23 Februari 2015 (1)

1259 Words
( Sebelum membaca jangan lupa untuk... like, follow, dan share, ya. Author sangat membutuhkan dukungan kalian, hyung ~ ! ) ^ ^ ^ "One for all : You are my everything . . ." * * * # Dua Puluh Tiga Februari Dua Ribu Lima Belas bagian pertama. . . . Zzzrrrhhh . . . zzzrrrssshhh . . . zzzrrrssshhh . . . zzzrrrssshhh . . . zzzrrrssshhh . . . zzzrrrssshhh . . . zzzrrrssshhh . . . zzzrrrssshhh . . .  zzzrrrssshhh . . .  zzzrrrssshhh . . .  Pada suatu sore hari yang sangat indah untuk diriku. Ketika dunia tempat aku menginjakkan kaki ini. Tengah dilanda oleh suatu fenomena alam yang diawali oleh penguapan alias evaporasi. Dilanjutkan oleh pengembunan alias kondensasi. Dilanjutkan oleh presipitasi alias proses terjadinya fenomena ini yang paling akhir. Proses prespitasi adalah proses mencairnya awan akibat pengaruh suhu udara yang tinggi. Singkat kata fenomena alam itu adalah hujan. Suatu hujan yang mengguyur bumi dengan cukup deras. Hukum alam yang telah bekerja sejak awal dunia ini tercipta. Membawa kita pada suatu pertemuan yang “telah lama” ditakdirkan oleh Yang Kuasa. Oleh Pemilik dan Sang Empunya dari alam semesta. Oleh Tuhan yang menguasai seluruh dunia. Yang mengendalikan semua yang Ia cipta. Pada setiap poros pastinya. Pada setiap aturan mainnya. Yang tak akan bisa diganggu gugat. Bahkan oleh iblis paling kuat. He he he, biarkan aku sedikit bermetafora. Karena saat ini aku tengah merasa sangat bahagia. Jadi, bagaimana ceritanya? Apa yang sudah terjadi sampai membuat seorang pemuda perjaka biasa seperti diriku jadi sok "melambai lambai" dengan mulai menulis suatu catatan harian? Ah, aku benar-benar seperti anak sekolah dasar saja. Ha ha ha. Tapi, karena aku senang, jadi sepertinya tidak mengapa, ya? Ekhm, ekhm, ekhm... Di tengah hujan deras yang mengguyur kota. Saat itu kita berpapasan di halte bus yang cukup sepi. Tak ada orang lain di sana sebenarnya. Alasan kita bisa sampai secara bersamaan berada di sana pun serupa. Yaitu karena sama sama ingin berteduh dari amukan guyuran air langit. Melindungi diri dari . . .  Basah . . . basah . . . basah . . .  ♫ ♫ ♫ Malah jadi nyanyi, ha ha ha! Singkat kata saat itu alam semesta mempertemukan kita ketika sedang menunggu hujan reda. Kau mengucupkan payung berwarna pink dengan gambar kucing Jepang yang sangat imut. Kucing Jepang berbulu putih dengan enam buah helai kumis yang tampak menggemaskan (seperti dirimu, u h u y ! ), tanpa mulut, dan sebuah pita berwarna pink di telingan bagia kiri. Sosok besutan perusahaan Sanrio yang sangat terkenal dan akrab disapa dengan nama H e l l o K i t t y. Sebagai satu satunya orang yang saat itu berada di halte. Kau tersenyum lembut padaku. Dengan lengkungan bibirmu yang sangat manis nyaris membuat aku diabetes “di tempat”. Tanpa sadar aku pun turut melengkungkan senyum serupa untuk membalas senyummu. Walau mungkin senyum di wajahku tak akan semanis serta seindah milik bibirmu yang dipoles oleh gincu berwarna merah muda lembut itu. Menangkap reaksi yang aku lakukan. Kau melanjutkan dengan membuka obrolan diantara kita. Obrolan ringan untuk menghilangkan efek canggung dan grogi, “Hujan hari ini sangat deras, ya?” tanyamu. Walau aku tau itu hanya “sekadar” basa-basi belaka. Tapi, hatiku terasa ingin meloncat keluar dari relung dada. Karena rasa bahagia luar biasa yang aku rasa dalam jiwa dan juga raga. Mantap, bahasa yang aku gunakan barusa r i m a. Ha ha ha . . . Apa kamu tau betapa bahagianya aku saat itu? Mungkin saja tahu. Tapi, mungkin juga tidak tahu. Atau malah tidak peduli? Ha ha ha. Aku hanya bercanda. Itulah yang membuat aku memberitahu dirimu di sini. Di buku ini. Betapa aku sangat menghargai pertemuan pertama kita. Yang bisa jadi tak akan pernah aku lupa sepanjang usia. Aku menjawab, “Kamu benar. Ini sangat deras. Padahal lamaran cuaca yang aku lihat pagi ini mengatakan bahwa seharian akan cerah berawan.” Aku berlagak menengadahkan satu tangan ke udara. Mendengar kesalahan kata yang aku ucapkan. Kamu tidak langsung membenarkan atau berkomentar. Kamu hanya tersenyum kecil dan berusaha menutupi hal itu dengan punggung tanganmu yang mungil dan tampak ramping. He he he, sebenarnya aku memang sengaja mengucapkan kata yang salah. Biar saja. Aku berharap kamu jadi sedikit terhibur oleh kebodohan (untung untung sih kalau kamu menganggap apa yang aku lakukan sebagai hal yang  lucu, NGAREP! Wk wk wk). Dan sepertinya usahaku berhasil. Syukurlah. Aduh, tapi senyum di wajahmu itu sungguh terlalu manis. Sepertinya aku harus membatasi pandangan dari wajahmu yang membuat aku merasa overdose itu. Aku tidak mau mendapat berita buruk dari hasil cek darah nanti. Ha ha ha, hanya bercanda, hanya bercanda. Manisnya senyumanmu tidak akan pernah bisa berubah jadi penyakit untuk diriku. Yang ada malah menyembuhkan dari penyakit. Kamu berkata lagi setelah usai dengan tawa kecilmu yang luar biasa itu (aku melihatmu dalam point of view yang cukup hiperbola), “Kita jadi harus berteduh terlebih dahulu di sini, deh. He he he. Hujannya belum terlihat akan berhenti, ya.” Senyum indah yang mengembang di wajah manismu. Langsung aku balas dengan anggukan kepala yang menandakan setuju. Mengiyakan tanpa tanda tanya. Sebisa mungkin berusaha menyamakan alasan saja. Walau pada kenyataannya. Saat itu aku tak ada di sana. Karena alasan yang baru saja kau utarakan. He he he. Aku jadi sangat banyak tertawa saat mengingat pertemuan pertama kita. Yang sungguh "mengguncang" jiwa dan raga. E e a a a . . . Tidak mengapa. Tenang saja. Kebohongan yang aku ucapkan itu bernama dusta putih. White lie. Insya Allah halal. Aamiin. Eh, tapi kamu jangan sampai mengikuti cara aku mencari pembenaran dari suatu tindakan, ya. Perkenalan yang terjadi di antara kita. Diawali dengan obrolan-obrolan yang cukup sederhana dan apa adanya saja. Membahas cuaca dan iklim akhir-akhir ini. Membahas orang-orang yang ada di luar halte. Membicarakan pengendara motor yang memodif knalpot motornya. Sampai mengeluarkan suara yang sangat bising dan memekakkan telinga. Membicarakan beberapa orang pemuda berpenampilan budak korporat yang berjalan di pedestrian. Dengan tatapan mata serius melihat layar kaca ponsel pintar. Para pedagang kaki lima maupun pedagang asongan yang masih berusaha keras mencari rezeki di tengah guyuran hujan. Kerasnya kota yang nyaris selalu tanpa ampun menempa hidup para penghuninya. Minuman kaleng favorit. Minuman isotonik yang paling disuka. Makanan pinggir jalan yang paling digemari. Apa lagi acara setelah ini. Dan yang sebagainya. Sangat random. Tapi, entah bagaimana ombak obrolan tidak jelas itu bisa kita jalani. Tanpa masalah yang punya arti. Kita berdua begitu cepat akrab (menurutku). Seolah memang berada dalam satu frekuensi pikiran yang setara dan kompatibel. Kau menceritakan banyak hal dengan semangat. Diiringi suara yang lembut dan menyegarkan. Senyum yang indah. Pembahasan yang membuat aku terpesona dan terpaku di tempat. Sampai tak bisa mengalihkan pandangan. Dari menatap wajah manismu yang tampak ceria sehingga jauh dari kata membosankan. Begitu juga dengan aku. Senyum yang melengkuk di wajahku ini tak juga kunjung mengempis. Saat mendengar semua ceritamu. Saat itu aku berusaha keras. Untuk menjadi pendengar yang baik yang mampu memberikan dirimu kenyamanan. Di pertemua pertama yang “singkat”, namun penuh makna ini. Untuk seluruh keluh kesahmu. "Penantian" yang aku kira akan jadi sangat membosankan. "Entah bagaimana" bisa jadi terasa begitu menyenangkan dan penuh dengan rasa puas juga kebahagiaan. ( -Catatan hari ini akan berlanjut ke chapter selanjutnya ~ ~ ~ . . . ) [TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan atau daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita yang aku buat - . < ]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD