Prolog

1120 Words
Jeritan tangis bayi itu benar-benar membuat hatiku linu. Kupandangi Mbak Ine yang sedang menenangkan Fahmi yang masih terus menangis. Aku kasihan melihat keduanya yang sama-sama saling terjaga. Mbak Ine yang harus menenangkan Fahmi, juga pada bayi yang tak tahu cara mengungkapkan kegundahan dalam hatinya. Seandainya saja bayi itu bisa mengatakan sesuatu, pasti ia sudah kupaksa untuk mengatakan penyebabnya—kenapa ia menangis. Sayangnya bayi itu hanya bisa menangis untuk mengutarakan semua keluhannya. Kalau ia lapar, ia akan menangis—itu juga berlaku apabila bayi itu mengantuk, ingin bergerak, tidak nyaman dengan popoknya, kepanasan dan lainnya. Walaupun kelelahan, Mbak Ine masih dengan sabar menepuk punggung bayi yang baru berumur 12 bulan itu, namun hal itu tidak serta merta dapat langsung menenangkannya. Fahmi tetap menangis tanpa henti. Kejadian ini sudah berulang hampir 5 hari belakangan. Fahmi terjaga dan rewel, sulit tidur di malam hari. Pada hari-hari sebelumnya, Mbak Ine selalu ditemani Elvin saat berjaga. Namun kali ini Elvin sedang dinas diluar kota. Ia baru akan kembali 4 hari lagi—yang artinya aku yang menemani Mbak Ine begadang. Tak sampai hati bila harus membiarkan kakak iparku itu mengurus bayi ini sendirian. Aku juga tidak ingin melibatkan Ibu dalam agenda berjaga malam seperti ini. Ibu sudah tidak muda lagi, yang artinya menjaga kebutuhan istirahatnya tercukupi itu sangat penting untuk kesehatannya. Aku dengan sukarela melakukan hal ini, walaupun ini berarti aku harus merelakan waktu istirahatku berkurang. Ibu yang tadi ikut nimbrung kupaksa kembali ke kamarnya. Aku tidak mau Ibu merasa cemas hingga mempengaruhi istirahatnya. Saat kembali ke kamar Mbak Ine, aku tidak lagi mendengar suara tangis Fahmi. Bayi itu berhasil ditenangkan oleh Mbak Ine. Setidaknya suara tangisnya tidak menggema lagi. Aku memandangi Mbak Ine yang menggendong Fahmi dipundaknya, shoulder hold. Mbak Ine juga menepuk punggung Fahmi selagi menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri dengan gerakan pelan. Aku juga mendengar dengan samar, gumaman nyanyian lullaby yang disenandungkan oleh wanita itu. Meskipun aku tidak yakin kalau bayi itu memahami maknanya, tapi setidaknya nyanyian itu bisa membuat Fahmi lebih tenang dalam tidurnya. Aku bisa melihat wajah Mbak Ine yang semakin pucat, kelelahan karena seharian ini bekerja. Kakak iparku ini adalah seorang editor freelancer di sebuah majalah. Dulunya ia bekerja sebagai editor full time. Ia mengatakan kalau bekerja sebagai jurnalis adalah impiannya. Namun semenjak hamil dan memiliki bayi, Mbak Ine mulai mengurangi frekuensi kerjanya. Ia tahu kewajibannya sebagai istri dan seorang Ibu. Ia tidak mendahulukan apa yang menjadi keinginannya karena menurutnya memantau tumbuh kembang anak dan menjaganya adalah tugas utamanya. Tapi itu tidak serta merta membuat Mbak Ine menyerah dalam impiannya, passionnya. Ia tetap bekerja sebagai editor, hanya saja freelancer. Elvin menghargai keinginan Mbak Ine, ia tidak melarang wanita itu untuk bekerja. Dan Mbak Ine sendiri juga tahu posisinya. Ia harus membagi diri antara kewajibannya, juga impiannya. Mbak Ine bisa menjaga kesinambungan kedua hal tersebut, yang membuatku terkagum-kagum padanya. Kalau begini, aku merasa menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang paling melelahkan di dunia. “Mbak nggak capek?” Pertanyaan bodoh itu lolos dari mulutku yang ember. Ayolah, siapa yang tidak lelah setelah bekerja dan malam masih harus begadang mengurus anak? Tentu saja Mbak Ine lelah! Aku merutuki diriku sendiri. Sepertinya otakku tidak mampu memproses dengan baik setelah seharian ini bekerja, sehingga membuat pertanyaan semacam itu meluncur bebas dari bibirku tanpa sensor. Isi kepalaku kacau karena terlalu lelah. Aku bahkan tidak mampu memilih kata yang tepat untuk menanyakan keadaan Mbak Ine. "Sorry, Mbak. Otakku lagi nggak sinkron jadi pertanyaanku ngelantur." Aku segera mengimbuhi ucapan maaf dalam kalimatku. Aku menggigit bibir bagian bawah, sebagian besar karena perasaan bersalah dan bagian yang lain agar mulutku ini tidak meloloskan pertanyaan tidak bermutu yang lainnya. Meski begitu, Mbak Ine malah tersenyum lalu menanggapi pertanyaanku dengan gelengan lemah dan senyuman letih, “nggak apa-apa. Kamu kalau ngantuk istirahat aja, Sab. Besok kamu nggak kerja?” tanyanya dengan pengertian. Aku meringis, sepertinya otakku benar benar tidak bisa berproses dengan lancar karena tidak ada satupun isi kepalaku yang bisa kugunakan untuk menghibur ibu bayi itu. “Nggak kok, Mbak. Besok Sabtu jadi libur.” jawabku, “eh setengah hari, ada rapat deh, Mbak.” imbuhku kemudian. Kalau saja tadi malam aku tidak membaca pesan singkat Rama, bisa jadi aku lupa kalau ada rapat hari Sabtu ini. Kulihat Mbak Ine memejamkan matanya, tapi badannya masih bergoyang. Aku tahu kalau wanita itu pun sama lelahnya dengan diriku. “Mbak aku mau bikin kopi, Mbak mau minuman hangat juga?” tawarku padanya. Ia tersenyum, “boleh. Makasih ya, Sab.” Aku segera keluar dari kamar dan memanaskan air dalam panci. Aku mengeluarkan satu bungkus minuman jahe saset juga kopi instan dari dalam rak, kemudian menuangkannya di cangkir kosong selagi menunggu air mendidih. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.58 WIB. Tidak heran bila sekarang mataku sudah terasa sangat berat. Tapi kali ini, aku sudah berjanji pada Elvin untuk menjaga bayi juga istrinya. Aku tidak mau dicap sebagai adik yang tidak bisa diandalkan disaat susah semacam ini. Aku melihat air dalam panci yang sudah mendidih. Segera ku tuangkan air itu dalam cangkir. Aku mengaduk minuman jahe milik Mbak Ine dan kopiku bergantian. Setelahnya kubawa kedua cangkir itu kedalam kamar Mbak Ine. Disana, aku melihat Mbak Ine sedang berusaha duduk di kasurnya, dengan posisi Fahmi yang ‘ngamplok’ bersandar pada dadanya. Mbak Ine memberikan kode agar aku mengatur posisi bantal untuk menjadi sandarannya. Aku segera menata bantal, lalu wanita itu langsung bersandar nyaman. Fahmi tampak bergerak gelisah. Mbak Ine segera menepuk pantatnya pelan untuk membuat bayi itu kembali tidur pulas. Aku menghembuskan nafas lega saat Fahmi terlihat tenang dalam tidurnya. “Makasih ya, Sab. Kamu istirahat aja, nggak apa-apa.” Aku balas tersenyum, namun mataku benar-benar berat tidak mampu tertolong! “No problem, Mbak. Jahenya aku taruh di meja ya, Mbak. Atau mau diminum sekarang?” “Nanti aja.” “Oke. Aku ada di ruang tv, ya, Mbak, kalau kenapa-kenapa.” Pamitku sebelum meninggalkan kamarnya. Oh jangan salah, kami dari tadi bercakap-kacap seperti sedang berbisik. Aku yakin kalau tidak benar-benar sunyi, suara kami tidak akan terdengar. Belum sampai aku keluar dari kamarnya, Mbak Ine memanggilku lirih. “Sab...” Aku langsung berbalik arah untuk menatapnya, “kenapa, Mbak?” “Besok anterin Mbak ke dokter, ya. Kayaknya perlu periksa deh. Ini ruamnya merah banget, kasihan kalau begini terus.” Aku mengangguk setuju. “Iya Mbak, agak siangan nggak masalah ya, aku ngantor dulu pagi, bentar.” Jawabku. Mbak Ine mengangguk mengerti. Setelah itu aku segera menjejalkan diriku duduk di sofa depan televisi. Aku menyalakan televisi flat ku itu dengan volume 1—lirih banget. Aku menguap, selagi menikmati kopi sambil memilih channel. Biasanya jam segini ada drama korea yang di putar di televisi nasional. Aku mengganti channel ke drama korea itu. Tidak lama aku tenggelam dalam tidurku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD