BAB 4

807 Kata
Adinata bengong karena ia harus rela membawa tas perlengkapan Nou. Sementara Nou di gendong oleh Kirana. Ini orang tuanya siapa sih? Kenapa setiap ada Kirana, Nou jadi jauh dari ayahnya. Kirana pakai pelet mungkin. Adinata terus aja menggerutu. "Kak, fotoin dong!" Pinta Kirana sembari menyerahkan ponselnya. Adinata melongo. Sekarang Kirana udah berani main perintah? Tapi, begitu melihat anaknya antusias di depan gajah. Adinata pun langsung memfoto tanpa sadar. "Makasih, Kak!" Kirana langsung pergi setelah mengambil ponselnya. "Adek mau lihat apa lagi? Jerapah? Iya? Okeee!!!" Kirana mengajak Nou berlari. Hingga Nou tertawa terbahak-bahak. Adinata semakin dibuat melongo. Anaknya tidak pernah tertawa seperti itu. Tertawa lepas dan ceria. Nou, ia terlihat indah. **** Adinata melirik Kirana yang nampak lelah menggendong Nou yang tertidur. Tapi, ia tak mengeluh sama sekali. Ia bahkan tak meminta tolong pada Adinata untuk gantian menggendong. Setulus itukah Kirana? Padahal Nou bukanlah anaknya. "Ma-mau gantian?" Adinata agak bingung bilangnya. Tapi, akhirnya terucap juga kalimat itu. Kirana melirik Adinata. "Kamu juga berat, bawa tas banyak." "Nggak apa-apa." Kirana nampak memikirkan sejenak. Lalu ia pun memberikan Nou. Namun, saat sedikit lagi sampai dalam dekapan Adinata. Kirana membatalkannya. "Jangan deh, biarin aja. Takut kebangun, kasihan." Kirana langsung berjalan lebih dulu. Adinata melongo. Itu anakku, loh. ***** Sesampainya di apartemen Adinata. Kirana langsung merebahkan si kecil di kamarnya. Kirana merasa lega luar biasa karena tubuhnya kembali ringan. Nou itu kecil. Tapi, kalau kelamaan di gendong berat juga. "Capek ya?" Tanya Adinata yang masuk ke dalam kamar Nou. Kirana mengangguk malu. "Istirahatlah, aku sudah buatkan air minum untukmu." Kirana berterima kasih dan hendak keluar. "Kirana." Kirana menoleh. "Ya?" "Terima kasih." Kirana tersenyum canggung. Ia pun keluar dari kamar Nou. Kirana duduk bersama dengan Galen. Galen pun langsung menawarkan air minum pada Kirana. "Ayo di minum, jangan malu ya, anggap rumah sendiri." Kirana pun mengangguk canggung dan mengambil minumnya. Ia merasa haus sekali. Ia dengan cepat meneguk minumnya hingga tandas. Galen terkekeh melihat Kirana. "Haus banget ya?" "Iya, Om." "Makanya kalau om, mah, nggak sanggup deh jalan kaki begitu mengelilingi kebun binatang. Bisa hancur badan om nanti." Kirana dan Galen tertawa. Adinata melihat itu semua. Sikap Kirana yang tak canggung pada Galen dan nampak santai di rumahnya. Entah kenapa membuat hatinya tenang untuk melangkah lebih jauh dengan Kirana. "Ehem!" Adinata berdehem membuat Kirana dan Galen menoleh. "Boleh gabung?" Tanya Adinata. Galen tersenyum senang. Kirana mengangguk. Adinata pun duduk di tengah-tengah mereka. Dan mengambil air minum. Ia teguk sebentar. "Sekali lagi, terima kasih ya, Kirana." "Iya, kak. Sama-sama. Tidak usah sungkan seperti itu. Aku sendiri senang, kok, main sama Nou." "Syukurlah kalau begitu." Hening. Hingga akhirnya Adinata kembali membuka suara. "Kirana, kamu mau menikah dengan saya?" Kirana dan Galen tersentak. "A-apa?" "Menikah, menjadi ibu Nou, mau?"ulang Adinata lebih jelas. Kirana nampak bingung. Malu dan sebagainya. "Ehm... Sa-saya... Ehm...." "Kata papa mu, kamu bersedia kan?" Kirana langsung melotot tak percaya. Ia menatap Galen. Galen nyengir. "I-itu... Itu...." "Demi, Nou. Mau ya?" Astaga... Adinata bahkan sampai memohon. Ini sungguhan? "Biarkan Kirana memikirkannya dulu, Adinata." "Tapi, Yah. Bukankah pak Ibrahim sendiri yang bilang kalau...." Adinata menghentikan ucapannya saat melihat Kirana menunduk. "Ki-kirana... Saya...." "Iya, saya memang menyetujui pernikahan ini." Kinara menatap Adinata. "Saya terima lamarannya." Adinata langsung tersenyum lebar. "Sungguh? Kamu mau jadi ibu Nou? Mau merawat Nou? Mau menjadi sahabat Nou? Menyayanginya? Mencintainya??" Adinata bertanya bertubi-tubi. "Ya, saya mau." "Ya Tuhan! Akhirnya Nou bisa merasakan kasih sayang seorang ibu." Adinata menatap Kirana. "Terima kasih," ucapnya tulus. Kirana tersenyum haru. Ia mengangguk. ***** Kirana di antar oleh Adinata. Sepanjang jalan mereka hanya saling diam. Adinata bahkan tak meliriknya sama sekali. Padahal 30 menit yang lalu, ia telah melamarnya. Beginikah rasanya setelah di lamar? Hingga mereka sampai di depan rumah Kinara pun, masih tak ada percakapan. "Terima kasih sudah mengantar." Kirana turun setelah melepas sabuk pengaman. Saat hendak menjulurkan kaki ke bawah. Lengan Kinara di tahan oleh Adinata. "Tunggu." Kinara menoleh. "Ya?" "Kamu tidak keberatan kan? Menikah dengan saya?" Tanya Adinata seperti memastikan. Kirana tersenyum. "Tidak, kok." Adinata tersenyum lega. Ia pun melepas pegangannya pada Kirana. Kirana pamit dan masuk ke dalam rumah. Adinata pun tak lama-lama di sana. Ia langsung menjalankan mobilnya dan pergi dari rumah Kirana. ,**** Sepulang dari mengantar Kirana. Adinata langsung merebahkan diri di kamarnya. Ia bahkan tak perlu repot melihat ayahnya sudah tidur atau belum. Ia hanya lelah dan merasa terbebani. Apakah nanti setelah menikah dengan Kirana. Ia akan tetap bersikap baik pada Nou. Apakah nanti Kirana tidak akan menuntut apa pun darinya? Bagaimana jika nanti Kirana meminta berhubungan s*x dengannya? Apakah ia tolak? Atau justru ia layani. Sekalian menuntaskan birahinya yang selalu ia tahan? Ya Tuhan... Kenapa seperti ini sih hidupnya. Padahal ia hanya ingin hidup damai dengan putrinya. Sudah cukup. Tapi kenyataannya, Nou tidak hanya membutuhkan dirinya saja. Nou sangat membutuhkan sosok perempuan. Sosok ibu. Baiklah Nou. Demi kamu, Ayah rela menikahi Tante Kirana. Gumam Adinata. Ia pun memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN