BAB 7

1128 Kata
Adinata dan Kirana menyadari kesalahan mereka. Adinata langsung memalingkan wajahnya dan meminta maaf. Ia hendak melangkah pergi, namun, Kirana menahan lengan Adinata. Membuat jantung Adinata semakin tak karuan. "Apa?" Tanya Adinata. "Kamu menciumku, apa artinya?" Sial! Kenapa juga Kirana bertanya seperti itu. Tentu saja karena nasfu, apa lagi? Cinta? Enggaklah! Adinata mencoba menormalkan dirinya. Ia menghadap Kirana. Ia usap wajah Kirana dengan lembut. "Kamu calon istriku, kan? Apa aku tidak boleh menciummu?" Kirana tersenyum kecil. Sangat kecil. Namun, bisa di tangkap oleh Adinata. "Terima kasih." Adinata melebarkan kedua matanya. "Untuk?" "Untuk pernikahan ini, aku tidak tau apakah ada cinta atau tidak di antara kita. Tapi, dengan kamu memberikan aku sebuah ciuman. Aku tau, suatu saat hubunga kita akan semakin dekat." Adinata menarik nafas dalam. Ia hembuskan perlahan. Ia angkat tangannya dan dengan canggung ia taruh di puncak kepala Kirana. "Semoga," ucap Adinata. Ia lantas usap kepala itu sejenak dan melangkah keluar. Di apartement. Adinata mengurung diri di kamar. Ia meminta Galen untuk menemani Nou sejenak hingga hatinya tenang. Adinata menatap langit-langit kamarnya. Di mana terdapat lampu kristal yang menggantung indah. Lampu yang di pilih oleh Inggrid. Ia begitu mencintai benda-benda berbau kristal. Inggrid yang cantik, tinggi, langsing, seksi, dan sangat elegan. Tutur bahasa yang baik. Sopan. Dan yang paling Adinata suka adalah manjanya. Ia sangat manja. Seakan-akan, Inggrid tidak bisa apa-apa tanpa dirinya. Ia selalu merengek ingin ini dan itu. Selalu duduk di pangkuannya. Memeluknya dan mengalungkan kedua tangannya di leher. Lalu Inggrid akan menariknya dan mengecup bibirnya. Air mata Adinata mengalir. Ia usap dengan malas. Ia rindu istrinya. Ia rindu belaian kasih sayangnya. Kenapa Inggrid? Kenapa kamu pergi dari sisiku... Kembalilah Inggrid... Aku tidak mau mencintai wanita lain. Aku hanya ingin kamu.... Adinata meringkuk. Menahan gejolak di hatinya. Ia laki-laki, sudah menjadi ayah. Tapi cengeng. Ya, Adinata cengeng setiap kali berurusan dengan Inggrid. Mantan istrinya. Hingga Adinata tertidur. Ia tertidur dalam buaian mimpi sang mantan. Kirana tak berhenti menatap cincin di tangannya. Cincin yang cantik. Kirana tak sangka, jika Adinata sampai rela mengeluarkan uang untuk membeli cincin cantik ini. Pastilah tak murah.data-media-Cincin dengan permata warna merah. Biasanya di sebut rose gold engagement ring women. Harganya sekitar 605usd atau setara Rp.8.470.000,' Kenapa Adinata membelikan ia cincin semahal ini. Padahal tidak ada cinta. Kirana sebagai wanita tentu saja jadi galau. Wanita itu mudah sekali diambil hatinya. Apalagi ciuman pertamanya di ambil oleh calon suaminya. Oh... Astaga! Wajah Kirana memerah menahan malu. Ia tak sanggup menahan senyumnya. Rasa manis dan panas di bibirnya masih terasa. Bahkan harum nafas Adinata masih tertinggal di hidungnya. Kirana menggigit bibir bawahnya. Ia ingin lagi. Rasanya enak dan memabukkan. Rasa malu bahkan hilang saat ia menerima dan membalas ciuman Adinata. Mungkin, karena duda. Hingga ciumannya sangat panas dan penuh tekanan. Seperti rindu, menuntaskan rasa rindu. Walau Kirana tak paham. Rindu itu ditujukan untuk siapa. Gairahnya? Atau mantan istrinya? Ibrahim terbangun di jam 2 malam. Ia merasa dadanya sesak. Ia mencoba menenangkan diri. Namun, semakin lama, sesak itu justru semakin terasa. Dadanya sakit luar biasa. "Raaaaann...." Lemah suaranya tak mampu membuat Kirana yang berada di kamar mendengar suaranya. "Raaannn... Tolooongg... Pa... ah...." Ibrahim kebingungan. Ia panik karena mulai kesulitan bernafas. Tangannya mulai menggapai apa pun yang bisa menimbulkan suara berisik. Dan untunglah ada gelas berisi air minum di samping tempat tidurnya. Ia gapai itu hingga gelas jatuh dan pecah. Prankkk!!!! Kirana tersentak. "Papah!!!" Kirana langsung lompat hingga kepalanya terbentur tembok. Ia tak peduli dengan rasa sakit di kepalanya. Ia membuka pintu dan lari ke kamar sang Papa. Ia buka dengan cepat dan kaget melihat papa tengah terengah-engah mencari udara. Tangannya bahkan sampai meremas dadanya dengan kuat. Kedua matanya melotot. Berusaha melirik Kirana. Kirana lemas. Namun, tak hilang akal. Ia langsung menelpon ambulans dan juga Adinata. Ia tak tau kenapa ia bisa berfikir Adinata disaat genting seperti ini. Setelah menelpon Kirana langsung berusaha menenangkan sang papa. "Kirana di sini. Jangan takut, Papa. Kirana di sini. Sebentar lagi ambulans datang, Papa. Sabar, Papa. Kuatlah, Kirana mohon." Air matanya menetes dengan derasnya. "Kik ... Ra...na...." "Ya, ini Kirana, Papa." "Ma...af... Pa...pa... Tidak...." "Stop! Berhenti bicara, Pah. Simpan tenaga, Papa, ya. Kirana mohon...." "Raaann...." "Berhentilah bicara, Papa. Kuatlah... Jangan berpikir Papa akan meninggalkan Kirana. Kirana akan sangat marah!" Kirana mulai panik luar biasa. Ia tak bisa menahan perasaan pedihnya. Ini persis seperti ibunya beberapa tahun lalu. Meninggalkan dirinya dalam pangkuan Kinara. Tidak lagi Tuhan... Tidak lagi.... Adinata yang mendapat telepon secara mendadak langsung kaget. Ia melirik jam dinding. Jam 2 dini hari. Kirana pasti kebingungan sendirian di sana. Ia langsung bangun dan mengganti pakaiannya. Ia keluar dan melihat sang anak tengah tidur dengan Galen. "Ayah ...." Panggil Adinata pelan. Galen mulai terusik dan membuka matanya. "Adinata? Ada apa?" Galen melirik Nou yang masih tidur dengan tenang. "Ada yang mau Adinata bicarakan, Yah." Galen mengangguk. Ia turun dari ranjang perlahan. Dan ikut keluar bersama Adinata. Mereka duduk di ruang makan. Adinata mencoba mengatur perasaannya. Menatap Galen yang menunggu dengan mata yang masih mengantuk. "Kirana menelepon." Galen langsung tersentak. Entah kenapa ia langsung memiliki firasat buruk. "Ibrahim! Ada apa dengannya??" Adinata tau, ayahnya pasti paham jika membahas Kirana tengah malam. "Kirana butuh, Ayah." "Astaga! Tentu saja! Ayah akan segera ke sana. Kau jagalah Nou. Ayah bersiap." Adinata langsung menahan lengan Galen. Membuat langkah Galen terhenti. "Biar aku saja. Aku titip Nou." Adinata tak menunggu Galen menjawab. Ia langsung pergi begitu saja. Galen terduduk di kursi dengan lemas. Ia tak bisa memaksakan kehendaknya. Mungkin ini yang terbaik. Biarlah anaknya yang menenangkan Kirana. Ibrahim... Maafkan aku. Adinata sampai di rumah Kirana dan langsung mengetuk pintu. Kirana membuka pintu dengan wajah sembab. "Bagaimana keadaan, Om?" "Tolong... Bawa papa ku ke rumah sakit. Aku mohon." Adinata mengusap kepala Kirana dan langsung masuk ke dalam. Mencari Ibrahim yang terbaring lemah. Ia nampak tak bergerak. Adinata menatap Kirana bingung. "Om???" "Papa pingsan. Aku periksa nadinya masih berdetak. Aku mohon, selamatkan nyawa papaku." Adinata mengangguk dan membopong tubuh renta Ibrahim. Ia masukan ke dalam mobil di susul Kirana. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Kirana hanya diam. Ia bahkan sudah tak menangis. Tapi, melihat wajah Kirana, Adinata tau, Kirana sangat terpukul. Ia shock. Depresi. Seperti itu yang Adinata lihat. "Jangan diam saja. Setidaknya berdoalah untuk papa mu." Kirana melirik Adinata dan mengangguk. Hingga mereka sampai di rumah sakit. Ibrahim langsung masuk ruang unit gawat darurat. Adinata memperhatikan Kirana yang diam seperti patung di depan pintu UGD. Tak menangis, tak bergerak, tak bicara. Hanya diam dengan tatapan mata kosong. Adinata yang baru duduk langsung kembali berdiri. Kirana bahkan tak menyadari jika Adinata ada di sampingnya. "Nangis aja kalau mau nangis." Kirana diam. Tubuhnya mulai bergetar. Adinata menarik nafas dalam. Ia rengkuh tubuh Kirana dan ia peluk. Saat itulah akhirnya tangisan Kirana terdengar. Adinata mengusap punggung Kirana agar ia lebih tenang. "Aku di sini. Bersamamu. Jangan takut ya." Kirana mengangguk sedikit lega.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN