Darel -Annisa

1732 Words
Mafia And Muslimah Chapter 1 Dor .... Srett ... Suara tembakan pistol dan sayatan pisau berpadu di ruangan yang sangat luas dengan besi sebagai dindingnya. “Hancurkan seluruh keluarganya!” Suara dingin yang menusuk keheningan membuat jantung siapa saja berdetak di atas normal. “Apakah harus?” Pria dengan kacamata yang baca yang sangat menawan bertanya santai, sambil mengelap pisau yang baru saja digunakan untuk mengeluarkan organ musuh mereka. “Harus! Dia sudah berani untuk berniat membunuhku bukan, jadi kita lenyapkan semua keluarganya. Karena di antara mereka nanti pasti akan ada yang ingin balas dendam,” jelas pria bermata biru tegas. “Baiklah.” Hanya kata itu lalu mereka semua pergi, meninggalkan pria bermata biru itu sendirian. Darel, pria dengan hati dingin tak tersentuh. Kepribadian yang sangat kejam. Hanya memikirkan satu hal dalam hidupnya—Dia harus menjadi penguasa di seluruh dunia. Mungkin keinginannya itu sudah terkabul sekarang. Pasalnya bahkan para pejabat di kotanya, New York, tunduk di bawah kakinya. Semua ada di tangan Darel. Laju perekonomian kota tersebut adalah miliknya. Di setiap perusahaan dia memegang saham kedua tertinggi setelah CEO. Bisnisnya bergerak di segala bidang, fashion, pertambangan, bisnis gelap, teknologi dan banyak lagi. Semua itu mengantarkannya pada puncak kejayaan yang diidam￾idamkan banyak orang. Dan yang paling membuat dia kaya, adalah bisnis gelap yang dia laksanakan. Penjualan narkoba berskala internasional, penjualan organ tubuh secara ilegal. Club malam yang ada di mana-mana, penjualan senjata ilegal, dan perusahaan gelap lainnya. Semua itu menghasilkan kekayaan yang tak akan habis selama tujuh turunan. “Tuan, polisi perbatasan menangkap orang-orang kita yang sedang membawa barang ke Cina.” Darel tersenyum iblis, dengan pelan dia melangkah ke arah bawahannya yang membawa berita buruk untuknya. Srettt .... “Orang bodoh tidak pantas hidup!” Darel melangkahi mayat bawahannya itu dengan tenang seolah orang itu hanya tidur. Itulah Darel. Dia benci kegagalan dan berita buruk, maka yang menyampaikan berita itu harus mati. “Zave, cepat urus masalah di perbatasan, habisi semua polisi bangsat itu!” Orang yang diperintah Darel tadi langsung pergi menjalankan tugas. Setelah pria yang bernama Zave tadi tak terlihat lagi, Darel bersandar pada kursi kebesarannya. Untuk mengurangi lelah karena kertas-kertas yang mampu menghasilkan pundi-pundi uang. Tok ... Tok ... Tok ... Baru sebentar dia istirahat, pintu ruangannya sudah diketuk lagi, dengan malas dia membuka matanya. “Masuk,” jawabnya malas. “Maaf, Tuan, Pak Aditama ingin bertemu dengan Anda,” ucap sekretarisnya dengan menunduk. “Dasar, Pecundang! Masih berani dia memperlihatkan wajah menyedihkannya itu di depanku. Suruh dia masuk.” Sekretaris Darel keluar dengan menunduk dan mempersilakan pria paruh baya keturunan Indonesia itu untuk masuk. “Apa yang kau inginkan?” Darel menatap malas pada pria di depannya ini malas. “Pak, saya mohon, jangan masukan saya ke penjara, saya akan membayar semua utang-utang saya ke bapak.” Pria itu bersimpuh di depan meja Darel dengan raut menyedihkan. “Hahahaha, aku suka orang yang bersimpuh di kakiku,” Darel tertawa senang. “Memangnya apa yang kau punya? Aku akan membebaskanmu kalau tawarannya menarik.” Darel menatap pria di depannya ini tenang. “Aku punya beberapa properti, Tuan. Kalau Anda mau saya akan menyerahkan semua harta saya. Rumah mobil, villa dan—” Darel memberikan tanda stop dari tangannya lalu menatap pria paruh baya itu sinis. “Meski kau menjadi miskin sekalipun, itu tidak akan cukup. Tapi ya, aku tetap akan mengambil semua propertimu nanti. Tapi tetap akan memasukkanmu ke penjara.” Darel kembali fokus ke kertas￾kertas di depannya. “Kumohon, Pak, atau setidaknya, beri saya waktu untuk melunasi semua utang saya,” pria paruh baya itu memohon. “Hah, menjijikkan. Baiklah Aku memberimu waktu satu bulan. Lunasi segera atau kau akan mendekam di penjara paling buruk di Dunia.” Darel bersuara malas. “Baik, terima kasih, Tuan.” Tanpa menunggu lebih lama, pria paruh baya itu segera keluar dari ruangan yang bisa disebut neraka itu. Sementara Darel kembali menekuni pekerjaannya. Setelah menyelesaikan semuanya, Darel berlalu pergi ke suatu tempat, tempat yang sering dia kunjungi saat perasaaannya senang. {} Tanah yang lapang dan luas itu, begitu sunyi, hanya terdengar suara pohon yang menari tertiup angin. Daun-daun yang sudah kering berjatuhan menimpa dua gundukan tanah yang atasnya bertuliskan Davie Ardiaz dan Vanie Janie Ardiaz. Seorang anak lelaki berdiri di tengah-tengah makam tersebut, matanya menatap makam Davie dengan raut kasih sayang dan kerinduan dan menatap makam Vanie dengan wajah penuh akan kobaran kemarahan dan kebencian. “Lihatlah, Vanie, semua orang bersujud di kakiku. Mereka memohon agar hidup. Dan memohon harta padaku.” Senyum sinis tampil di bibir pria itu–Darel. Vanie Janie Ardiaz, wanita yang begitu dibenci Darel, sekaligus sebagai wanita yang menghadirkannya di dunia ini. Kebencian tampak memenuhi mata Darel. Hal ini bermula saat sang ibu begitu tamak akan harta. Meninggalkan dia sendirian dengan anak yang berumur enam tahun dengan sang ayah karena mengejar harta. Darel kecil hidup tanpa kasih sayang, dia memohon mengiba dan meminta supaya sang ibu memberikan sedikit kasih sayang, namun tak pernah diberi walau sedikit. Karena hal itulah, dia membenci setiap wanita. Baginya wanita itu makhluk yang paling tak setia, karena itu dia tak pernah menghargai wanita. Semua wanita dia permainkan. Dan karena hal itu pula, sifat Darel begitu kejam. “Daddy, Darel yakin, Daddy tenang dan bahagia di alam sana.” Darel mengusap kuburan daddy-nya dengan penuh kasih sayang dan berlalu pergi. Entah karena alasan apa, hatinya terasa sakit. Mata itu menatap kosong penuh penderitaan dan kesedihan. Sedetik kemudian seolah tersadar dia berlari dari pemakamam itu mengabaikan matanya yang mulai memanas dan hatinya yang terasa sesak. {} Di sisi lain... “Annisa, ayo kembali ke kelas.” Gadis dengan kerudung sederhana itu mengulurkan tangannya kepada gadis yang menatap Al-Qur’an di tangannya dengan fokus. “Maaf, aku mau selesaiin baca ini dulu,” balas gadis dengan kerudung panjang itu dengan satu senyum manis. “Ok, tapi usahakan cepet ya, atau kamu bakalan ketinggalan jamnya mrs. Mustika.” “Iya.” Lalu gadis dengan mata teduh itu mulai menenggelamkan dirinya dalam bacaan ayat-ayat Allah yang keindahannya tak terhingga. Tak ada kekhawatiran akan terlambat di dalam dirinya. Pikirannya sepenuhnya fokus pada bacaan ayat suci Al-Qur’annya. Setelah selesai satu juz, gadis itu bergegas ke dalam kelas yang dia tinggalkan. Tok ... Tok ... Tok ... “Masuk,” balasan suara di sebrang sana. “Maaf saya terlambat.” Gadis itu menundukkan kepalanya. “Sudah biasa. Sana buruan duduk kalau masih mau ikut jam saya,” balas dosen dengan baju super ketat itu garang. Dia terkenal sebagai dosen paling disiplin dan tegas di universitas ini. “Terima kasih.” Gadis itu duduk di kursi yang kosong lalu mulai menulis materi penting dari dosennya. Setelah sekian lama, akhirnya jam Mrs. Mustika selesai. Gadis yang satu-satunya memakai kerudung panjang itu mulai bersiap untuk pulang. “Annisa, mau ikut kita ke mal gak?” tanya salah satu gadis yang memakai kerudung biasa di sampingnya. “Maaf ya, aku harus sampai tepat waktu nanti,” balas gadis yang bernama Annisa itu dengan senyum manisnya. “Oke, aku duluan ya?” Gadis mungil itu melambaikan tangan ke Annisa, yang dibalas hanya dengan senyuman manis. Annisa Faiha, yang artinya anak perempuan yang memiliki banyak kelebihan. Nama yang sangat sederhana. Entah berapa banyak kaum muslimah yang memiliki nama Annisa, namun walaupun begitu, Annisa tetap bangga akan namanya. Walaupun namanya bukan nama besar yang ada marga di belakangnya yang menunjukkan kalau dia anak dari keluarga terhormat atau apa pun itu. Baginya, nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya itu adalah nama terbaik Gadis dengan wajah yang lembut, mata yang selalu memancarkan sinar bahagia. Dan tangan yang sering menyentuh Al-Qur’an. Mulut mungil yang tak bernah berucap kotor dan keras. Dia seorang muslimah sejati. Dia bukanlah, gadis yang spesial, bukan anak pejabat, pesiden, atau pebisnis handal. Dia seorang yatim piatu dan sekarang tinggal bersama pamannya. Sejak umur dua belas tahun, saat kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, Annisa di rawat oleh pamannya yang ada di New York. Ya, New York, kota terpadat di Amerika Serikat, dan pusat wilayah metropolitan. Di sanalah ia tinggal. Walaupun kota ini anti islam, tapi Annisa tetap menjadi muslim yang taat, berpegang teguh pada ajaran Islam. {} Annisa melangkah ke arah rumah besar dengan taman yang luas nan hijau itu dengan lamban. “Assa—” “Hei! Dasar anak gak tau diuntung ya kamu, kenapa jam segini baru pulang?! Cepat masak sana.” Belum selesai dia mengucap salam Bibi, dan kakak sepupunya sudah membentak dan menatapnya garang. Seperti inilah kehidupannya selama ini, penuh akan bentakan. “Maaf, Bi, Annisa tadi—” “Alah udah, gak usah banyak alasan, cepat masuk! Dan masak sana.” Dengan patuh Annisa masuk ke dapur dan langsung memasak. Tak ada keluhan ataupun bantahan, yang keluar dari bibirnya, dia menjalani semuanya dengan ikhlas. Setelah beberapa jam semua makanan sudah jadi dengan baik dan tampak sangat lezat. “Bibi, makanannya udah siap.” “Ok, dan aku ingatkan lagi, panggil aku, Aunty.” “Iya, Aunty.” Annisa menundukkan kepalanya dalam. Mereka makan dengan lahapnya. Ini lagi keistimewaan Annisa dia sangat pandai memasak. Annisa hendak pergi ke kamarnya saat sebuah suara menghentikannya. “Annisa, kamu gak mau makan bareng kami?” Annisa menoleh pada suara yang sangat ia kenal —pamannya. “Annisa mau sholat, sama ganti baju dulu,” Annisa menjawab dengan senyum manisnya. Pamannya menatap Annisa dari kepala sampai kaki, dia sadar bahwa Annisa disuruh masak tanpa istirahat, bahkan untuk mengganti pakaian. Pamannya hanya mengangguk, dan pergi ke meja makan. Melihat itu Annisa segera berlari ke kamarnya. Kamar yang sangat kecil, hanya ada satu ranjang dari kayu, satu lemari dan meja kecil. Sangat tak sesuai dengan rumah yang sangat luas ini. Bahkan tempat pembantu pun lebih bagus dari kamarnya ini. Annisa tak sekalipun mengeluh akan hal itu, baginya sudah hidup, dibiayai dan disekolahkan. Itu sudah cukup. Mata Annisa beralih pada Foto yang terpasang di kamar itu, foto besar yang di dalamnya terdapat sepasang suami istri dan gadis kecil yang mungil. Dia selalu tersenyum dan semangat saat melihat foto itu, foto keluarganya. Apalagi saat melihat sang ibu, dia sangat menyayangi ibunya tersebut, matanya selalu memancarkan sinar bahagia kala melihat wanita yang melahirkannya. Ibunya selalu memberikan nasihat yang sangat berguna dan menjadi kekuatannya selama ini. Jadilah manusia yang kuat, jangan mengeluh akan apa pun, karena itu sama saja dengan tak menerima takdir Allah, teruslah tersenyum dalam keadaan apa pun. Syukuri semua hal, itu semua takdir Allah. Itulah serentetan kata yang membuat gadis ini begitu kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD