1. Pertemuan Malam Itu

2125 Words
Pernah tidak terlintas di dalam benak tentang betapa payahnya hidup itu? Kita harus berurusan dengan masyarakat yang berarti kita harus pandai bersosialisasi. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang sulit melakukannya, rasanya terlalu kaku dan tidak akan bisa. Itu dia, sosial tidak pandang bulu, semua sama rata dan dilihat sama walaupun sebenarnya ada sebagian orang spesial yang kurang mampu mengembannya. Oeskuita Jezabiesya atau Jeza, perempuan itu bertopang dagu dengan tubuh terlungkup di atas tempat tidur. Mata yang berbingkai kacamata baca itu menatap lurus ke arah layar laptop di depannya. Ia lalu menggaruk kepalanya bingung dengan kalimat apa yang ia harus ketik selanjutnya. “Ah ya ….” Jeza menjentikkan jarinya. Sebuah pemikiran muncul di kepalanya seolah ada bohlam yang tiba-tiba terang benderang di atas kepalanya. Namun sebelum itu …. “Jezaaa!!!” Jeza menghela nafas Panjang, amat panjang lalu mengeluarkannya melalui mulutnya. Wajahnya lesu sekarang, ia paling tidak suka jika waktunya diusik seperti ini. Padahal ia sudah ada ide untuk kelanjutan ketikannya. Namun, semuanya lenyap bagai abu diterpa angin ketika suara mamanya berdengung di telinga. “Jezaaa!!! Kesini sekarangg!!” “Iya, Ma!!” Jeza turun dari ranjang, tidak lupa untuk menyimpan file word miliknya terlebih dahulu di dalam folder tersembunyi di dalam laptopnya. “Bentar, Maa …. Ini mau turun ….” Jeza terus melontarkan kalimat bernada panjang agar mamanya yang entah berada di mana di dalam rumah ini dengar dengan suaranya. Jeza kemudian berjalan keluar dari kamarnya. Kacamatanya tidak ia lepas karena sejujurnya ia suka dengan kacamata imutnya ini, kacamata dengan dua pita chibi mini di kedua ujung kaca kacamatanya ini tentu saja sangat anti mainstream untuk seseorang yang usianya sudah menginjak ujung belasan seperti dirinya. Jeza mengedarkan pandangan mencari mamanya yang tak kasat mata. Ya, karena mamanya itu bisa muncul tiba-tiba entah dari mana datangnya. Maka dari itu Jeza harus jeli sebelum melakukan sesuatu yang rahasia. “Jeza! Di sini!” Mata Jeza menyipit dan bergerak sembarangan arah sebelum akhirnya menemukan mamanya yang sedang memegang spatula, berkacak pinggang dari arah pintu masuk dapur. “Oke bentar, Ma.” Jeza melangkah cepat menuruni undakan anak tangga. Bisa bahaya jika telat sedikit menghampiri mamanya yang sudah tampak ingin menyemburnya dengan kalimat panjang yang bisa tak habis sampai esok hari. “Kenapa, Ma?” tanya Jeza setelah dirinya berdiri tepat di depan mamanya. “Kenapa-kenapa. Makanya kacamata burem tuh dilap dulu , jadi susah ngeliat, ‘kan?” Jeza melepas kacamatanya lalu memperhatikannya, memang sudah banyak cap sidik jari dirinya di sana. “Udah, itu nanti aja. Sekarang, kamu ke depan beliin Mama bumbu dapur.” Mama memberi Jeza sebuah kertas berisi tulisan-tulisan kecil. “Ini kertasnya, takutnya kamu lupa apa-apa aja.” Jeza menerima kertas itu dengan amat sangat berat hati seolah kertas itu benda berbahaya. Ia kemudian membaca satu persatu yang ia harus beli malam-malam seperti ini. Mamanya memang unik, selalu masak di malam hari, katanya ekspresimen. “Ma. Ojol aja, ya.” Jeza memasang tampang memelas. Tolong jangan beri ia pisau saat ini karena dirinya bisa terbunuh sampai esok hari atau lusa. “Kenapa? Di depan enggak ada orang. Kamu tinggal beli bentar terus balik lagi pulang,” ucap mama menunjuk ke arah depan rumah mereka. “Beneran?” Mamanya Jeza tentu tahu kelemahan anaknya ini. Ia sulit bersosialisasi. Begitu kaku. Bahkan sang mama juga sering mengkhawatirkan tentang bagaimana Jeza ke depannya jika ia masih saja tidak bisa bermasyarakat seperti ini. Tapi Jeza sendiri tidak mencemaskan dirinya. Karena Jeza merasa dirinya mampu. Hanya saja tidak di sini, di daerah tempatnya lahir dirinya ini seolah sudah kadaluarsa. Sebagaimanapun ia berusaha untuk menyapa orang-orang, reaksi mereka akan canggung karena sudah terbiasa dengan Jeza yang diam tidak banyak bicara. “Iya udah sana beli. Mama tunggu lima belas menit ya. Jangan telat,” ujar mama Kembali masuk ke dapur. “Ma … ojol aja deh ya. Gampang kok tinggal mes—” “Enggak, Jeza. Mama gak mau. Cuma bumbu dapur bisa dibeli di warung depan rumah,” potong mama tanpa berbalik badan. “Kalau enggak ada gimana? Kan sering abis.” Jeza masih mencoba keberuntungannya agar mamanya tidak jadi menyuruhnya. “Beli di warung yang di luar komplek. Kalau enggak ada lagi, ya ke warung yang di pinggir jalan itu. Kamu tau, ‘kan? Punya Pak Purba itu loh,” ujar mama mengambil kuali, tak peduli jika wajah Jeza sekarang sudah ngenes. “Memangnya kakak kemana sih, Ma?” Karena biasanya, Misya alias sang kakak yang selalu mengemban beban tiap malam yang diberi oleh mamanya. “Pergi bareng Keith. Gak tau dah kemana, ini kan malam kamis,” jawab mama menuang minyak ke dalam kuali. “Terus Ergan? Dia kan pecicilan, Ma. Pasti mau tuh disuruh beli ini semua.” Ergan, adik Jeza dan si bungsu itu memang terkadang menjadi malaikat dadakan karena ia mau membantu Jeza ketika Jeza diperintahkan melakukan ini itu yang berhubungan dengan orang lain. Ya tentu saja dengan suatu imbalan, kalau tidak, sampai katak bisa terbang pun Ergan takkan mau. “Dia ada tugas, Jeza. Urgent katanya. Udah kamu aja yang beli sana. Siapa tau ketemu cowok ganteng, ‘kan?” Mama menoleh ke arahnya dengan sebelah alis yang meninggi, mencoba menggoda Jeza. “Gak penting banget, deh, Ma,” lirih Jeza dengan bibir mengerucut. Jantungnya sudah berdegup lebih kencang karena memikirkan ini itu. “Iya deh. Yauda sana beli.” Mamanya mengibaskan tangan mengusir Jeza dari sana. Dengan menarik nafas panjang tanpa berdecak atau mendesah malas karena mamanya bisa sangat marah, akhirnya dengan hati berat, Jeza berbalik badan dan melangkah ke arah pintu depan rumah. “Oh iya kacamata,” gumam Jeza melepas kacamatanya dan menaruh di sembarang tempat. Kebiasaan sebenarnya karena setelah ini, ia pasti akan heboh sendiri merasa kacamatanya sudah hilang entah kemana. Membuka pintu, Jeza menjinjit melihat keadaan sekitar. Warung yang di maksud tepat berada di depan rumahya. Biasanya di sana banyak orang, khususnya para cowok, apalagi ini malam kamis, cowok-cowok jomblo biasanya nongkrong di sana. Tapi sepertinya keberuntungan berpihak pada Jeza karena di sana tidak ramai. Hanya ada seorang laki-laki, tapi yang ia tahu cowok itu masih SMP, jadi tidak masalah sama sekali. Dengan cepat, Jeza memakai sandalnya dan berjalan buru-buru ke arah warung karena takutnya sebelum ia pergi dari sana, cowok-cowok yang lain pada datang dan akhirnya akan ramai. “Bu, beli ini.” Jeza memberikan nota yang dikasih mamanya ke penjaga warung. Mengijinkan orang itu yang mengambil seluruh barang yang di belinya. “Ini … tapi untuk bawang lagi kosong, Jez.” Ibu itu memberi Jeza sekantong plastic penuh akan pesanannya. “Oh gitu … yauda ini aja, Bu. Berapa?” Ibu penjaga toko menyebutkan nominal yang harus Jeza bayar dan Jeza memberi uangnya. Ia kemudian berterima kasih dan si ibu membalasnya. Di jalan hendak keluar dari komplek. Jeza terngiang-ngiang akan sahutan dari kata terima kasih tadi. Rasanya terlalu kaku walaupun ia sudah mencoba ramah dan bersikap seperti orang pada umumnya. Jeza sebenarnya benci sikap overthinkingnya karena hal ini tentu akan berimbas buruk pada dirinya. Namun, untuk menghilangkan overthinking itu sangat susah. Jika bisa, Jeza ingin melepaskan kepalanya sementara waktu. “Hah ….” Jeza membuang nafas melalui mulutnya. “Udahlah, gak penting gak usah dipikirin,” paksanya sembari mengetuk pelan kepalanya dengan mata terpejam rapat. “Kak Jeza?” “Hm?” Jeza menoleh ke sampingnya ketika mendengar seseorang memanggilnya. Namun, ia tidak melihat siapapun di sana. “Di bawah, Kak.” Jeza menurunkan pandangannya dan barulah terlihat seorang gadis kecil yang memakai piyama sedang melempar senyum lebar ke arahnya. “Eh Yuri. Kenapa malam-malam keluar?” tanya Jeza tidak repot-repot membungkukkan kepalanya. Ketika Jeza bilang dirinya kaku, itu berarti ia tak bohong. Memang sekaku itulah dirinya. Bahkan dengan anak kecil sekalipun. Bahasa dan nadanya mungkin terdengar ramah, tapi dalam hati ia menertawakan dirinya karena sebenarnya itu hanyalah bentuk metasi dari dirinya. “Kan aku mau pindah, Kak,” ujar Yuri bersemangat. Ah ya, memang benar. Yuri adalah tetangga Jeza dan yang ia dengar, keluarga perempuan kecil itu hendak pindah ke komplek yang lebih elit. “Oh iya-iya. Yauda kamu masuk sana, ntar ada penculik loh.” Jeza mencoba menakut-nakuti. Tapi sepertinya anak itu tidak mau pergi juga. “Yauda. Kakak mau beli bawang dulu. Kamu masuk ya, ntar masuk angin.” Jeza berbalik dan melangkah Kembali, tidak terlalu peduli apakah Yuri sudah masuk ke dalam rumahnya atau belum. Biarlah, ia juga malas. Yuri itu anaknya sedikit cerewet, banyak sekali yang ia katakan, bahkan yang tidak penting sekalipun dan Jeza … kadang agak kesal mendengarnya. Jujur saja. Ketika Jeza hampir mendekati gerbang komplek. Satpam yang berjaga, yang mengenal Jeza menyapanya. “Jez, malam-malam mau kemana nih?” tanyanya ramah. “Mau ke warung Pak Pur—” “Bawa Yuri?” “Hah?” Jeza mengerjapkan matanya dua kali sebelum ikut mengikuti arah pandang satpam pada sosok yang berdiri di belakang tubuhnya. Sosok kecil yang saat ini menatapnya dengan senyum unjuk gigi. “Yuri ikut kakak, ya. Hehe.” Bibir Jeza tertarik. Tawa kecil keluar dari bibirnya. Percayalah jika tawa itu adalah tawa yang hambar. Sebaliknya, ia kesal dengan Yuri alih-alih merasa gemas dengan anak kecil itu. “Oh haha yauda,” ujar Jeza mengulurkan tangannya, membiarkan Yuri memegang dua jari tangannya. Satpam pun hanya tertawa dan menggoda Yuri ketika mereka berjalan melalui pagar. Jeza bersyukur di sini, setidaknya Yuri membawa keberuntungan tersendiri baginya. Namun, sepertinya memang lebih baik Yuri tidak ikut bersamanya, Jeza harus merubah pemikirannya tadi. Karena sekarang, perempuan kecil itu asik menarik kaosnya merengek meminta dibelikan sesuatu yang Jeza sendiri tidak tahu namanya. “Kak Jeza! Yuri mau itu!” Teriaknya menarik kaos Jeza semakin kencang. “Kak Jeza!!” Dan kini bibir mungil itu sudah melengkung ke bawah. Tinggal menunggu saja karena sebentar lagi Yuri pasti menghentakkan bokongnya ke tanah. Situasi ini merepot dan memalukan bagi Jeza. “Sebentar, Yuri ….” Jeza harus menghela nafas berkali-kali agar emosinya tidak semakin naik. “Cepet, Kak! Nanti abis tuh.” Jeza bahkan tak tahu uang yang tersisa ini cukup atau tidak membeli permen kapas yang dari tadi menjadi incaran Yuri itu. Jeza melempar senyum terima kasih ketika seorang lelaki paruh baya yang biasa disebut Pak Purba itu sembari menerima kembalian satu kertas berwarna ungu. Mungkin ini cukup untuk membeli satu permen kapas berwarna pink itu. “Kak Jeza lama banget!” Yuri benar-benar tidak sabaran. Gadis kecil itu berlari menyebrangi jalan. Membuat beberapa orang berteriak karena banyak pengendara berlalu Lalang di sana, mereka khawatir jika sesuatu yang buruk menimpa Yuri. Sebuah cahaya yang amat silau datang dari kejauhan dengan kecepatan yang luar biasa. Jeza tanpa sadar berteriak agar si pengendara sadar jika ada anak kecil di depannya. Bisa sangat bahaya jika Yuri sampai kenapa-kenapa. Bunyi decitan antara ban dengan aspal terdengar tajam. Ban depan motor sengaja dibelokkan agar tak mengenai Yuri yang mematung di tengah jalan. Si pengendara melepas helmnya dan berdecak kesal menatap Yuri. “Bang, lain kali kalau bawa motor hati-hati, ya.” Salah seorang dari orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu berujar kuat. Si pengendara menunjuk dirinya, ia terperangah. “Gue yang salah?” lirihnya dengan dahi mengernyit, berpikir keras apa ia yang salah? Jeza sendiri buru-buru mendekat ke arah Yuri yang sudah mulai menangis. Pegangan plastik berisi bawang dan barang lainnya ia masukkan ke dalam pergelangan tangannya. Mau tak mau ia harus menggendong Yuri karena jelas perempuan kecil itu tidak bisa disuruh berjalan lagi. Anak kecil memang punya mode mereka sendiri. “Mbak, lain kali anaknya dijaga, ya. Jangan keliaran di tengah jalan. Saya yang jadinya disalahin padahal kan anak mbak yang salah.” Jeza yang sudah menggendong Yuri di depan tubuhnya mendongak menatap pengendara berwajah congkak itu. “Anak?” Ia membeo. Jeza sungguh tidak salah dengar dengan ucapan pria di depannya ini? Apa penampilannya sudah seperti ibu-ibu? “Iya. Ini anak mbak, ‘kan?” Ia menunjuk Yuri yang berada di gendongan. Jeza baru mau memprotes, tapi sebuah motor tiba-tiba berhenti tepat di sebelah pengendara tadi, membuatnya mengurungkan kalimatnya. “Jer, ayo buru! Ntar ketinggalan!” “Iya duluan!” Jeza menatap pengendara bernama Jer ini dan juga pengendara yang barusan lewat, bergantian. Ia menghela nafasnya dan memutuskan untuk tidak peduli lagi. Yang penting Yuri tidak apa. Jeza kemudian mengambil Langkah mundur dan berbalik pergi dari sana. Sedangkan pengendara Jer itu hanya melirik Jeza dan berpikir jika ia sepertinya pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tapi di mana? “Jerome! Buruan woi! Udah ketinggalan lu mah!” Teriakan demi teriakan bersahut-sahutan. Membuat beberapa orang di sana membalas berteriak dengan kesal. “Dasar sampah masyarakat!” Jerome, pengendara itu baru saja hendak menarik gasnya ketika kalimat itu keluar dari mulut seseorang. Kalimat yang paling ia benci. Namun, tak ada gunanya meladeni ucapan itu sekarang. Karena ada hal yang lebih penting dari sekedar membalas sebuah perkataan sembarangan yang padahal mereka sendiri tidak tahu bagaimana kejadian sebenarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD