ADEGAN BERULANG

1064 Words
Aku melangkah perlahan sambil mengarahkan senter ke arah kakiku. Jalanan tanah yang basah karena air hujan ini sangat licin dan dipenuhi kubangan. Harus pandai-pandai memilih tempat berpijak agar tidak terpeleset dan membuat bajuku kotor berlumpur. Untung saja jarak dari surau ke rumahku tak terlalu jauh. Langit yang gelap tertutup awan mendung dan suara hewan nocturnal mulai terdengar, tak dapat kupungkiri kolaborasi dua hal itu berhasil membuat bulu kudukku meremang. Walaupun sudah bertahun tinggal di desa terpencil di pinggir Sungai Kapuas, tetap saja membuatku tak mampu menaklukkan sifat penakut. Mungkin memang sudah bawaan sejak lahir, nyaliku akan menciut jika berhadapan dengan suasana yang mencekam. Cahaya lampu dari teras rumah mulai menggantikan cahaya dari senter dalam genggaman tangan kananku. Segera kugeser tombol di senter, aku sudah tak memerlukan bantuannya lagi. Samar, aku mendengar suara saling berteriak antara seorang lelaki dan perempuan dari dalam rumah. Aku mengenal dengan baik pemilik suara tadi, pasti Ayah dan Bunda sedang bertengkar lagi. Bergegas aku melepaskan sandal dan membuka pintu, ingin segera menghentikan keributan yang terjadi. Usiaku memang baru tujuh tahun, tetapi aku sudah terbiasa menjadi penengah konflik. “Aku sudah bilang jangan diganggu air berisi bunga itu! Kenapa sekarang tumpah dan berceceran di lantai?” “Aku tak pernah masuk ke dalam ruangan itu. Mana aku tahu kenapa bisa tumpah?” “Kau, setiap kali ditanya selalu melawan!” “Aku bukan melawan, hanya sedang menjawab pertanyaanmu!” Tangan Ayah sudah terangkat ke atas saat aku melihat mereka sedang berdiri berhadapan tetapi saling mengeluarkan suara yang keras bagaikan mereka terpisah dalam jarak yang cukup jauh. “Ayah, jangan kasar pada Bunda!” Aku terlambat mendekat, telapak tangan ayah yang kokoh telah menarik rambut Bunda dan membuatnya jatuh tersungkur. Air mataku mengalir deras menyaksikan wanita yang kucintai jatuh dan kini berteriak kesakitan. Aku segera menghambur memeluk Bunda, mencegah agar Ayah tidak bertindak semakin kasar. “Endit, anak kecil saja sudah berani membentakku! Heh, lihat hasil didikanmu!” Ayah berucap sambil menatap penuh kemarahan ke arahku dan Bunda. Tangan kirinya menunjuk di dekat hidung Bunda. Di jemarinya kulihat tersangkut beberapa helaian rambut panjang. Itu pasti rambut Bunda yang terlepas saat ditarik tadi. Hatiku panas, andai saja tubuhku sudah sebesar Ayah ingin kudorong tubuhnya menjauh dari Bunda yang sedang menangis kesakitan. Ada darah di dahi Bunda yang mengalir membasahi kulit putihnya. “Kau menyalahkanku? Dia mencontoh Ayahnya yang suka membentak Bundanya.” Ayah semakin marah mendengar ucapan yang keluar dari mulut wanita yang sangat kucintai ini. Kedua telapak tangannya bergerak mencekik leher Bunda. Darahku berdesir menyaksikan itu. Aku segera berusaha menarik tangan Ayah. Wajah Bunda pucat dan kedua tangannya berusaha melepaskan diri dari cengkraman yang membuat kesulitan bernapas. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Bunda tampak semakin sult bernapas. Matanya mulai melotot. Tiba-tiba aku teringat pesan dari Ustadzah Azizah. “Bismillahi Allahuakbar! Bismillahi Allahuakbar! Bismillahi Allahuakbar! Hentikan! Bunda bisa meninggal!” Aku berteriak tepat ditelinga ayah. Lelaki itu tersentak dan melepaskan tangannya. Mata merahnya yang semula melotot dengan penuh kemarahan kini menjadi tampak normal. Dia mundur sambil menatap keheranan. “Nur, kenapa keningmu berdarah?” “Kau yang sudah melukaiku.” Bunda menjawab ucapan ayah sambil sesegukan. Aku mengucapkan tahmid sambil kembali mengatur napas. Alhamdulillah saran dari Ustadzah berhasil menghentikan adegan yang mengerikan tadi. Ayah tampak terkejut mendengar jawaban Bunda. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan mulai menangis sesegukan. Aku segera menarik tangan Bunda, mengajaknya untuk berdiri dan berlari ke dalam kamar. Segera kuputar anak kunci setelah kami berhasil berada di tempat yang kurasa aman dari Ayah. Jika seharusnya lelaki dalam keluarga adalah menjadi pelindung dan penyelamat, sayang sekali hal itu tak terjadi di rumah ini. Ayahku bukan pelindung dan penyelamat bagiku, apalagi bagi Bunda. Dia adalah orang yang sangat membahayakan bagi kami. “Sini, Nak!” Aku menoleh ke asal suara dan segera menghambur ke dalam pelukan Bunda. Sambil mengelus lembut kepalaku, dia berucap, “maafkan Bunda dan Ayah. Lagi-lagi Endit melihat kami sedang ribut. Tolong, jangan dendam sama Ayah”. Hatiku sebenarnya tak terima dengan kalimat terakhir yang diucapkan Bunda, tetapi aku memilih diam demi menyenangkan hatinya. Andai saja dia tahu bagaimana isi hati dan isi kepalaku. Semestinya perempuan sehebat dan sepintar Bunda tak hanya diam dan mengalah setiap kali mendapat perlakuan buruk dari Ayah. Aku ingin Bunda melawan dan membebaskan diri selamanya dari Ayah. Terdengar suara ketukan dari arah pintu, disusul suara yang menghiba. “Nur, Endit, buka pintunya. Maafkan aku. Aku salah, aku khilaf. Minta maaf, minta ampun. Aku janji tak akan kasar lagi.” Bagai sebuah adegan dalam film pendek yang sudah sering kulihat karena ditonton berulang kali. Aku sudah hapal apa yang akan terjadi setelah ini. Sekuat apapun aku berusaha merubah jalan ceritanya, tak akan berhasil. Karena aku hanyalah penonton, bukan pemeran film itu. Benar saja dugaanku. Bunda mengecup keningku sambil berkata lirih. “Kita buka pintunya, ya Endit. Kasihan Ayah.” Aku menarik napas panjang. Lalu memberanikan diri untuk menggeleng. Aku bertekad untuk tetap mencoba merubah adegan ini, bukankah manusia wajib saling mengingatkan dalam kebaikan. Itu yang diucapkan oleh Ustadzah Azizah di surau tadi. Aku yakin Bunda lebih baik tak berada di dekat Ayah lagi, demi kebaikan aku dan tentu saja bagi Bunda sendiri. “Bun, Ayah baru saja hampir membunuh Bunda. Apa jadinya jika tangannya tetap mencekik. Apa Bunda tega membiarkanku menjadi anak piatu?” Bunda tersenyum sambil menggeleng. Darah mengalir bersama keringat di dahinya. Segera aku ulurkan tangan mengelapnya, lalu kuulurkan telapak tanganku yang berubah menjadi merah ke dekat wajah Bunda. “Lihat ini, Bun. Ayah tega mencekik Bunda, padahal ada luka yang mengalir darahnya di kening Bunda.” Bunda meraih tanganku, lalu dibersihkannya noda darah itu dengan tisu yang diambil dari kotak coklat di dekatnya. “Endit, Ayah tidak bermaksud jahat. Dia hanya khilaf karena tersulut emosinya. Dengarkan ucapannya itu! Dia berkata berulang kali di balik pintu dengan menghiba.” Aku menarik napas panjang. Memang suara Ayah yang mendadak menjadi kucing setelah berlaku beringas seperti macan masih terus terdengar. Entah apa yang ada di pikiran Ayah, begitu mudahnya dia merubah dirinya dalam waktu singkat. Sayangnya hati bunda lemah. Dia dengan mudah mempercayai ucapan menghiba yang keluar dari mulut lelaki yang hampir saja membunuhnya beberapa saat yang lalu. Aku memilih untuk tetap duduk diam di atas kasur saat Bunda beranjak membukakan pintu. Kupalingkan wajah begitu melihat Ayah masuk dan terduduk memeluk erat kaki Bunda yang sedang berdiri. Masih saja sama, aku belum juga berhasil merubah adegan yang selalu berulang ini. Memuakkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD