BAB 1: Guru dan Muridnya

2075 Words
"Hidup ayahmu tidak lama lagi ... aku rasa," ucap seorang dokter paruh baya, keluar dari kamar yang kecil itu dengan raut wajah tertekuk. "Begitu," respon datar satu-satunya keluarga dari pasien di dalam sana, suara dinginnya kadang membuat dokter tadi ketakutan tanpa alasan yang jelas. berdehem ringan, dokter tersebut menepuk pelan pundak pemuda di hadapannya itu. "Masuklah, Luis. Gunakan saat-saat seperti ini dengan baik, karena mungkin saja--" "Ini adalah saat-saat terakhir ayah saya di dunia, kan?" potong pemuda dengan setelan jas serba hitam dan rambut ikal legam yang menutupi sampai separuh wajah tampannya. Jakun sang dokter bergerak pelan, ia susah payah menelan salivanya sendiri. "I-iya." "Saya tahu, saya sudah paham. Anda tidak perlu datang ke sini lagi, Dokter. Itu adalah salah satu permintaan terakhir ayah." Dokter tersebut langsung mendengkus berat. "Aku tidak tahu kenapa kau jadi sedingin ini sejak waktu itu. Ya, baiklah. Aku tidak akan datang lagi, rawat Tuan Josef sebaik mungkin, Luis." "Iya, tentu saja akan saya lakukan, Dokter." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, pemuda yang dipanggil Luis itu langsung menepis pelan tangan sang dokter agar menjauh dari pundaknya. "Jadi tolong, jangan datang ke sini lagi," pintanya dingin. Lantas melangkahkan kaki, memasuki kamar dengan pintu yang catnya sudah mulai terkelupas itu. Sang dokter sampai menghela napas panjang-panjang, guna meredam amarah. Setelah melihat sosok Luis yang menghilang di balik pintu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu. "Apa Ayah yang memanggil dia?" tuduh Luis setajam silet pada sosok pria tua yang terbaring lemah, tak berdaya di atas ranjang. "Luis ….” Pria tua dengan kepala botak di bagian tengah kepala ini berujar lirih. Tangan kurus berurat tampak itu bergerak pelan, ingin meraih wajah sang putra tercinta. “Kemarilah,” pinta sang ayah pelan. Membuat genggaman tongkat di tangan Luis mengerat, ia harus menarik napas dulu sebelum meraih tangan lemah Josef. Luis meletakkan tangan itu ke sisi wajahnya. “Ada apa Ayah?” Tampak senyum yang menyakitkan tercetak jelas di wajah Josef kini. “Putraku … bolehkan ayah meminta sesuatu padamu?” “Lagi?” Luis malah mengucapkan kata yang terdengar kurang ajar. Apalagi pada seorang ayah yang sedang sekarat. Josef malah terkekeh lalu terbatuk kemudian. “Tolong … jadilah guru untuk Tuan Putri di kastil itu. Tolong … gantikan posisi ayah. Dia … gadis itu, uhuk! Butuh, dia butuh seseorang di sisinya.” Josef memaksakan diri untuk terus mengoceh panjang lebar seperti biasa. Luis menghela napas berat. “Apa Ayah lupa kalau anak Ayah ini buta?” Lagi, Luis hanya melontarkan kalimat yang menyakitkan. Namun, tidak ada jawaban lagi dari sang ayah. Pria tua di sana sudah memejamkan mata dengan sedikit lengkungan ke atas di bibirnya, tangan yang menyentuh wajah Luis sudah jatuh, terkulai tak berdaya. Ekspresi pemuda itu tidak terbaca, hanya ada pundak gemetar dan kemudian ia segara melangkah dengan tuntunan tongkatnya. Memanggil pendeta. Setelah tiga hari dengan berbagai macam ritual kematian khas Desa Athenia, akhirnya jasad Josef dimakamkan. “Hei, apa itu anak Josef Winer?” bisik salah satu pelayat wanita dengan banyak jerawat besar di kedua pipinya. “Benar. Bukankah dia terlihat tampan?” balas teman yang wanita tadi ajak bicara. Ia memiliki hidung yang mancung ke dalam. “Walau tampan begitu, dia tetap saja buta,” sela salah seorang pelayat lainnya, ia seorang bapak-bapak dengan perut yang menyembul besar. “Betul juga, kudengar dia sangat jenius, tapi sayang sekali buta,” setuju wanita dengan banyak jerawat di pipinya tadi. “Aduh, andai tidak buta, akan kujodohkan dengan putriku saja,” tukas wanita dengan hidung yang mancung ke dalam, sambil bercanda. Luis yang masih berdiri di depan makam sang ayah harus bisa menahan diri. Ia dapat mendengar jelas percakapan orang-orang di sisi sana. “Bahkan walaupun aku buta begini, aku tidak sudi berada di sekitar orang-orang seperti kalian,” gumam Luis, alis tebalnya sampai bertaut karena kening yang berkerut dalam. “Apa kau tidak sedih, Luis?” tegur pendeta yang memimpin sesi pemakaman tadi. Luis mendesah berat. “Saya sedih, Pak,” sahutnya tidak terdengar tulus. Pendeta atas nama Yohan itu langsung tergelak kecil. “Luis, kudengar dari Josef, kau cukup tertarik dengan kisah-kisah misteri, bukan?” “Hanya saat saya kecil.” Pendeta Yohan tampak mengusap dagu. “Begini, aku mendengar rumor yang cukup menarik tentang kastil tempat ayahmu bekerja.” Luis tidak terlihat tertarik. Ia bergeming dengan kepala menunduk ke arah batu nisan sang ayah, dan tongkat abu-abu di genggaman. Namun, sang pendeta agaknya tidak langsung menyerah. “Aku dengar dari orang-orang di sana, kalau kematian ayahmu ada kaitannya dengan kastil Medeia, dan juga … gadis kecil yang tinggal di sana. Salah seorang pelayan bilang, kalau kastil dan gadis itu terkutuk.” Kali ini Luis langsung mengangkat kepala, dan memutar wajah, menghadap ke arah sumber suara meski ia tidak bisa melihat orang yang tengah berbicara. Luis terlihat tertarik dengan topik tadi. “Apa kau tertarik sekarang?” tebak pendeta Yohan tepat sasaran, ia lalu mengulas sebuah senyuman. “Sayang sekali pengetahuanku minim tentang itu. Jika kau ingin tahu lebih banyak, Luis, pergilah ke sana. Terima pekerjaan yang diwariskan ayahmu itu.” Luis sangat ingin bertanya dari mana pendeta ini tahu permintaan terakhir ayahnya, tapi segera urung ketika mengingat mulut Josef yang tidak bisa diam dan selalu mengoceh di mana pun orang tua itu berada. “Terima kasih atas informasinya, Pak.” “Tentu, sama-sama. Kau pasti bisa jadi guru yang hebat.” Yohan menepuk pelan pundak Luis sebelum berlalu pergi. Setelah empat hari berlalu, Luis akhirnya memilih untuk mendatangi Kastil Medeia yang terkenal di desanya itu. Ia juga memperkenalkan diri sebagai guru baru kepada kepala pelayan di sana, mereka menyambut kehadiran Luis dengan cukup ceria. “Peraturan?” Langkah kaki Luis seirama dengan sang kepala pelayan yang kini mengantarnya menuju kamar majikan atau … bisa juga disebut murid, sama semua. “Benar, Tuan. Kami semua, orang-orang yang bekerja di kastil ini dilarang untuk bersemuka dengan Tuan Putri.” “Tuan Putri?” ulang Luis. Tongkat di tangannya masih jadi yang terdepan sebagai petunjuk jalan. “Nona Asley. Kami kini biasa memanggil beliau dengan sebutan Tuan Putri karena Tuan Josef,” jelas pria dengan setelan jas khas pelayan yang rapi itu secara lugas. Luis mengangguk paham. Ia lalu diberi tahu kalau sudah sampai di depan kamar gadis yang dirumorkan tersebut. Sang kepala pelayan permisi undur diri. Luis jadi berpikir dua kali. “Kalau melanggar apa kita akan mati? Apa benar ayahku mati karena gadis ini?” Luis bergumam kecil, lantas memegang knop pintu dan mendorongnya ke dalam, mulai melangkah memasuki ruangan. “Selamat pagi, Tuan Putri,” sapa Luis ramah, tapi gadis yang masih meringkuk di atas kasurnya hanya bergeming. “Perkenalkan, saya adalah Luis Winer, orang yang akan menjadi guru Anda mulai sekarang,” tukas Luis melanjutkan kalimat dengan nada bersahabat. Asley berdecak kesal, ia masih sedih perihal kehilangan gurunya, tapi harus dihadapkan dengan seseorang yang nama belakang mereka sama? Ngomong-ngomong entah bagaimana suara orang itu terdengar dekat sekali. Padahal harusnya terdengar jauh dari balik sekat, kan? “Mungkin perasaanku saja, mana ada yang berani mengajakku bicara sedekat itu, bahkan tidak dengan Pak Tua sekali pun.” Asley tidak ingin mendongak, ia masih betah menenggelamkan kepalanya dengan tangan memeluk kaki yang dilipat. Luis menghela napas ringan, mungkin rumor yang beredar bahwa gadis di sana tidak pernah bertatap muka dengan manusia mana pun adalah suatu kebenaran. “Sebelum kelas dimulai, Tuan Putri harus sarapan dulu.” Luis melangkah mendekat, berdiri di samping tempat tidur, meletakkan nampan di luar sekat tadi ke nakas di samping Asley. “Tunggu, ada yang aneh di sini!” Asley jelas-jelas bisa mendengar langkah kaki orang itu, bahkan seperti dia berada di sampingnya saja. Apakah mungkin? “Kelas akan dimulai siang nanti. Anda juga harus mandi membersihkan diri.” Luis hanya menebak kalau muridnya ini belum mandi beberapa hari dari bau tubuhnya yang menguar. Kali ini Asley yakin ia tidak sedang berhalusinasi. Gadis itu langsung mendongak dan menoleh pada sumber suara, pupilnya hampir melompat dari rongga, mendapati sosok manusia berdiri di hadapannya dengan senyuman dan tongkat di tangan. “Ka-kau, kan?” Asley ingat orang ini. Dia pernah melihat dari kejauhan gurunya dulu membawa Luis ke taman. “Apa yang kau lakukan di sini!” hardiknya menunjuk laki-laki yang tidak terlihat keseluruhan wajahnya karena tertutup rambut hitam yang ikal. Luis menurunkan tongkat. “Saya adalah guru baru Anda,” jelasnya lagi. Tidak. Bukan itu maksud Asley. Apa orang ini tidak tahu aturannya? Dia tidak boleh menembus sekat begitu! Dia tidak boleh bersemuka dengannya begini! Wajah Asley menatap horor lelaki yang masih berdiri sopan di sana. “Kau gila, ya!” teriaknya tiba-tiba. “Saya guru Anda, bukan orang gila,” jelas Luis lagi dengan tenang. Asley masih tidak mengerti keadaan di luar akal sehatnya ini. “Kenapa kau menerobos sekat itu?” Pertanyaan di kepalanya keluar melalui mulut. Luis menelengkan kepala sedikit, lalu tersenyum lagi. “Jadi tidak boleh, ya? Saya tadi bertanya-tanya kenapa ada sekat seperti itu di kamar Anda,” jelasnya enteng, terlihat begitu santai. Orang ini tidak waras dia tidak normal, batin Asley horor. “Ayah saya juga tidak bilang apa-apa,” tambah Luis lagi. “A-ayah?” “Guru Tuan Putri sebelumnya, dia adalah ayah saya.” Pantas saja nama belakang mereka sama, Asley tidak sadar sebelumnya. Perlahan, akal sehat gadis berambut pirang ini mulai kembali. Asley menyipitkan mata, menatap pada guru barunya penuh rasa tidak suka. “Aku sudah dewasa, tidak butuh guru lagi!” cetus gadis ini, ia tidak ingin kehilangan lagi. Sudah cukup dengan permainan kehidupan yang tidak berarti. “Kalau begitu anggap saja kita belajar bersama, bahkan para jenius di dunia belajar sampai mereka mati menua.” Jawaban Luis seperti bongkahan batu yang tidak bisa dihancurkan. “Aku tidak mau kalau denganmu!” ketus Asley memalingkan wajah. Luis menyungging senyum lagi. “Apa karena saya buta?” serangnya dengan sengaja. Ia ingin menguji Asley, apakah gadis ini pantas untuk diberi ilmu atau tidak sama sekali. Gadis kurus itu langsung tersedak air liurnya sendiri. “Apa katamu!” Mata ungunya segera meneliti kembali penampilan Luis di sana. Tidak terlihat seperti orang buta, kecuali tongkat putih dengan garis merah di tangan kanan Luis. “Saya memang buta, Tuan Putri. Tapi saya jamin kalau ilmu pengetahuan saya berada di atas Anda,” yakinnya dengan suara yang sengaja dibuat pilu, menyamarkan kata-kata sombongnya barusan. Hati nurani Asley seperti dipukul dengan palu besi, ia merasa bersalah tapi tidak ingin mengakuinya. “Me-memangnya orang buta bisa apa!” Dan malah kata-kata kurang ajar yang keluar dari mulutnya, seperti biasa. Luis tidak terlihat marah sama sekali, air wajahnya setenang danau yang tidak berarus. “Pertama, saya bisa mengajari Tuan Putri sopan santun dan etika hidup yang tidak bisa ayah saya ajarkan pada Anda sebelumnya.” Walaupun tidak terlihat tersinggung, tapi perkataan itu menunjukkan kalau Luis tidak suka dengan kekasaran calon muridnya ini. “Aku tidak butuh itu,” kukuh Asley menunjukkan sifat keras kepalanya. “Aku akan hidup sendirian sampai mati tanpa berkomunikasi dengan manusia mana pun! aku tidak perlu belajar sopan santun dan etika!” Sudut bibir Luis terangkat. “Saya juga hidup sendirian, tapi saya tetap belajar karena hanya itu yang bisa saya lakukan.” Perkataan yang lagi-lagi menyerang telak mental Asley. “Ternyata kau orang buta yang sombong, ya?” Lagi-lagi bukannya minta maaf, mulut pedas gadis itu bertindak sendiri. “Saya minta maaf, sebenarnya saya hanya kesepian seperti Anda.” Wajah Asley langsung memerah. “Si-siapa yang kesepian!” teriaknya heboh, melemparkan bantal tepat mengenai wajah Luis. “Aku tidak sepertimu! Kita tidak sama!” cetus Asley menunjuk Luis dengan amarah. “Baik, kita berbeda,” aku Luis yang malah terdengar semakin menyebalkan bagi Asley. Pemuda ini tidak mengerti kenapa gadis kecil itu malah marah-marah padanya begini. Dia salah apa? Maka sebelum gadis pemarah ini meledak lagi, Luis segera mengambil langkah untuk pergi. “Saya akan menunggu Tuan Putri di ruang kelas, saya permisi dulu.” Mulut Asley terbuka lebar, lehernya mengikuti arah langkah kaki sang guru baru yang kemudian menghilang di balik sekat. “Bagus sekali Pak Tua, kau meninggalkanku bersama putramu yang menyebalkan itu!" Asley memijat kepalanya yang baru terasa pusing. Entah hilang ke mana semua rasa sedih yang sebelumnya bergejolak di hati. Kini yang bersarang dibenaknya hanyalah rasa kesal, bingung, sekaligus penasaran dengan sosok Luis. Netra ungu Asley beralih pada menu sarapan yang tadi Luis antar. “Bagaimana bisa orang buta berjalan selancar itu? Seakan dia sudah hapal betul struktur rumah.” Kepala Asley memiring. “Dia juga tahu ada sekat di dalam kamar ini, kok bisa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD