagai penjaga toko merangkap koki, di sebuah toko kue dan roti yang ia miliki. Seharusnya memang, Ria-lah yang akan menikah dengan Dimas —kekasihnya. Tetapi takdir yang Allah berikan kepada keduanya, tidak sejalan dengan keinginan mereka.  Seminggu sebelum hari pernikahan dilangsungkan, Dimas dan Ria yang baru saja menghadiri sebuah pesta ulang tahun salah satu kolega, mengalami kecelakaan. Ria tewas di tempat, sedangkan Dimas harus melewati masa kritis di rumah sakit selama berhari-hari.  Setelah sadar dari koma selama seminggu, Dimas baru mengetahui jika calon istrinya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Lelaki tiga puluh tahun itu terus menyalahkan dirinya sendiri, sebagai penyebab kekasihnya meninggal dunia.  Meski sudah diberi pengertian dan juga bujukan jika itu semua adalah takdir Tuhan, yang tidak bisa kita duga atau pun direncanakan, tetap saja Dimas tidak terima. Lelaki itu berubah menjadi pendiam, tidak banyak bicara bahkan cenderung menyendiri, menjauh dari dunia luar.  Kedua orang tuanya, terutama sang ibu —Laksmi— tak tega melihat putra semata wayangnya itu menjadi pribadi yang sulit untuk didekati. Tubuh gagah milik Dimas sebelumnya, semakin kurus meski aura ketampanan itu masih nyata tergambar di wajahnya.  Pada akhirnya, Bu Laksmi memiliki ide untuk menjodohkan Dimas dengan adik kembar Ria, yaitu Rayya. Muka keduanya yang sangat mirip karena kembar identik, membuat Bu Laksmi yakin jika sang putra akan kembali menjadi Dimas yang dulu.  Permintaan yang menurut Rayya aneh itu, ditolak mentah-mentah. Ia tidak mau menjadi 'tumbal' atas sesuatu hal yang bukan kesalahannya.  "Minimal kamu bicara lah sendiri pada Bu Laksmi. Kalau memang kamu tidak mau, maka bisa katakan langsung kepada beliau secara baik-baik." Rayya terlihat sekali kesal. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ide gila itu muncul dari mulut sesama perempuan.  Tapi Rayya tidak tahu, ada perasaan seorang Ibu di balik permintaan aneh itu. Perasaan hancur, sedih, dan pilu melihat sang putra seperti mayat hidup, yang mati enggan hidup pun tak mau.  "Yah, Rayya harus bagaimana?" tanya gadis itu meminta pendapat sang ayah.  Meski ia tidak suka dan bisa menolak, tapi Rayya tidak pernah tidak untuk meminta saran atau pendapat dari sang kepala keluarga. Seorang pia yang nantinya akan menjadi wali nikah dirinya itu, tak luput Rayya mintai pendapat.  "Apa yang bundamu katakan benar, Rayya. Kita sebagai orang tua bisa merasakan hal yang sama, seperti yang saat ini Bu Laksmi rasakan. Perasaan kehilangan orang yang disayangi itu sakit. Bunda dan Ayah kehilangan Ria itu jelas, memang dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Nah, Bu Laksmi dan Pak Bara, melihat putra semata wayangnya seperti itu, kita tidak akan tahu betapa sakitnya mereka melihat sosok sang putra itu masih hidup, tapi bersikap seperti orang mati." Rayya lemas sudah. Niat hati ingin mendapat dukungan dari sang ayah, ia malah harus menerima jawaban yang sama, jika ia memang harus menolak sendiri ke Ibu Laksmi —ibunya Dimas. "Temuilah Bu Laksmi besok di kediamannya. Sebab Ibu dan Ayah yang tadinya diminta memberikan jawabannya besok." "Kenapa harus ada tenggat waktu seperti itu?" Kembali Rayya protes.  "Bukan tenggat waktu, hanya menginginkan jawaban secepatnya dari kamu Rayya, itu saja." Rayya menyerah, mau tidak mau, ia akan menuruti pendapat dari kedua orang tuanya, sekaligus menghormati orang tua lain, yang ia kenal juga. Bu Laksmi dan Pak Bara, calon mertua kakaknya itu, memang sudah Rayya kenal sejak sang kakak dan kekasihnya itu memutuskan untuk melanjutkan hubungannya ke jenjang yang lebih tinggi —pernikahan. Hingga setelah satu bukan kematian kembarannya itu meninggal, sejak itu pula ia tidak pernah bertemu dengan sepasang suami istri tersebut. Mereka memilih mengurus sang putra yang harus menjalankan berbagai macam terapi psikologis dengan seorang dokter khusus kejiwaan.  Dimas memang tidak gila, tetapi mimik wajah lelaki itu, terlihat tak bernyawa. Orang yang melihatnya akan mengira jika lelaki itu sudah tidak waras atau gila.  "Baiklah, besok aku akan ke sana. Tapi aku minta Bunda menemani aku, bagaimana?" "Ya, Bunda akan menemani kamu." *** Di sinilah Rayya sekarang, sebuah rumah besar nan luas dengan segala perabot modern, menunjang isi dalam ruangan yang tampak mewah.  Rayya duduk berdampingan dengan sang bunda, berhadapan dengan seorang wanita cantik di usianya yang sudah melewati setengah abad.  "Jadi, bagaimana permintaan Ibu, Nak Rayya?" tanya Bu Laksmi to the point.  Rayya tidak langsung menjawab, ia yang sejak kemarin sudah yakin menolak, kini terlihat bimbang demi melihat wajah cantik itu terlihat layu dengan kelopak mata yang menghitam di bagian bawahnya. Tubuh yang kurus kecil yang semakin menyusut sebab memikirkan sang buah hati yang tak kunjung sembuh. "Rayya?" bisik sang bunda di sebelahnya. Menyadarkan Rayya dari lamunannya.  "A-ehm, iya." "Bagaimana jawaban kamu, Nak?" Kembali Bu Laksmi bertanya.  "Ehm, sebelumnya Rayya harus meminta maaf kepada Ibu. Sepertinya Rayya tidak bisa menerima tawaran yang Ibu berikan. Maaf jika Rayya tidak bisa membantu dalam mengembalikan Dimas seperti sedia kala." Campuran perasaan lega dan juga tak enak, bersarang di dadanya kini. Meski lega bisa menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan, tapi demi melihat wajah kecewa dari Bu Laksmi, Rayya pun merasa tak enak hati.  "Oh begitu yah? Ya, jika itu memang jawaban kamu, Ibu tidak akan memaksa, Nak Rayya. Do'akan saja Ibu bisa melewati semua fase ini hingga putra Ibu —Dimas— kembali seperti semula." "Aamiin. Insya Allah akan Rayya do'akan, Bu." Di tengah rasa tak mengenakan yang tiba-tiba tercipta di dalam ruang tamu itu, sebuah suara teriakan menggema dari arah kamar di lantai atas.  "Kamu jahat, Ria! Kamu jahat!" Seketika suara teriakan itu membuat ketiganya terkejut. Bu Laksmi yang mengetahui jika itu adalah suara Dimas, setengah berlari menuju ke arah tangga menuju lantai dua, ke kamar sang putra.  Rayya dan bundanya, yang sebelumnya bingung, tak tahu harus berbuat apa, saling memandang.  "Aku ikut kamu, Ria!" Kembali suara itu terdengar di tempat di mana Rayya duduk, di lantai bawah.  Entah sebuah dorongan dari mana, Rayya beranjak dari posisinya dan berlari ke arah tangga seperti yang tadi Bu Laksmi lakukan.  Sesampainya di sebuah kamar yang terbuka, Rayya yang berdiri di ambang pintu, melihat sesosok pria dengan air mata yang membanjiri wajahnya terus menangis dan menjerit, tengah berusaha dipeluk oleh sang ibu.  "Dimas, sabar, Sayang." Kalimat itu terus, yang selalu Bu Laksmi ucapkan kepada sang putra.  Ketika Dimas menyadari ada sosok yang lain di antara mereka, lelaki itu pun melihat ke arah orang itu. Rayya yang masih berdiri di pintu, merasa serbasalah ditatap oleh Dimas dengan pandangan yang gadis itu tak mengerti.  "Ria?" lirih Dimas sembari menatap Rayya.  "Ria? Kamu Ria 'kan?" Kembali Dimas berseru, dengan sedikit menaikkan volume suaranya.  Rayya yang dipanggil dengan nama kembarannya, bingung dan canggung. Tak tahu harus bagaimana bersikap, gadis itu masih diam membatu.  Perlahan Dimas melepaskan pelukannya dari sang Ibu. Berjalan mendekati Rayya yang ketakutan dihampiri oleh lelaki itu.  "Ria?" panggil Dimas kembali.  "Ma-maaf, aku bukan Ria. Aku adalah Ray—ya ...!" Kalimat gadis itu tidak keluar dengan tegas sebab Dimas sudah berhambur memeluknya.  Membeku. Rayya tidak sempat menolak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD