BAB 16

1009 Kata
Kirana sudah kembali bisa bermain dengan Nou. Tapi, herannya Adinata tidak juga berangkat kerja. Membuat Galen benar-benar bingung. Galen mendekati Adinata yang tengah asik memperhatikan Kirana dan Nou yang bermain di lantai beralaskan karpet. Adinata memang tidak lepas kerjaan begitu saja sih, ia masih memegang laptopnya dan mengurus beberapa pekerjaannya yang penting. Galen duduk di samping Adinata membuat Adinata mau tak mau bergeser. "Tidak kerja juga?" Tanya Galen. "Ini sedang kerja, Ayah." "Tidak biasanya kamu kerjaan itu di rumah?" "Aku sedang ingin di rumah, Ayah." "Kenapa tidak dari dulu?" Adinata menoleh. "Maksudnya?" "Kenapa baru sekarang saat kamu sudah ada Kirana? Kenapa tidak dari dulu kamu lakukan itu demi Nou?" "Yah, apa sih maksud, Ayah?" "Ayah heran ya, sama kamu. Dulu, kamu itu tidak pernah lepas dari kerjaan. Apalagi kantor mu itu. Setiap hari kamu akan sibuk di kantor. "Bahkan sampai istrimu sendiri tidak betah denganmu, lalu saat Inggrid tak ada, kamu rela bawa Nou ke tempat kerjamu. Dan sekarang, saat Nou ada yang menjaga, kau malah tidak berangkat kerja?" Adinata tersadar dari semua ucapan sang ayah. Benar, dirinya nampak berubah, ia nampak lebih suka berada di dalam rumah di banding di kantor. Padahal dulu, kantor adalah segalanya bagi Adinata. Adinata melirik Kirana yang asik mengajarkan nama-nama mainan yang berwarna-warni. "Apa kamu sudah jatuh cinta pada Kirana?" Adinata tersentak dan menoleh pada Galen. "Jangan buat kesalahan untuk yang kedua kalinya, Adinata. Buatlah rumah tanggamu indah, nyaman, dan jangan pernah kamu nomor duakan keluarga mu dengan urusan kerjaan. Belajarlah dari pengalaman." Galen bangun dan bergabung dengan Kirana dan Nou. Adinata memperhatikan mereka. Ia merasa sangat hangat saat mendengar suara tawa Nou, yang semakin hari semakin ceria. Kirana yang tak pernah terlihat murung dan selalu bersemangat, ayahnya yang selalu ada untuk menasehati dirinya. Dulu, Adinata melupakan kehangatan ini, demi bisa mencapai sebuah kesuksesan. Dan saat ia sukses, ia ditinggalkan. Adinata tidak mungkin mau di tinggalkan keluarganya lagi, tidak mau. Ia akan tetap menjaga keluarga ini hingga titik darah penghabisan. Ia rela tak memiliki apa pun, asal ada keluarga di sampingnya. Kirana melirik Adinata yang sedari tadi melihat ke arahnya. Adinata tersenyum dan secara otomatis Kirana pun membalas senyum itu. Dua bulan sudah usia pernikahan mereka. Dan Nou, kini tumbuh semakin aktif.  Nou tengah rajin belajar berjalan dan Adinata pun mengajak mereka untuk pergi ke sebuah taman. Namun, Galen menolak. Ia merasa terlalu lelah jika ikut. Akhirnya yang pergi hanya Adinata, Kirana dan Nou. Adinata mengajak mereka ke sebuah taman yang luas dan penuh rumput hijau. Adinata menaruh barang bawaannya di atas rumput. Sejauh mata memandang taman itu terlihat indah dan hijau. Banyak keluarga yang membawa anak-anaknya ke sana. Bahkan beberapa sudah ada yang bermain. Adinata melihat Kirana melepas Nou dan Nou langsung merangkak tak lama ia berusaha berdiri. Kirana berteriak menyemangati. Adinata tersenyum lebar. Ia tak sabar untuk ikut bergabung. Ia memasang tikar dan menaruh bantal untuk Nou. Lalu menata makanan yang ia bawa. Setelah selesai, Adinata bergabung dengan Kirana dan Nou. "Hey, ayah ikut!" Seru Adinata. Kirana dan Nou menoleh lalu tersenyum. Adinata menggantikan posisi Kirana dan mencoba membantu Nou belajar berjalan. Kirana senang sekali melihat interaksi antar ayah dan anak itu. Mereka sangat lucu dan menggemaskan. Adinata melirik Kirana. "Ibu! Ayo, sini!" Teriak Adinata yang semakin jauh meninggalkan Kirana. Kirana yang sadar tengah melamun langsung lari mengejar mereka. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Terik matahari juga mulai meninggi. Untung saja Adinata mencari tempat yang pas, yaitu di bawah pohon. Hingga mereka tak kepanasan. Nou nampak tidur dengan nyenyak di atas bantal yang Adinata bawa. Sementara Kirana asik memandangi keluarga yang masih seru bermain lempar bola. Adinata menatap lembut punggung Kirana. Ia perlahan mendekat dan menggenggam jemari Kirana. Kirana refleks menoleh. "Seru, ya," ujar Adinata menunjuk keluarga di depan mereka. Kirana pun mengangguk canggung. Kepala Adinata di sandarkan pada pundak Kirana. Membuat jantung Kirana berdebar kencang. "Ran...." "Hmm?" "Kenapa sih, kalau depan ku, kamu gak seceria di depan Nou?" Kirana melirik Adinata. Adinata tersenyum karena jarak wajah mereka yang tak sampai sejengkal. "Kamu, kan, bukan Nou!" Jawab Kirana tegas. Adinata rasanya ingin tertawa mendengar jawaban polos Kirana. "Kalau aku Nou, apa kamu mau perlakuan aku seperti Nou?" Kirana menoleh lagi dan melotot. Saat bibirnya di kecup dengan cepat oleh Adinata. Kirana menunduk malu. "Hey, jawab?" Kirana melihat Adinata lagi dan di kecup kembali. Adinata terkekeh melihat wajah Kirana yang merah seperti kepiting rebus. "Adinata, ini tempat umum, tau!" "Tau kok, emang kenapa?" "Malu!" "Oh, kalau di rumah nggak apa-apa?" Kirana diam. Adinata mengangkat kepalanya dan menarik tubuh Kirana agar bersandar pada d**a bidangnya. Adinata pun memeluk Kirana dengan sayang. "Kamu mengubah banyak hidup ku, tau." "Mengubah?" "Iya, aku yang gila kerja, sekarang bisa santai seperti ini tanpa memikirkan pekerjaan sana sekali." "Kenapa bisa begitu?" "Hmmm... Karena aku lihat kamu dan Nou selalu seru di rumah. Tertawa, bercanda, bahkan bertengkar. Hahaha. Lucu sekali." Kirana malu sendiri, ia tak tau jika Adinata memperhatikan dirinya seperti itu. "Dan, aku benar-benar melihatmu, seperti sosok ibu kandung bagi Nou." Kirana menatap wajah Adinata yang nampak muram. Matanya menerawang jauh seperti kembali ingat sang mantan. "Ran...." "Hmmm." "Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah berfikir untuk meninggalkan aku ya." Kirana melebarkan kedua matanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kenapa?" "Karena aku takut, aku mengulang kesalahan yang sama. Apa pun yang terjadi nanti. Seperti apa pun aku nanti. Tolong, tarik aku kembali pulang dalam pelukan kamu. Kamu bisa." Adinata menatap tepat di kedua manik mata Kirana. "Apa kamu membutuhkanku, Adinata?" "Sangat." "Apa kamu...." Kirana diam. Ia nampak ragu. "Katakan?" Kirana menggeleng. "Aku mencintaimu, Kirana." Kirana tersentak. Ia bahkan tak berani menatap langsung mata Adinata. "Aku mau jujur." Kirana mengangkat kepalanya dan melihat Adinata yang serius. "Aku belum seratus persen mencintai mu, tapi, kamu banyak mengajarkan aku berbagai hal, sabar, tulus, ikhlas, semua kamu ajarkan padaku. Dan aku mau, aku seratus persen mencintaimu, kamu bisa bantu aku?" "Ba-bagaimana caranya?" "Tetap di sini, di samping ku." Kirana tersenyum dan mengusap wajah Adinata. "Ya, aku akan tetap di sampingmu, walau kamu mengusirku." "Terima kasih, Sayang. Terima kasih." Adinata mengecup lembut bibir Kirana dan memeluknya dengan erat.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN