Chapter 1

1002 Words
Malaikat? Apa yang kalian bayangkan setelah membaca nama itu? Tentu saja, seorang pria atau wanita yang memiliki bundaran kuning di atas kepalanya, sayap putih yang besar dan cahaya berkilauan di tubuhnya. Benar begitu? Ya, rata-rata, setiap orang pasti membayangkan malaikat dengan rupa demikian, tapi bagaimana jika semua itu salah? Maksudnya, malaikat yang kita kenal sebenarnya bukan seperti itu, melainkan sama seperti manusia-manusia lainnya, memakai pakaian bebas, memiliki selera dan berbaur di bumi bersama kita? Yup! Itu semua benar adanya. *** "Hah?" Suara kekagetan dari seorang bocah laki-laki membuat seisi ruang kelas bergema, membuat seluruh mata memandang ke arahnya. "Maksud Bapak, besok giliranku?" "Ya, tentu saja, besok kau yang akan bertugas, Raiga." balas pria tua yang sedang berdiri di depan kelas, menyunggingkan senyumannya yang tertutupi kumis hitam. "Ada apa, sepertinya kau kelihatan gelisah, Raiga?" Raiga yang duduk di bangku paling belakang hanya menunduk malu mendengar respon dari gurunya. "Ti-tidak, aku hanya tidak percaya kalau malaikat sepertiku terpilih untuk mengemban tugas berat seperti itu, aku benar-benar tidak percaya." Bisikan-bisikan dari teman sekelasnya membuat Raiga semakin malu untuk menegakkan kepalanya. Raiga yang memakai jaket hitam bertudung terus menundukkan kepalanya, membuat wajahnya semakin tidak terlihat. "Kau boleh pulang, Raiga." Raiga langsung menatap wajah Pak Guru saat mendengar perkataan tersebut. "Hah?" Raiga berkedip dua kali. "Pulang?" Pria tua yang memiliki nickname Bravo di dada sebelah kanan menganggukkan kepalanya pada Raiga. "Ya, karena besok kau pergi, sekarang kau boleh pulang untuk bersiap-siap dan pamit pada keluargamu." ucap Pak Bravo dengan senyuman tipis. Jujur saja, Raiga sangat-sangat senang Pak Bravo menyuruhnya untuk pulang di awal kelas, ini benar-benar membuatnya bahagia. Raiga senyam-senyum, teman-teman sekelasnya langsung memandang ke arahnya dengan tatapan iri, lalu dia menggendong tas besar berwarna hitamnya lalu berdiri tegak. "Terima kasih, Pak Bravo, kalau begitu, saya pulang." Saat Raiga melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, seorang teman laki-lakinya yang duduk di bangku paling depan tiba-tiba menggebrakkan mejanya dan berdiri menghalanginya. Raiga kaget, dia tidak mengerti mengapa orang ini tiba-tiba menghalang-halanginya dalam berjalan. "Apa kau punya masalah denganku, Melio?" Raiga menatap Melio, lelaki berambut kuning bertubuh pendek yang kini sedang menghalang-halanginya hanya bisa mengembungkan pipinya. "Ke-Kenapa kau sesantai itu, Raiga?" Melio mengembungkan pipinya semakin besar. Raiga menaikan sebelah alisnya, kurang mengerti pada ucapan teman anak manjanya itu. "Lalu, apa masalahmu jika aku bersikap santai, Melio?" Semua orang yang ada di dalam kelas langsung hening, agar suara kecil dari Melio terdengar jelas. "Kau tidak mampu," kata Melio, menggigit bibirnya, tangan kanannya gemetar. "Kau tidak akan mampu melaksanakan tugas itu, Raiga!" "Hah?" Raiga menyeringai. "Jadi maksudmu, kau meremehkanku, Melio?" Raiga sengaja memasang eskpresi jahat, maju selangkah, membuat dada mereka saling bersentuhan. Melio mundur selangkah. "Apa kau tahu, kau bukan seorang malaikat jenius di kelas ini, tapi mengapa hanya kau yang terpilih untuk misi itu!? Kenapa bukan aku! Kenapa bukan aku!?" Raiga mengernyitkan dahinya, jujur saja, dia kurang peduli terhadal hal itu. "Aku memang bukan malaikat jenius sepertimu, Melio," ucap Raiga menarik napas panjang. "Lalu kenapa? Jika kau keberatan, kau boleh mempertanyakan hal itu pada Pak Bravo yang ada di depan kita, atau ke pihak sekolah di kantor, lagi pula, aku tidak punya waktu melayani bocah manja dan irian sepertimu, Melio." Setelah mengatakan hal itu, Raiga berjalan melewati Melio dengan menubrukkan bahunya pada bahu Melio, kemudian dia membungkuk hormat pada Pak Bravo dan teman sekelasnya yang lain sampai akhirnya dia keluar kelas, meninggalkan raut muka Melio yang masih melongo tidak percaya. *** "Hahaha!" Di dalam kamarnya, Raiga bermain dengan kucing peliharaannya di atas kasur miliknya, dia terus menggelitik badan hewan berbulu itu hingga menggeliat tidak karuan, membuatnya tertawa karena melihat tingkah dari peliharaannya itu. "Kau lucu sekali! Hahah!" "Raiga?" Sebuah kepala dari wanita paruh baya mendadak muncul di pintu kamar Raiga, perempuan itu berambut putih. "Bisa ke dapur sebentar?" Raiga menghentikkan aktivitas kecilnya bersama kucingnya dan langsung beranjak dari kasur menuju dapur. "Ada apa, Mama?" tanya Raiga setelah dirinya sampai di ruangan dapur yang beraroma amis. "Mama dapat surat ini dari sekolah," ucap Mamanya Raiga yang bertubuh gemuk seperti kudanil. "Kenapa kau tidak bilang padaku? Aku ini kan mamamu, Raiga?" "Bukankah itu surat pemberitahuanku mendapatkan misi dari sekolah? Kalau begitu bagus, aku jadi tidak perlu bilang lagi pada mama, karena Mama sudah mengetahuinya." Plak! Tiba-tiba, Mama menampar Raiga hingga kepalanya terempas ke samping. "Kau pikir Mama akan menyetujuinya, Raiga?" Entah mengapa, atmosfir ruangan dapur langsung menegang, membuat Raiga terkejut. Sebuah tamparan keras dari Mama cukup membuat Raiga sadar bahwa bukan hanya Melio yang keberatan, tapi Mama juga. Kenapa? "Mama?" Raiga kembali menatap Mama dengan wajah bingung. "Apa ini? Kenapa Mama tidak setuju aku mendapatkan tugas dari sekolah untuk turun ke Bumi?" Mendengar ucapan dari anak semata wayangnya benar-benar membuat wanita gemuk itu langsung menitikkan air mata. "Ayahmu! Kakekmu! Pamanmu! Semua malaikat yang turun ke Bumi pasti tidak akan pernah kembali! Sadarlah! Raiga! Mama tidak ingin lagi! Tidak ingin kehilangan seseorang yang mama sayangi di Surga ini! Mama tidak ingin kau juga pergi dari rumah seperti Ayahmu itu!" Raiga tahu persisi kejadian seperti ini pasti akan terjadi, karena itulah, dia sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari untuk menghadapi mama. Raiga langsung tersenyum, rambut peraknya yang terlihat sedikit di kepalanya bersinar, tudung jaket hitamnya juga mendadak berkilauan. "Aku berbeda," Raiga menyentuh pundak kanan mama. "Aku pasti pulang." Kemudian, dia langsung meninggalkan mamanya yang menangis sendirian di dapur. Maaf, Mama. *** Keesokan harinya, Raiga memasukkan semua perlengkapannya ke dalam koper besarnya, dia juga pamit pada kucing peliharaannya yang berbulu abu-abu. "Aku berangkat, Chogo! Haha!" Dia mengusap-usap kepala kucingnya dengan lembut. Saat Raiga keluar dari kamar, dia mendapatkan mamanya sedang berdiri di meja makan, tersenyum manis padanya. "Mama?" Mama menganggukkan kepalanya. "Kemarilah," Raiga berjalan santai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Ada apa, Ma?" "Ambillah," Mama memberikan sebuah kristal biru yang di dalamnya terdapat cahaya putih kecil seperti telur. "Aku tidak membutuhkan kristal ini dalam perjalananku, Ma." "Kau membutuhkannya, Raiga." Respon cepat dari mamanya membuatnya tersentak. "Kenapa aku membutuhkannya?" "Pokoknya, kau akan terkejut setelah tahu kegunaannya, Raiga," kata Mamanya. "Kalau begitu, pergilah, dan jangan lupa, tepati janjimu itu, Raiga." Raiga mengangguk dan tersenyum. "Aku berangkat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD