Prolog

1022 Words
"Katakan, siapa yang telah membuatmu hamil, Elaine!" Wajah lelaki paruh baya itu memerah karena emosi. Dirinya menatap tajam pada perempuan yang terduduk di depannya sedang menangis. Tangannya benar-benar merasa gatal ingin mengajar perempuan tersebut, tapi istrinya selalu menahannya sejak tadi. "Aku benar-benar tidak tahu, Ayah." Elaine terisak, dia benar-benar sudah menjawab dengan jujur. Dia memang tak tahu siapa lelaki yang sudah membuatnya begini. Hidupnya hancur dalam sekejap karena malam sial yang terjadi sebulan lalu. Saat itu, Elaine sedang merayakan hari kelulusan bersama teman-temannya. Karena desakan Sarah, Elaine akhirnya hanya bisa pasrah ketika diajak ke sebuah tempat hiburan. Lampu temaram dan dentuman musik kencang membuat Elaine sedikit melupakan segalanya. Dia terlihat bersenang-senang, karena ini adalah pertama kalinya dia datang ke sebuah Bar. Elaine benar-benar mengagumi tempat yang dijuluki kesenangan dunia tersebut. "Ayolah, sedikit saja," bujuk Sarah meminta Elaine untuk mencicipi alkohol. Wanita itu terlihat cemberut karena sikap Elaine. Elaine tampak gugup, apalagi semua teman-temannya menatap ke arahnya. Dengan terpaksa, dia menerima dan menenggak segelas kecil alkohol tersebut. Rasa pahit diiringi hangatnya alkohol mengalir melewati tenggorokannya. Elaine langsung minum jus jeruknya untuk menetralkan rasa. Elaine mengerutkan dahinya merasakan minuman alkohol pertama kali. Tampak jelas jika wanita itu tak menyukainya. Sarah yang melihat hal ini tertawa, memukul pelan bahu Elaine. "Kau akan terbiasa nanti, Elaine. Jadi nikmatilah, setelah ini kita pasti berpisah karena kampus kita berbeda." Senyum terpaksa terbit dari bibir Elaine, andai saja dia tak ikut dengan Sarah tadi, mungkin dia tak akan terjebak dalam posisi seperti ini. Dia menyesal telah menerima ajakan Sarah. "Bagaimana jika kita bermain putar botol?" seru Adrian dengan wajah berbinar, lelaki itu menatap semua teman-temannya. "Aku setuju." Pertama kali yang menjawab adalah Sarah, disusul oleh teman-teman yang lain. Mereka tampak tak sabar menunggu tantangan apa pada permainan putar botol. Elaine menatap jam di tangannya dengan cemas. Ini sudah hampir larut malam, dan ayahnya pasti akan mencari dirinya. "Aku akan pulang saja," ucap Elaine akhirnya berpamitan pada teman-temannya. Tapi Rehan tak membiarkan hal itu terjadi, melihat Elaine berdiri dan ingin pergi. Rehan dengan cepat menarik tangan Elaine dan menyuruhnya untuk kembali duduk. "Ayolah, sekali saja. Kita jarang berkumpul seperti ini, El. Kau biasanya selalu sibuk dengan pelajaran." kata Rehan. Entah mengapa Elaine melihat tatapan tak biasa dari Rehan. Dirinya ingin kembali berdiri, tapi temannya, Sarah, malah berjongkok di depannya. "Aku janji, hanya hari ini saja, oke." Permainan itu dimulai setelah Elaine memutuskan untuk ikut. Seseorang yang ditunjuk oleh botol, akan menerima gelas kecil berisi alkohol. Entah sudah berapa lama mereka bermain, Elaine merasa tubuhnya sedikit ringan. Wanita itu mulai menikmati candaan dari teman-temannya, melupakan jika malam sudah masuk waktu dini hari. "Mau ke mana?" tanya Elaine saat Sarah menariknya berdiri. Temannya itu tak menjawab, hanya menunjuk sebuah tempat dengan senyum lebar. Sarah mengajak Elaine membelah lautan manusia di lantai dansa, lalu dengan lihainya bergoyang meliuk-liukkan pinggulnya. Awalnya Elaine tertawa melihat itu, tapi lama-lama dia juga ikut menggerakkan badannya bersama Sarah. Tangannya terangkat ke atas, matanya terpejam, kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik. Dua orang wanita yang sedang mabuk itu tak sampai tak sadar jika mereka dikelilingi banyak lelaki. Peluh membasahi wajahnya, Elaine merasakan kepalanya berdenyut sekarang. Dia keluar dari kerumunan dan mencari kamar mandi. Perutnya terasa sakit, dan mungkin saja dia akan muntah. Mata Elaine berkunang-kunang, pandangan di depannya terlihat tak jelas. Entah sudah berapa lama Elaine berjalan, dia merasa jika kamar mandinya terasa sangat jauh. Elaine sudah tak bisa menahan lagi, ketika sampai di persimpangan. Dia memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sialnya, ada seseorang yang berdiri di depannya dan terkena muntahan Elaine. Entah apa yang terjadi setelahnya, Elaine tak bisa mengingat. Yang dia tahu, pagi harinya dia bangun di sebuah kamar hotel dalam keadaan telanjang dan tak ada siapapun di sisinya. Elaine masih menyesali semua kejadian yang sudah berlalu padanya. Kini, hal yang tak pernah dia inginkan tiba-tiba hadir di dalam hidupnya. Dia masih menangis, bersujud di depan ayahnya untuk meminta permohonan. Elaine tak ingin pergi dari rumah dalam keadaan seperti ini. Tapi Farhan sudah memutuskan semuanya, dia tak ingin putrinya itu mencoreng nama baik keluarganya. Dengan berat hati, dia harus menyingkirkan Elaine. "Bawa dia keluar!" perintah Farhan pada anak buahnya, dia bahkan enggan untuk melihat putrinya sendiri. "Mas," lirih Rosa pelan, dia meremas lengan suaminya. Berharap jika semua ini bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Elaine adalah anak satu-satunya mereka. Rosa cukup mengenal bagaimana sifat dan watak putrinya. Dia ingin tahu yang terjadi sebenarnya pada Elaine, tapi suaminya bersikeras untuk mengusir Elaine tanpa tahu pasti masalahnya. "Tidak, aku mohon, Ayah. Aku ingin tetap di sini," teriak Elaine ketika dirinya diseret paksa keluar dari rumah. Rosa menatap nanar pada putrinya, dia tak bisa berkutik apalagi suaminya menggenggam tangannya erat. Hati seorang ibu merasakan kesedihan luar biasa melihat putrinya diperlakukan seperti itu. Dia menghempaskan tangan suaminya dan masuk ke dalam rumah. Tangisnya pecah, menyesali keputusan sepihak suaminya. Elaine terus mencoba berontak, menendang bahkan menggigit anak buah ayahnya. Tapi tubuhnya yang kecil tak sebanding dengan tenaga lelaki yang menyeretnya. Lama-lama dia merasa lelah, tapi dia tak putus asa. "Lepaskan aku, sialan!" Berkali-kali Elaine mengumpat, tapi semua itu hanya sia-sia belaka. "Maaf, Nona. Ini perintah dari tuan," ucap salah satu anak buah Farhan. Tubuh Elaine didorong begitu saja ketika sampai di depan. Anak buah ayah Elaine melemparkan sebuah tas pada Elaine. Tak menunggu respon Elaine, mereka dengan cepat menutup pintu gerbang kembali. . Elaine meraung meratapi nasib sial yang menimpa dirinya. Umurnya akan menginjak 19 tahun bulan depan, tapi kini dirinya harus berusaha keras untuk bertahan hidup di dunia luar yang kejam. "Hiks, dasar anak sialan. Mati saja kau, aku tak pernah menginginkanmu." Elaine terisak, memukuli perutnya yang masih terlihat datar. Hujan tiba-tiba turun membasahi bumi, malam mulai larut membuat udara semakin dingin. Tapi Elaine tak peduli semua itu, rasanya tubuhnya mengalami mati rasa. Dia tak bergerak sedikit pun, air matanya bercampur dengan derasnya hujan yang turun. Elaine masih berteriak memohon pada ayahnya, berharap pintu gerbang akan terbuka. Tapi sampai hujan reda dan bibirnya membiru, pintu gerbang masih tertutup. Elaine mencoba berdiri dengan tertatih, tangisnya mulai reda. Wanita itu mengambil tasnya lalu berbalik pergi. Langkahnya gontai dengan pandangan kosong. Apa yang harus dilakukannya setelah ini? Sepanjang jalan, Elaine hanya diam, entah apa yang dipikirkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD