Chapter 6 - Warung

534 Kata
Tapi aku sendiri sudah bener-bener eneg dengan rentetan kejadian brengsekk sejak kemarin. Aku mencoba untuk meredakan kekesalanku yang entah aku tujukan kepada siapa dan berjalan ke warung untuk membeli sebungkus rokok. Aku lalu menyalakannya sebatang dan menghisapnya dengan tenang. Ini kebiasan buruk ya gaess, jangan ditiru. Kebiasaan buruk yang sudah aku lakukan sejak SMP. Mungkin semua itu kulakukan karena tak ada seorang Ibu yang menegurku, kalau Bapak sendiri, dia tak pernah mengurusi soal itu. “Nggak sekolah An?” tanya Mbak Aminah si pemilik warung saat aku membayar rokok yang kubeli. “Tadi pagi telat Mbak, mana motor mogok lagi,” jawabku. “Oooooo,” kata Mbak Aminah sambil menganggukkan kepalanya. Mbak Aminah ini berumur sekitar 35 tahunan, tapi mungkin karena rajin ikut senam, tubuhnya tetap ideal. Dia menjaga warung kelontongnya yang ada di rumah, sedangkan Faisal, suaminya, menunggui kedainya yang ada di kota Kecamatan. Mbak Yanti dan Mbak Aminah, adalah dua orang wanita yang mungkin jadi bahan imajinasi pemuda kampung di sekitaran lingkungan rumahku. Selain mereka berdua, isinya hanya emak-emak gembrot semua. Wkwkwkwkwk. Saat aku menunduk untuk mengambil uang di saku dompetku, tanpa sengaja aku melihat belahan baju sebelah atas Mbak Aminah yang duduk di mejanya. Biasanya dia memang melayani pembeli sambil duduk saja di mejanya. Ada seorang karyawan yang nanti akan berjalan ke sana ke mari untuk melayani pembeli dan mengambilkan barang. Mbak Aminah sering memakai kaos longgar yang menampakkan bagian atas tubuhnya. Apalagi ketika kita berdiri di depannya, pasti pandangan mata kita langsung bebas melihat makin dalam ke sesuatu miliknya. Aku tidak tahu apakah dia dengan sengaja melakukannya atau tidak. Tentu saja, bagi kami, pemuda kampung yang masih dipenuhi khayalan-khayalan kotornya, itu adalah salah satu alasan penting untuk berbelanja disini. Atau jangan-jangan memang Mbak Aminah menggunakan trik itu untuk marketing terselubung ya kan? Kan memang banyak warung yang menggunakan daya tarik kecantikan pemiliknya untuk menarik pelanggan. Ish, apa sih, malah ngelantur. ‘Gila, keliatannya punya Aan dah mulai tumbuh, dari luar celananya aja udah keliatan segitu.’ Aku terkejut luar biasa ketika mendengar suara bisikan itu lagi. Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arah Mbak Aminah, tapi aku sama sekali tidak melihat dia membuka mulutnya atau mencoba mengatakan sesuatu. Lalu dari mana suara yang barusan kudengar itu berasal? Aku justru hanya melihat Mbak Aminah tanpa berkedip menatap ke arah celana abu-abuku yang memang sudah menonjol karena terangsang oleh pemandangan di depanku saat ini. Tangan kanan Mbak Aminah juga terlihat turun ke bawah meja dan membuat gerakan naik turun ke atas bawah. Saat itulah aku tahu kalau kalau dia sedang melakukan sesuatu di bawah meja sana. Tapi suara Mbak Aminah yang kudengar tadi, apa itu? Tiba-tiba, timbul niat jahil dalam hatiku untuk mengerjai Mbak Aminah. Aku berpura-pura kesusahan untuk menyalakan korek api, lalu aku melihat ke arah Mbak Aminah dan memberikan korek di tanganku ke dia, “Mbak, koreknya rusak ni, pinjem yang lain dong.” “Eh iya,” jawab Mbak Aminah, sedikit gugup. Saat kami saling bertatapan mata tadi, aku bisa melihat mata sayu disana. Berarti suara-suara tadi itu benar? Tapi apa itu? Aku makin penasaran saja. Saat Mbak Aminah memutar badannya dan menyibakkan rambutnya untuk mengambilkan korek yang baru, aku menunggunya untuk memutar badan dengan tangan kiri berada di pinggang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN