1

546 Words
Aku Hilma. Perempuan dengan kehidupan begitu menjijikkan. Di mana keadaan hari-hariku hanya berbaring lemah terkulai, tak berdaya. Rasanya untuk makan saja diri ini sudah tak sanggup. Hanya menanti Tuhan kapan akan sudi mengambil kembali diri ini? Jauh sebelum ini, kehidupanku baik-baik saja. Meski aku ditakdirkan bisu, namun rasanya kehidupanku dulu begitu menyenangkan. Hidup dipanti asuhan meski tak tahu siapa orang yang melahirkanku ke dunia. Jika boleh memilih dan tahu bila keadaan sekarang seperti ini, sungguh aku tak sudi diambil oleh Ibu. Aku mengenal Bu Maimunah dua bulan lalu di simpang empat kota. Di sana ia sedang mengemis bersama beberapa temannya, aku yang kala itu sedang diganggu beberapa preman hanya bisa melawan tanpa bisa bersuara. Takdir Tuhan, Ibu yang saat itu melihatku datang memberi bantuan. Sehingga dari perkenalan itu, aku rela menjadi anak asuhnya sebagai balas budi yang ia lakukan itu. Sayangnya, jika kembali boleh memilih, aku tak akan mau hidup bersamanya. Bukan karena kehidupan miskin yang ia punya yang tak sanggup memberiku apa-apa. Aku sudah terbiasa, mengingat di panti pun hidupku bukan apa-apa. Hanya saja ... aku .... Malam itu mati lampu. Suasana begitu gelap mengingat rumahku memang masih belum terpasang listrik. Pancaran lampu yang padam dari rumah warga yang menggunakan listrik membuat suasana semakin gelap pekat. Hanya dengan bantuan senter kecil di kamar masing-masing, khususnya aku memilih membaringkan badan cepat malam itu. Dua jam berlalu, mata masih sangat sulit kupejamkan. Belum lagi suasana yang begitu panas membuat diri ini semakin susah untuk sekadar melenakan mata. Entah mengapa, malam itu perasaanku sedikit merasa was-was. Padahal jelas sudah, tempat tinggal kami memang selalu gelap. Dengan sekuat tenaga, kucoba kembali memejamkan mata. Toh, rumah memang selalu seperti ini. Jadi, tak ada yang patut dicurigai. Saat setengah sadar hampir terbuai dalam alam mimpi, kurasakan tempat tidurku sedikit bergoyang juga sedikit menimbulkan suara besi lama dari tempat tidur. Sehingga dengan reflek badan kualihkan ke belakang di mana asal suara yang terdengar barusan. Sayangnya meski mencoba meraba-raba dan memperhatikan keadaan sekitar, tak ada tanda-tanda yang aneh. Mengingat mata yang hampir terlena, aku memutuskan tidur kembali masih dengan posisi seperti tadi. Berbaring menyamping kanan. 'Hilma," panggil seorang pria yang tak kuketahui siapa. Badannya tinggi kurus dengan rambut hitam legam. 'Kemari,' lanjutnya. Kami duduk di tepi pantai. Menikmati semilir angin laut yang terasa begitu manja bagi tubuh. Meski sebelumnya pria ini tak kukenali, namun berada di dekatnya membuatku sedikit terbuai. Ditambah gerakan tangannya yang membuatku terlena karena menjamah di mana saja. Hingga akhirnya ciuman panas terjadi di antara kami. Bibir saling melumat dengan tangannya yang terus bergerak hampir di seluruh badan. Sejenak, ciuman itu kulepaskan mengingat diri ini hampir tak bisa bernapas. 'Aku menginginkanmu.' Lagi, aku semakin terbuai. Pandangannya begitu teduh. Melihatku tak memberikan jawaban, ia kembali beraksi. Kali ini tangan kekarnya mulai turun ke bawah. Meraba memancing nafsuku. Dengan cepat, tangannya kuhentikan. Aku tak mau ini terjadi. Meski merasa nyaman, namun sejujurnya aku tidak mengenali siapa pria ini. Pria itu tersenyum, tak sedikitpun terganggu dengan peringatan mataku yang memintanya untuk tidak berbuat lebih. Tangannya malah menahan tanganku yang akan menghentikan kembali aksinya. Napasku terengah, mencoba melawan dengan perlakuannya. Gesekan tangannya semakin terasa. Membuat tubuhku semakin melawannya dengan hebat. Sebisa mungkin aku menghindarinya. Karena gesekan yang kurasa seolah begitu nyata. Saat mencoba bangun, tak sengaja aku menoleh ke belakang. "Ya Tuhann ... Bapaak!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD