1. Deema Adora & Avyan

1030 Words
Matahari mengintip di sela jendela kamar kedua orang perempuan yang tengah berada di bawah selimut mereka masing-masing. Suara bising orang bertengkar terdengar di telinga mereka berdua. Deema membuka matanya, mencoba mengumpulkan nyawanya yang masih belum terkumpul. Matanya sudah terbuka, pikirannya sudah fokus, namun ia belum menggerakkan tubuhnya sama sekali. Karena ia mendengar suara Ratu, sang adik menangis di sebelahnya.  Deema menghembuskan napasnya untuk kesekian kalinya. Kenapa setiap bangun tidur dirinya dibangunkan dengan hal seperti ini? Tidak adakah hal yang lebih layak?  Sambil mendengarkan pertengkaran anatara kedua orangtuanya dan suara tangis adiknya, matanya pun hanya asik melihat debu-debu yang terangkat oleh matahari. Debu-debu berasal dari kamarnya yang kumuh ini.  Bangun tidur dengan perasaan yang sangat kacau, membuat dirinya hanya ingin mati. Deema yang tidak ingin terus berada di rumah, ia pun segera bersiap-siap membersihkan diri untuk pergi ke sekolah.  "Udah, enggak usah nangis. Kaya yang baru denger aja," kata Deema kepada Ratu Sekar, sang adik.  Seusai mengucapkan itu, ia pun keluar kamar untuk menuju kamar mandi. Sebelum ke kamar mandi, ia perlu melewati ruang keluarga dan dapur. Di ruang keluarga, ia melihat ibunya yang tengah bertengkar dengan ayahnya.  "Kamu pikir selama ini uang yang kamu kasih cukup untuk membayar semua keperluan sehari-hari? Kamu yang harusnya berpikir ...." "Kamu yang enggak bersyukur dikasih uang ....." "Udah tua, ribut aja terus kerjaannya. Masih pagi. Malu sama tetangga tiap hari ribut. Kaya yang enggak ada kerjaan aja," kata Deema yang sudah muak dengan pertengkaran mereka.  "Apa kamu bilang?!" Ibunya berdiri dan hendak menampar wajah Deema, namun dengan cepat Deema tahan.  "Saya masih punya harga diri, tidak seharusnya saya, sebagai anak menjadi pelampiasan anda." Selesai mengucapkan itu, Deema pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Deema menyiramkan air di atas kepalanya, ia butuh kesejukan untuk pikirannya, ia butuh hal yang baik-baik untuk pikirannya. Tidak ingin membuang waktu lama, setelah membersihkan dirinya, ia pun memakai seragam dan mengambil tas dan sepatunya, lalu keluar dari rumah terkutuk itu.  Untung saja, rumahnya berada di ujung jalan yang sepi. Ia tidak punya uang untuk berangkat kesekolah, itu berarti Deema harus berjalan kaki untuk bisa sampai di sekolahnya yang berjarak kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya.  Setelah jauh dari rumah, ia pun memakai sepatunya yang sudah cukup usang. Lalu membenarkan tatanan rambutnya dan menyemprotkan sedikit pewangi pakaian yang ia bawa di dalam tasnya.  "Deema ... Deema. Kenapa Lo harus hidup di dunia yang kejam ini sih? Kenapa Lo enggak usah hadir aja? Pasti Lo enggak akan terpuruk kaya gini."  ..... Deema Adora, siswi SMA akhir yang memiliki sikap nyeleneh dan ceroboh. Nakal, adalah hal yang bisa menurutnya. Membuat masalah-masalah baru di dalam sekolah, itu hal yang cukup menyenangkan, karena ketika ia melihat orang yang tersiksa karena ulahnya ia mendapatkan kepuasan sendiri. Sampai di sekolah, dengan bel yang sudah berbunyi 10 menit yang lalu, mengharuskan Deema menunggu di depan gerbang sekolah dengan beberapa murid lainnya.  Sampai ada sebuah tangan yang memegang jari-jemarinya. Itu adalah, Avyan Caraka kekasih dari Deema. Avyan sama seperti dirinya, murid nakal dan petakilan. "Hello, sayang ..." Sapa Avyan. "Hai, Lo juga telat?" Tanya Deema sambil mencoba melepaskan tangan Avyan.  "Iya nih, motornya ngambek biasa."  Mereka sudah pacaran kurang lebih 2 bulan. Sebenarnya, Deema tidak memiliki perasaan terhadap Avyan namun ia hanya ingin hal-hal yang baru dalam hidupnya. Tapi ternyata, sampai saat ini Avyan tidak mengubah hidupnya juga. Bahkan Avyan mengubah hidupnya menjadi lebih buruk.  "Lewat belakang aja yuk?" Ajak Avyan yang diangguki oleh Deema.  "Boleh, ayo lewat belakang."  Mereka pun melihat situasi sekitar. Guru yang berjaga tengah memperhatikan buku yang ada di genggaman tangannya. Avyan pun mulai berjalan dengan cepat menuju samping sekolah, dimana ada kantin di sana dan mereka akan bisa masuk ke dalam kelas mereka masing-masing.  Deema ikut berjalan di belakang Avyan. "Hahaha ... Sekolah kok enggak ada ketat-ketatnya," ucap Avyan yang tertawa karena mereka sudah sampai di kantin.  "Hahaha iya juga ya." Deema ikutan tertawa.  "Lo udah sarapan?" Tanya Avyan.  Deema mengangguk. "Udah kok," kata Deema yang berusaha menutupi keadaan susahnya kepada Avyan. Padahal sejak kemarin siang perutnya belum diisi oleh apapun.  "Tasnya di simpen di sini aja." Avyan meminta tas Deema untuk ia bawa dan ia titipkan di salah satu penjaga kantin agar mereka bisa masuk kedalam kelas.  Selesai menitipkan tas mereka, mereka pun berjalan menuju kelas mereka masing-masing. "Lo beneran udah makan?" Tanya Avyan lagi. "Udah. Bawel banget sih. Makan itu nomer satu buat Gue."  Avyan mengangguk-angguk. "Kenapa Lo enggak mau Gue jemput? Padahal kita bisa berangkat bareng ke sekolah." "Rumah Gue deket. Gak perlu Lo jemput-jemput." Itulah gaya pacaran mereka, yang seperti seorang teman. Deema tidak mau Avyan terlalu mengenal dirinya lebih dalam. Banyak sekali hal yang ia takuti. Sampai saat ini ia masih berhasil untuk bisa menutupi keadaan dirinya yang sebenernya kepada orang-orang ataupun teman-temannya. Deema tidak tau bagaimana nasibnya jika semua orang mengetahui kondisi dirinya. Mungkin ia tidak akan di temani oleh siapa-siapa.  Mereka berjalan sambil mengobrol dengan santai. Sampai mereka tidak mengetahui ada seorang guru yang memperhatikan mereka dari awal mereka sampai di kantin. Deema merasa ada seseorang orang memperhatikannya dari jauh. Ia pun menghentikan langkahnya, Deema memang memiliki insting yang sangat kuat. Avyan bertanya mengapa Deema terdiam. "Lo kenapa?" Deema menyimpan jari telunjuknya di bibir. Ia pun memperhatikan sekitar. "Lo ngerasa ada yang ngawasin kita gak sih?" Tanya Deema yang masih melihat-lihat kondisi di sekitarnya, tapi tidak ada siapa-siapa di sini.  "Ah, ngaco lo gak ada siapa-siapa di sini," kata Avyan yang bulu kuduknya sudah merinding.  "Lo punya mata batin?" Tanya Avyan. Deema menggeleng. "Gue ngerasa ada yang ngeliatin ke arah kita," kata Deema kembali.  Avyan kini merangkul bahu Deema. "Enggak ada, sayang ... Ayo kita pergi ke kelas aja." Deema pun mengangguk dan mengikuti kemana Avyan mengajaknya. Dan Deema tidak sadar jika Avyan merangkul bahunya, padahal ia sama sekali tidak suka ketika Avyan merangkul atau menggandengnya.  Deema baru sadar ketika ada sesuatu yang sangat berat di bahunya. "Avyan!" Kesal Deema yang menghempaskan tangan Avyan begitu saja. "Kenapa sih Lo gak suka kalau Gue rangkul? Gue kan pacar Lo." "Bukan Gue gak suka, Gue gak mau ada orang yang liat. Secarakan banyak orang yang suka sama Lo. Yauda Lo pergi aja ke kelas sana. Gue mau ke toilet dulu." Deema meninggalkan Avyan yang terdiam seribu bahasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD