Bab 1

1086 Words
Umur dua delapan masih jomlo? Memang kenapa? Apa yang salah? Toh aku nggak pernah nyusahin orang lain. Enak aja ngata-ngatain. Memangnya yang sudah menikah dan punya anak umur segitu sudah merasa bahagia? Nggak, kan? Menikah muda nggak menjamin bahagia itu datang jika tujuan menikah hanya untuk menghalalkan perbuatan zina. Aku bukan orang baik, tapi terus terang saja, aku buka penganut seks bebas. Oh ya, kenalkan aku Riyan Handika. Di umurku yang mendekati kepala tiga ini, teman-temanku selalu mengejekku bujang lapuk karena belum mempunyai pasangan. Bukan nggak ada yang naksir, tapi aku saja yang terlalu pemilih. Sejak masih kuliah dulu, banyak cewek-cewek yang ngejar cintaku. Jangan bilang aku kepedean tapi emang kenyataannya banyak mahasiswi bahkan dosen yang menyatakan cinta sama aku. Sayangnya nggak ada satupun yang bisa menggerakkan hatiku untuk menerima cinta mereka. "Hoy, Bro, ngelamun aja lo." "Ngagetin aja lo. Datang-datang itu pakai salam jangan ngagetin kayak gitu. Iya, kalo orang yang lo kagetin sehat-sehat aja, kalo yang punya penyakit jantung gimana?" "Sorry Bro, lo aja yang nggak tahu dari tadi gue perhatiin lo. Kayak yang lagi banyak pikiran." "Masalah kerjaan aja." "Napa? Lo mau cerita sama gue?" "Bu Astuti marah gara-gara gue salah ngasih laporan. Ngeri nggak tuh." "Lha elo yang salah kalo gitu mah." "Anak buah gue yang kompeten keluar dua-duanya. Nilam yang sering ijin karena hamil muda sama Andre yang pindah ke luar kota buat nerusin S2." "Nggak buka lowongan baru gitu?" "Udah, tapi kayaknya belum nemuin kandidat yang cocok makanya gue stres banget kerja sama Alfa doang yang slenge'an kayak gitu." "Yang sabar aja, siapa tahu ntar karyawan baru yang masuk cewek cantik biar bisa lo gebet. Inget umur, udah mau kepala tiga." "Emang kenapa? Gue masih bahagia dengan status gue yang sekarang." "Nih bro, dengerin gue ya. Nikah itu ibadah, menyempurnakan separuh agama. Lo pasti lebih paham lah daripada gue." "Iya, tapi gue belum kepikiran ke arah sana. Selama ini, yang naksir gue cuma cewek-cewek matre yang cuma lihat tampang sama duit doang. Elo sih beruntung bisa dapetin Dewi si bintang kampus yang cantik dan sederhana." "Iya, gue beruntung banget bisa punya istri seperti Dewi. Walaupun memang tetap ada kekurangannya tapi seenggaknya dia nggak nuntut macem-macem sama gue. Oh ya, Dion sama Evan kemana? Gue kira udah duluan ke sini." "Gue juga nggak tahu. Udah pesen kopi lo?" "Udah, lagi banyak pesenan kayaknya makanya belum dianterin ke sini." Tak berselang lama, pelayan mengantarkan secangkir moccacino latte pesanan Bian. Aku, Bian, Dion dan Evan bersahabat sejak sekolah di SMA. Diantara kami berempat, hanya aku yang masih sendiri. Terakhir Evan yang baru melangsungkan pernikahannya empat bulan yang lalu. Jadi, masih anget-angetnya pengantin baru. Ketiga sahabatku sering meledekku yang tak mau menjalin hubungan dengan para wanita yang mengejarku. Buatku, cewek itu dikejar, bukan mengejar. Aku pengen menjalin hubungan dengan orang yang bisa menggetarkan hatiku. Jangankan sahabat-sahabatku, orang tuaku juga sudah mendesakku untuk segera menikah. Bagaimana mau menikah kalau pacar aja nggak punya. Dion dan Evan tampak beriringan memasuki coffee shop tempat kami janjian sore ini. Sesekali refreshing menyegarkan otak agar tak panas tiap hari disuguhi angka-angka rupiah. Aku bekerja sebagai wakil manajer keuangan sebuah perusahaan besar. Jabatan yang lumayan diincar lah buat cewek-cewek mata duitan. Selain itu, aku juga punya usaha toko sepatu yang kujual secara online. Buat jaga-jaga jika suatu saat nanti nggak bisa kerja lagi di perusahaan. Aku ganteng, tinggi, kulit putih karena ada keturunan luar negeri dari eyang buyutku, penghasilan memadai, punya usaha sendiri. Kalau ditanya apa yang kurang dari diriku, cuma satu, yaitu kurang pasangan. "Sore kawan-kawanku tercinta," sapa Dion. "Huekk. Pengen muntah gue denger nada bicara lo yang sok manis itu." "Bukan sok manis Bi, tapi kan gue emang manis melebihi gula." "Heran gue bisa-bisanya adek gue kepincut sama orang dengan kepedean tingkat dewa layak lo." Hubungan Dion dan Bian sebenarnya bukan sekedar sahabat tapi juga saudara ipar. Adik dari Bian, Dena merupakan pacar Dion sewaktu kuliah. Aku sendiri tak menyangka kisah mereka awet sampai akhirnya menikah dua tahun yang lalu. Awalnya kami juga nggak tahu kalau Dion dan Dena berpacaran karena mereka bersikap biasa saja saat bertemu. Betapa kagetnya kami saat Dion mengatakan akan melamar Dena. "Kan Dena tahu gue cinta mati sama dia, makanya mau jadi istri gue. Gak kayak si ono noh, jomlo abadi." Aku langsung melirik tajam ke arah Dion. "Gue jomlo berkualitas. Gue nyari cewek yang bener-bener bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak gue nantinya." "Iya, iya, yang punya prinsip mencari pendamping hidup terbaik." "Pengantin baru apa kabar? Habis bulan madu lo?" "Bulan madu sih setiap hari, nggak usah ditanya. Lagi seneng-senengnya gue akhirnya bisa mempersunting Aqila. Saingan gue berat Bro, anak kiai yang jelas-jelas berilmu tinggi." "Tapi gue salut Van, sama lo, lo nggak nyerah buat dapetin hati Aqila padahal lo tahu dia cewek yang alim banget." "Gue aja masih nggak nyangka bisa menikahi Aqila yang awalnya mau dijodohin sama anak kiai tempatnya menimba ilmu di pesantren dulu." "Kalau sudah jodoh nggak akan kemana, Van," sahutku. "Lo sendiri gimana prospek ke depannya? Apa sudah ada cewek incaran atau masih mencari?" "Masih belum nemu. Gue ke toilet bentar ya." Aku melangkah menuju toilet pria dan tak sengaja menabrak seseorang berhoodie hitam. Dari perawakannya, aku tahu dia seorang perempuan tapi tak kulihat jelas bagaimana wajahnya karena dia menundukkan kepalanya. Aku mengulurkan tangan hendak membantunya tapi tak bersambut. Orang itu malah berusaha bangun sendiri. "Maaf, aku nggak sengaja." Perempuan itu hanya mengangguk dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kedua tangan dimasukkan dalam saku hoodie. Dia berjalan tergesa seolah ada yang dia hindari. Apa dia pencuri ataukah dikejar orang jahat? Tatapan mataku mengikuti langkah perempuan itu yang langsung menaiki taksi saat ada seseorang yang memanggilnya. Aku menyipitkan mata karena aku mengenali lelaki yang memanggil perempuan berhoodie hitam. Bukankan dia itu bang Davin, saudara sepupu jauhku. Aku mengedikkan bahu cuek karena tak mau ikut campur dengan urusan bang Davin. Kami tak bisa dibilang dekat sebagai saudara. Sifatnya yang arogan, tak aku sukai. "Lama amat lo di toilet. Dandan dulu lo?" "Enak aja lo nuduh gue dandan. Tadi gue sempet tabrakan sama perempuan di depan toilet cowok." "Cakep nggak Yan? Siapa tahu dia jodoh elo." "Yap, nanti dibikin judul sinetron 'Jodohku di Depan Toilet'. Hahaha, laku keras kayaknya." Tanganku reflek menoyor kepala Dion. "Bisa nggak sih lo serius sehari aja." "Lho, gue serius Yan, gue kan baik doain lo cepet laku biar bisa nyusul kita-kita." "Aamiin, makasih doanya tapi nggak sambil ngeledek gue juga kali." Kami melanjutkan ngobrol sampai jam tujuh malam. Kukendarai motor ninja merahku hingga memasuki pekarangan sebuah rumah yang telah menjadi tempat tinggalku sejak kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD