Adinata kesal bukan main dengan tubuhnya! Ia tau, tubuhnya sangat rindu belaian wanita. Tapi, tidak seperti itu caranya! Kenapa setiap melihat Kirana ia selalu saja lupa diri.
Benar-benar tubuh sialan!
Sampai kapan ia akan seperti ini. Jika lama-lama bersama dengan Kirana, bisa-bisa ia menjebol gawang Kirana. Haduh... Bisa gawat sekali.
Kalau sampai itu terjadi dan Kirana hamil? Apa yang akan terjadi pada Nou nanti? Pastilah Kirana akan lebih sayang pada anaknya sendiri dari pada anak tirinya.
Oh, tidak! Tidak akan pernah Adinata melakukan kesalahan sefatal itu. Tidak- akan -pernah!
Ia menarik berkas di depannya dan langsung kembali fokus bekerja.
Di rumah Kirana lebih banyak melamun hingga Nou melempar mainan ke wajah sang ibu. Kirana sampai kaget dan itu membuat Nou tertawa terbahak-bahak. Galen yang melihat itu ikut tertawa karena geli sendiri melihat sang cucu tertawa.
Kirana akhirnya ikut tertawa karena melihat wajah gemas Nou. Ia cubit pipinya dengan gemas dan ia ciumi. Membuat Nou kembali memukuli kepala Kirana.
Kirana justru semakin kalap menciumi Nou hingga mereka seperti adu gulat. Galen tertawa keras melihat mereka seperti pegulat.
Hingga rambut Kirana persis seperti singa jantan.
"Oh, Nou! Rambut ibu jadi kusut," ujar Kirana ngambek.
"Amut... Pa?"
"Rambut ibu, kusut."
"Sut, Buu???"
"Iya, nih, lihat." Nou memperhatikan rambut Kirana dan kembali menariknya.
"Aduuh... Nou, sakiitt...."
"Hahahaha... Buu, Atit???"
"Iya, sakit. Lepas ya." Nou pun melepas rambut Kirana dan naik ke pangkuan Kirana. Ia memainkan jemari Kirana dan menghisap jempol Kirana.
"Eh, Nou. Jangan, kotor." Nou melihat wajah Kirana dan matanya langsung berkaca-kaca.
"Yah, jangan nangis dong. Yaudah boleh, tapi, ibu cuci tangan dulu, ya."
"Itut?"
"Hmm... Yaudah, sini." Kirana menggendong Nou dan mengajaknya ke dapur untuk cuci tangan.
Galen merasa bahagia sekali melihat keakraban keduanya. Kirana juga seperti lupa dengan ucapan Adinata dulu. Semoga saja benar lupa. Bukan memendam perasaan benci. Tapi, Galen yakin, Kirana bukanlah wanita seperti itu.
Adinata pulang agak larut malam. Semua orang di rumahnya sepertinya sudah tidur. Ia masuk ke dalam kamar dan melihat Kirana tengah tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya.
Adinata menghela nafas. Ia duduk di sisi ranjang sembari membuka kemejanya. Namun, ia tak tuntaskan itu, ia merasa sangat lelah sekali. Sampai membuka kemejanya saja rasanya enggan.
"Kamu sudah pulang?" Adinata tersentak dan langsung menoleh.
"Oh, kau bangun?"
"Hmm... Tumben pulang larut malam?"
"Aku banyak kerjaan tadi."
"Lelah ya?" Adinata diam. Tak enak ia menjawabnya. Kirana nampak bangun dan mengikat rambutnya.
"Mau ke mana?" Tanya Adinata.
"Membuatkan dirimu, teh. Teh hangat bagus untukmu." Kirana langsung pergi begitu saja. Adinata merebahkan diri begitu Kirana pergi. Ia melihat semua foto mantan istrinya.
Bagaimana Kirana bisa tidur dengan semua foto ini?
Tak lama Kirana kembali dengan secangkir teh. Ia berikan pada Adinata dan langsung di terima olehnya.
"Terima kasih." Kirana tersenyum dan duduk di samping Adinata. Kirana memperhatikan suaminya yang telah seminggu ini ia nikahi. Tidak terasa ternyata. Sudah seminggu juga papanya telah tiada.
Mendadak wajah Kirana murung. Membuat Adinata bertanya-tanya.
"Kenapa?" Tanya Adinata. Kirana menggeleng. "Ceritakan jika ada sesuatu?"
"Tidak, kok. Aku baik-baik saja." Kirana diam. Adinata diam. Mereka berdua saling diam.
"Oh ya." Tiba-tiba Kirana teringat sesuatu.
"Apa?" Tanya Adinata agak kaget.
"Nou sekarang bisa panggil aku ibu." Adinata melotot.
"Sungguh?"
"Iya, aku juga baru menyadarinya sih, bodohnya aku. Hahaha."
"Bagaimana ceritanya?"
Kirana pun mulai bercerita dari awal hingga akhirnya Nou bisa memanggil Bu. Kirana bercerita dengan sangat antusias. Semua perkembangan Nou juga di ceritakan secara detail.
Dalam hati Adinata kagum pada Kirana karena sudah benar-benar bisa mengambil hati sang anak.
"Kirana."
"Ya?"
"Kamu begitu menyayangi anakku?"
"Anakmu?" Ulang Kirana bingung. Adinata mengerutkan keningnya.
"Ya, Nou, kan anakku."
"Hahaha... Nou itu anakku juga tau, enak saja hanya anakmu."
Adinata tersenyum tanpa sadar. Ia usap kepala Kirana dengan lembut. Membuat Kirana terdiam.
"Aku sungguh berterima kasih kepadamu, Kirana." Kirana memberanikan diri menatap wajah Adinata.
Wajah seorang pria dewasa yang memilki hidung mancung, mata tajam, rahang keras, alis mata tebal. Dan rambut yang selalu tertata rapih ke belakang.
"Tampan," gumam Kirana tanpa sadar. Adinata tersentak. Wajah Kirana begitu serius menatapnya. Memperhatikan setiap lekuk wajahnya. Perlahan Adinata melihat tangan kanan Kirana terangkat seperti ingin menyentuh wajahnya.
Adinata mencoba membiarkan. Namun, saat jemari itu sampai dan merasakan kulit wajahnya, seketika Adinata menepis tangan Kirana. Juniornya berontak meminta lebih jika terlalu lama mereka berdua.
Bercinta di depan foto sang mantan istri? Adinata pasti sudah gila!
"Maaf." Adinata langsung pergi begitu saja. Kirana yang masih shock terdiam di tempatnya. Apa yang baru saja Kirana lakukan?
Sungguh tak tak malu. Wajahnya langsung memerah dan ia buru-buru naik ke ranjang dan menutup wajahnya dengan selimut.
Adinata terengah-engah di kamar mandi luar. Sial!! Juniornya benar-benar mengeras. Kirana sialan! Bagaimana Kirana bisa nampak sangat menggairahkan malam ini.
Sepertinya Adinata harus tidur di luar malam ini. Ia tak bisa dekat-dekat dengan Kirana jika seperti ini. Sungguh berat menahan gairah. Di tambah ada mangsa yang bisa kapan saja ia ajak senggama.
Mungkin orang lain akan menganggap dirinya bodoh! Tapi, Adinata tak peduli. Ia ingin setia pada istrinya. Walau sudah menjadi mantan istri. Ia masih belum tau kabar mantan istrinya. Ia harap Inggrid juga masih mau rujuk dengannya. Kembali dengannya. Ia masih berharap.
Adinata masuk ke dalam kamar tamu dan tidur di sana. Ia tak mau tidur dengan Kirana dulu. Ia tak siap.
Pagi-pagi ponsel Kirana berdering. Dengan malas ia lihat ponselnya dan tertera nama Aiden di sana. Kirana langsung tersenyum senang.
"Pagi, hon?" Suara Aiden nampak ceria di seberang sana.
"Ini masih pagi dan kau menghubungi ku?" Tanya Kirana sok ngambek.
"Sorry, hon. Kamu senggang hari ini?"
"Kenapa?"
"Aku mau ajak kamu jalan."
"Tapi, aku harus mengurus Nou."
"Bayi itu?"
"Dia bukan bayi lagi, tau."
"Yah, apalah itu. Kenapa kamu merawatnya?"
"Ya, karena ia anakku."
"Oh, kau ini kelamaan jomblo. Babysitter saja mengaku ibu anak itu, tidak mirip tau." Kirana terkekeh.
"Jadi, bisa kita pergi hari ini?" Tanya Aiden memastikan.
"Memang kamu tidak kerja?"
"Hey, kamu meremehkan direktur macam aku?"
"Direktur? Iya-ya, percaya saja."
"Aku serius. Aku ini direktur tau."
"Iya, bawel. Aku tau."
"Jadi?"
"Kalau kamu tidak keberatan aku membawa anakku."
"Its oke, tak masalah. Kita akan terlihat seperti keluarga bahagia nanti."
"Hahaha ada-ada saja kau ini."
"Bersiaplah, nona."
"Nyonya lebih tepatnya."
"Ah, bawel. Nyonya Aiden."
"Hey!!"
"Hahaha baiklah, aku ke rumah mu nanti siang."
"Aku tidak tinggal di sana lagi."
"Loh, sejak kapan?"
"Sejak papaku meninggal." Kirana kembali murung setiap kali ingat itu.
Aiden tau Ibrahim telah meninggal. Tapi, ia tak tahu jika Kirana tidak tinggal di sana lagi.
"Lalu kau tinggal di mana?"
"Rumah baby Nou."
"Oh, tidak. Aku akan bertemu kembali dengan kakek menyebalkan itu?" Kirana kembali terkekeh.
"Dia ayahku sekarang."
"Sial. Dia terlalu posesif kau tau."
"Hahaha tidak juga." Aiden mendadak terdiam. Ia ingat jika Galen adalah kakek dari Nou. Dan ayah Nou adalah calon suami Kirana. Tunggu dulu....
"Kirana?"
"Ya?"
"Apa sekarang kamu menyandang status baru?"
"Ya."
"Kau sungguh ibu dari Nou?"
"Ya."
"Kau sudah menikah???"
"Ya."
"Oh, sial!!!"
Kirana tertawa kencang membayangkan ekspresi Aiden saat ini. Ia pasti kesal bukan main. Tapi, mau bagaimana lagi. Kirana harus jujur pada semua orang jika ia sudah menikah kan?