PROLOG

899 Words
  Jakarta, 2013   Jantung Rania berdebar cepat dipenuhi rasa tak terjabarkan kata. Tak lama lagi, ia dan pujaan hatinya akan menjadi pasangan suami istri. Sejatinya untuk memiliki hubungan abadi hingga maut memisahkan. Akhirnya kisah cintanya tiba juga di hari ini. Hari pernikahannya. “Bagaimana?” tegur Renjana, kakaknya, dari balik punggung Rania yang sedang dirias. “Sudah ada kabar belum dari Adit?” “Belum Kak,” Rania bicara tanpa menggerakkan bibir, perias sedang meratakan alas bedak di wajah calon pengantin 24 tahun itu. “Yang lain bagaimana? Ada komunikasi?” “Kata Ibu, lima belas menit yang lalu mereka sudah mau berangkat, tapi belum ada kabar lagi,” sejenak wajahnya dihinggapi cemas. “Aduh, mudah-mudahan tidak terkena macet ya,” harapnya. Rania mengabaikan berbagai bentuk debat dan tanya jawab di sekitarnya. Namun rasa gelisah mulai mengusik hati calon pengantin wanita, seiring jarum jam yang terus bergerak maju. Semakin lama rasanya semakin tidak tenang. Dua minggu dipingit, ia belum sempat bertemu muka lagi dengan pria yang akan meminangnya. Semalam dia dan Aditya—calon suaminya, sempat berbincang singkat di telepon. Sepertinya ada sesuatu yang membuat calon suaminya itu gundah. Adit sudah berkali-kali berkata bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Rania pun berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya sekadar rasa gugup yang biasa menyerang calon pengantin. Sayangnya, kali ini firasat gadis itu berkata lain. Ada sesuatu yang terus membuatnya bimbang.  “Jangan menunduk ya, Sayang,” Perias menaikkan dagu Rania yang termenung memikirkan calon suaminya. Berkali ia melirik ponsel yang bergeming di atas meja rias. Sanggul rambut Rania baru selesai saat sebuah pesan masuk ke ponselnya, sementara pihak keluarganya sudah kian gelisah. “Aditya-ku” tampak di layar berpendar. Segera Rania meraih dan membaca pesannya. Genggaman gadis itu mengerat, sontak setiap otot tubuhnya mengejang saat membaca pesan dari si calon mempelai pria. [Maafkan aku, Rania…] Maafkan aku… Rania membaca kalimat itu berkali-kali. Apa maksudnya? Apa maksud ucapan singkat Adit yang seketika membuat Rania yakin ada yang tidak beres. “Jangan dulu bergerak, ya, Cantik…” perias yang keibuan itu berkata sambil menahan kesal karena Rania tidak bisa diminta diam.  Kali ini Rania tidak menghiraukan permintaannya. Gadis itu sontak berdiri.  “Eh!? Mbak …!” pekik Perias, saat kembang goyang di tangannya jatuh membentur lantai. Rania berusaha menghubungi calon suaminya dengan gelisah dan tangan gemetar. Namun panggilan calon pengantin wanita itu tidak diangkat. Tidak sabar ibu jari Rania menekan layar ponsel berkali-kali untuk menghubungi Adit kembali namun tetap tidak diangkat. Malahan, sambungannya diputuskan. “Dek, kenapa sih? Cepat duduk lagi! Kamu ‘kan masih harus dirias!” perintah ibunya yang melirik melalui cermin rias, mulai ikut gundah. Jantung Rania bergerak kian panik. Dentuman kuat mengisi hingga kepalanya. Keriuhan di ruang rias bahkan tidak dapat mengalahkan keras dentum jantungnya. Ada yang tidak beres, dia tahu ada yang tidak beres. Rania tidak menghiraukan himbauan ibunya dan menghubungi calon mama mertuanya. Setelah beberapa dering yang terasa sangat lama, panggilannya diterima. “Ma, ini Rania. Kalian di mana? Adit bagaimana?” “Ran…” Suasana di telepon terasa mencekam. Rania otomatis tidak mendengar suara apa pun selain suara lemah dan gelisah Tante Dewi. “Ada apa?” bisik Renjana, mendekat kepada adiknya yang tampak gelisah. “Ma, tolong jelaskan, Adit kenapa!? Dia baik-baik? Bisa aku bicara dengannya?” Rania memaksa, para kerabat yang melebah, suaranya kian rendah, dan mulai mendekat mengerubungi saat mendengar nada bicara Rania meninggi. Mereka turut mengendus ada yang tidak beres. “Ran, tolong maafkan kami… A-Adit… Aditya menghilang,” Tante Dewi mendesah berat. “Apa…?” desis Rania, mendadak tuli karena rasa tidak mau percaya. “Aditya pergi. Semalam dia masih ada, tapi tadi subuh… Adit menghilang. Kami sudah berusaha mencarinya, tapi tidak bisa menemukannya. Kami telpon tidak diangkat. Maafkan kami, Ran… Maafkan Adit …” Ibu Adit terdengar tak kalah patah hati. Rania tak sanggup lagi mendengarkan. Rasa dingin mendadak menjalari sekujur tubuhnya dengan cepat. Sekelilingnya mulai berputar. Itu sebelum semua mendadak gelap untuknya. ***   Dirga mengamati satu per satu penumpang yang baru saja turun dari pesawat asal Australia. Tidak lama kemudian dia bisa melihat sosok Raka, kakaknya, yang tampak menawan dengan setelan blazer hitam eksklusif khas pebisnis. Di sampingnya, ada Padma, teman dekat Dirga yang telah dikenalnya sejak kuliah. Tentu bukan tanpa alasan Dirga ada di sini menjemput kakaknya, tapi karena ada Padma bersamanya. Dirga menggenggam erat sebuah kotak beledu dalam saku jaketnya. Raka dan Padma menghampiri. “Kamu terlihat sehat,” Raka menepuk keras bahu Dirga seraya tersenyum puas, saat melihat adiknya yang berrambut gondrong melewati kerah, tampak kurang rapi seperti biasa. Dirga hanya menanggapi dengan sepotong senyum seadanya. Dia segera beralih kepada Padma. Namun gadis itu tampak menghindari tatapan Dirga, membuatnya heran. “Kami punya kabar gembira,” Raka berkata, mencuri perhatian Dirga dari Padma yang masih menghindarinya. Tatapan Dirga segera beralih kepada Raka. Kata ‘kami’ yang sebetulnya menarik perhatian lelaki beralis tegas itu. “Padma sudah setuju menerima lamaranku,” terang Raka, meraih tangan Padma, yang sedari tadi coba disembunyikan di balik rok midinya. Selingkar cincin berlian tampak bersemayam di jari manis gadis berambut lurus sepunggung itu. Sesaat Dirga merasa seakan tubuhnya terhempas dan membentur tembok keras. “Lamaran?” Desisan Dirga antara tanya dan rasa tidak percaya. Rongga dadanya sontak menyempit. Sakit. “Iya. Jangan dulu mengatakan apa pun pada Mama dan Papa ya, kami mau memberi kejutan. Semoga saja mereka juga sama terkejutnya sepertimu.” Raka menyeringai lebar. Dirga bungkam. Terlebih lagi Padma. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD