Chapter 1

1641 Words
"Keano, di sini bunganya indah." "Ah, lebih indah yang ini." "Masa? Kukira bunga ini jauh lebih indah dari yang itu." "Kamu bego, ya? Semua bunga tuh sama-sama indah." Seorang anak laki-laki tertawa di depan gadis kecil yang mengenakan gaun putih. Gadis kecil berparas manis, temannya itu, pun memberengut mendengar tawa anak laki-laki tadi. Ladang bunga matahari. Mereka saat itu tengah berada di ladang bunga yang berwarna kuning cerah itu. Berlarian ke sana-ke mari dengan membawa setangkai bunga matahari dalam genggaman masing-masing. Kedua anak kecil berusia delapan tahun itu saling mengumbar tawa dan berceloteh lucu. Si anak laki-laki berlari dan sesekali membalik badan untuk meledek temannya yang tertinggal di belakangnya. "Tungguin aku!" "Kamu gendut sih, makanya gak kuat lari. Ayo, kejar aku!" Si gadis kecil itu menghentikan langkahnya. Lalu terengah menarik napasnya. Ia jatuh terduduk. Melihat temannya itu kecapaian, anak laki-laki tadi pun iba. Ia ikut menghentikan langkah, lalu membalik badan dan menyusul gadis kecil itu. Ia tersenyum dan mendudukkan dirinya di samping temannya. "Gitu aja udah capek," selorohnya. Anak laki-laki itu meledek gadis kecil di sampingnya. Sedangkan gadis kecil itu malah murung. Ia kesal karena sering diledek oleh temannya itu. "Keano, kamu nyebelin!" Gadis kecil tadi menangis. Anak laki-laki bernama Keano itu kebingungan melihat temannya menangis. Ia mencoba meredakan tangis temannya itu. Mencoba berbagai upaya untuk menenangkan. "Cup. Cup. Jangan nangis, Jasmin." Gadis kecil yang dipanggil Jasmin itu menghentikan tangisannya. Masih dengan muka sembab akibat tangisnya, ia menoleh pada Keano. Lalu mengamati wajah Keano yang terlihat panik. "Jangan nangis, ya," perintah Keano. Ia tersenyum ke arah Jasmin. Mereka berdua tidak sadar jika sedari tadi ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik keduanya. Sepasang mata milik pria berwajah sangar dengan tubuh gempal bernama Robi. Pria itu akhirnya mendekati keduanya. Mencoba memasang raut ramah, namun tak kunjung berhasil. "Kalian mau makan jajanan seperti ini?" Pria itu entah datang dari mana, begitu pemikiran Keano dan Jasmin hari itu. Namun tiba-tiba ia datang dan menawarkan sekantung kresek berisikan camilan berbagai macam. Dengan raut yang dipaksakan tersenyum, hari itu Robi menawarkan beberapa bungkus jajan pada keduanya. "Ini, makanlah." Robi tersenyum, namun justru tampak seperti seringaian. Jasmin dan Keano saling pandang. Jujur, awalnya mereka takut dengan Robi, tapi karena lapar dan tergiur oleh berbagai macam jenis jajanan itu, ragu-ragu Jasmin mengambil sebungkus jajan. Keano kecil awalnya juga ragu, namun melihat Jasmin bisa membuka bungkus snack dengan aman, artinya mungkin pria di hadapan mereka saat itu memang benar-benar berniat memberikan jajan itu untuk mereka. "Kalau mau jajan yang lebih banyak lagi, kalian bisa ikut Om." Robi lagi-lagi menyeringai. Ditatapnya kedua bocah di depannya itu dengan raut yang seolah lembut. Ia berniat mengajak keduanya ke sebuah tempat persembunyiannya. Dua bocah di depannya itu memasang wajah curiga, namun Robi tidak kehabisan ide untuk merayu. Ia berpura-pura menyebut kalau dirinya adalah teman Papa Keano. "Mau?" tawarnya lagi. Kedua bocah itu sayangnya mengangguk. Digiringnya kedua bocah malang itu ke sebuah hutan tak jauh dari ladang bunga matahari, hingga mereka memasuki gubug dalam hutan. Lalu sebuah cahaya putih datang menyeruak. Membuat gambaran tentang dua bocah dan pria tadi lenyap. Aku terbangun. Terengah di tengah keheningan malam. Kulirik jam dindingku, dan kulihat jam menunjuk angka dua belas. Tepat tengah malam. Selalu seperti itu. "Lagi-lagi mimpi itu." Aku bangkit beranjak dari tiduranku. Lalu berjalan ke arah lemari besar yang terdapat cermin berukuran besar pula. Kulihat pantulan bayanganku di sana. Seorang gadis berkulit putih langsat dengan wajah oval dan pipi tirus. Mata bulatku, alis dan bulu mata lentik, yang kata teman-temanku merupakan berkah karena menambah kesan cantik. Juga hidung mancung dan bibir merah muda. Jika dilihat sekilas, pemuda bahkan gadis sebayaku akan terpesona. Aku sering mendapat tatapan kagum bahkan iri dari teman-teman sekelasku. Lalu tiba-tiba aku teringat akan sosok dua anak kecil dalam mimpiku, kala menatap diriku di cermin. Siapa dua anak kecil tadi? Mengapa mereka terus menerus datang ke mimpiku? °°° "Kenapa, Sayang?" Aku memandang Mamaku yang kini tengah menciduk nasi ke dalam piring. Kami sedang sarapan di ruang makan, ada Mama dan Papa juga adikku. Aku menatap mamaku dengan nanar, lalu menggelengkan kepalaku. Aku tersenyum sebelum menjawab pertanyaannya. "Enggak apa-apa, kok, Ma." Mama tampak berpikir sebelum bertanya lagi. "Mimpi itu lagi?" tanyanya. "Iya. Kok Mama tahu?" Aku terkejut saat Mama tahu apa yang kini kupikirkan. Mama tersenyum tipis menatapku. "Udah, lupakan aja. Itu hanya khayalan masa kecil kamu." Ia menyuap nasi ke mulutnya, dan mengunyahnya. Aku memperhatikan setiap detailnya. Mama membuka mulutnya ingin berkata lagi namun disela Papa. "Kamu sejak kecil sering mimpi aneh kayak gitu, 'kan? Paling cuma mimpi, mimpi sama dengan bunga tidur." Papa berkata sambil membaca artikel di ponselnya. Ia masih bekerja meskipun saat ini sedang sarapan. Aku mengernyit. "Tapi kenapa sering banget, ya?" Benar, aku sudah memimpikan mimpi itu sejak aku kecil. Setiap malam. Tanpa pernah berhenti. "Apa jangan-jangan ... aku itu Jasmin ya, di masa lalu?" Aku mengangkat alisku saat bertanya dan memperhatikan respon mereka. Mereka hanya tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh, 'kan? Gak mungkin 'kan ya, Pa?" "Enggak. Itu cuma bunga tidur. Jangan dipikirin serius, Sayang." "Iya, Kak, lebih baik kita buruan siap-siap berangkat ke sekolah." "Iya, udah. Tadi Deon chat aku, ngajakin berangkat bareng." Aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan mimpi itu. Menggelengkan kepalaku, cepat-cepat aku menghabiskan makanku dan bergegas berangkat ke sekolah. °°° Keesokan harinya, mimpi itu datang lagi. Kali ini sepertinya lanjutan mimpi kemarin malam. Di dalam mimpi itu kini berlatarkan sebuah gubug kecil dalam hutan. Keano merasakan hal ganjil saat mendapati ternyata tidak ada siapapun selain dirinya dan Jasmin dalam gubug. Pria bertubuh gempal itu pergi beberapa saat yang lalu. Ia berkata ingin mengambil jajan yang tertinggal di rumahnya dan akan kembali lagi beberapa saat kemudian. Namun seingat Keano, ini sudah memakan waktu cukup lama hingga membuatnya kebingungan. Ditepuknya pundak Jasmin yang sejak tadi tertidur di sampingnya. Ia mengguncang tubuh kecil temannya itu dengan pelan. "Bangun, Jasmin," bisiknya. Ia tidak ingin suaranya membuat pria tadi masuk kembali ke dalam gubug. Barangkali pria itu tengah ada di luar gubug, entahlah, ia takut menerka. Jasmin kecil terbangun dengan lenguhan kecil. Ia mengucak matanya dan menatap Keano dengan mata bulatnya. "Eng- Keano?" "Kita pergi dari sini, yuk," ajak Keano. Ia masih berbisik dengan lirih. "Kayaknya Om yang tadi tuh penculik. Wajahnya juga lumayan seram," sambungnya. Jasmin yang mendengar itu pun tercengang. "Penculik?" Ia menegakkan tubuhnya. Lalu beringsut mendekat pada Keano. Matanya berkaca-kaca hendak menangis. "Cup. Cup. Jangan nangis. Nanti Om itu dengar," lirih Keano. Ia mengelus lengan Jasmin untuk menghentikan tangis lirih gadis kecil itu. "Aku takut, Keano." Jasmin masih menangis lirih. Ia meremas lengan baju Keano dengan erat. Seolah dengan cara itu bisa menguatkannya. Keano kecil kebingungan menyaksikan Jasmin yang menangis. Jika dibilang, ia juga takut. Tidak mungkin ia tidak takut. Seorang bocah berusia delapan tahun mana sanggup jika melawan pria yang tinggi dan bobotnya tiga kali lipat darinya. Namun, Keano harus sanggup meyakinkan Jasmin bahwa dirinya tidak takut, lalu memberi ketenangan pada gadis kecil itu. "Kamu ikut aku aja. Pegang terus tanganku, jangan dilepas. Kita lari setelah keluar dari gubug." Jasmin mengangguk menuruti perkataan Keano. Mereka kini bersiap untuk kabur dari gubug. Berlari kencang begitu keluar dari sana. Berlari sambil bergandengan tangan di tengah gelapnya malam. Tangan mereka saling bertautan dan tidak boleh terlepas. Bagaimana pun caranya. Di tengah kegelapan dan rimbunnya dedaunan hutan, Jasmin terus menangis. Namun Keano tak henti menenangkannya sembari berlari. Ia terus mengucapkan kalimat penenang yang menyatakan bahwa sebentar lagi mereka akan sampai ke rumah. Sayangnya itu semua hanya ada di harapan keduanya. Robi datang dengan sigap setelah mendapati kedua bocah itu kabur. Ia berlari mengejar keduanya, dan berhasil menemukan dua bocah itu. Kekuatannya yang jauh lebih besar dari Jasmin kecil membuat Robi dengan mudahnya menarik Jasmin. Lalu mengangkat tubuhnya dan membawa gadis kecil itu masuk ke dalam hutan. Sedangkan Keano tidak bisa berkutik lagi. Ia akhirnya memutuskan berlari dan berharap menemukan bantuan untuk menemukan Jasmin. Keano, bocah lelaki itu, sadar jika temannya tertinggal, namun ia juga takut untuk kembali lagi ke dalam hutan. Kemudian ia putuskan untuk meminta pertolongan pada penduduk di perumahan sekitar hutan. Begitu sampai di tempat mereka semula diculik, Jasmin dan si Penculik tak kelihatan batang hidungnya. Warga berpencar di kegelapan hutan dengan membawa obor di tangan masing-masing. Bocah lelaki itu terus menangis sepanjang pencarian. Ia menyesali kenyataan bahwa dirinya yang tak bisa kabur bersama dengan temannya. Lalu ia pun bertekad untuk menemukan temannya. Seorang warga berteriak saat pencarian itu. Warga itu menemukan sosok Jasmin kecil. Namun malangnya, gadis kecil itu sudah meninggal dunia dengan beberapa luka tusuk dan pukulan di kepalanya. Bocah lelaki tadi menangis kian kencang, tangisannya bagai raungan yang memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tangisan penyesalan, yang tidak akan membuat gadis kecil tadi kembali hidup. Mimpiku berubah dan berganti lokasi. Sekarang yang kulihat adalah prosesi pemakaman gadis kecil tadi. Seluruh keluarga menangis di sana, pun bocah lelaki yang sebelumnya kulihat. Namun ada satu yang menggangguku. Kenapa wajah dalam foto di pemakaman itu adalah fotoku yang persis seperti saat usiaku berusia delapan tahun? Aku masih hidup sampai sekarang. Mengapa bisa aku meninggal di sana? Lalu sebuah cahaya putih nan terang sekali tiba-tiba menyerang indera penglihatanku. Aku terbangun dengan keringat yang menyelimuti sekujur tubuhku. Dengan napas tersengal, aku menetralkan degup jantungku yang berdetak kencang. Sama seperti malam kemarin dan malam-malam sebelumnya. Kemudian tanganku terangkat dan meraba pipi sebelah kananku, ada bekas airmata di sana. Apa aku barusan menangis dalam tidurku? Mengapa bisa mimpi itu terasa sangat nyata ... dan menyakitkan? "Keano." Nama itu spontan kusebut di dalam gelap malam. Nama bocah lelaki tadi. Masih dengan napas terengah, aku mengedarkan tatapanku ke penjuru kamar. Kamar ini adalah kamar yang sudah kutempati sejak aku kecil hingga usiaku tujuh belas tahun sekarang. Lalu tatapanku jatuh pada foto yang tergantung di dinding. Foto saat usiaku delapan tahun. Foto yang persis seperti kulihat dalam mimpiku. Foto itu ... kepunyaan Jasmin. Iya, entah tiba-tiba aku mengingat nama itu. Saat aku menoleh ke cermin besar dalam lemariku di sana. Mataku menerawang. Ada yang aneh dengan diriku. Berbagai pertanyaan melingkupiku. Siapa Jasmin? Siapa Keano? Mengapa aku selalu memimpikan mereka berdua? Lalu ... mengapa semuanya terasa nyata jika hanya ilusiku? °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD