Bab 8: Tembok Es Yang Sempat Mencair

1129 Kata
Rupanya, ide kencan dadakan dari Harris cukup membuat hubungannya dengan Rayya sedikit membaik. Perlahan tembok es yang menjadi sekat diantara mereka berdua mencair. Bahkan Rayya sudah mau menerima Harris dan tidur satu kamar. Meski tidak terjadi apa-apa, tapi berada di dekat Rayya membuat pria itu cukup tenang. Pagi itu, Rayya keluar dari kamar bersamaan dengan Harris yang sudah siap dengan setelan jas untuk berangkat ke kantor. “Kamu hari ini mau kemana?” tanya Harris seraya melangkah menuju meja makan. “Nggak ada rencana sih, Mas. Kayaknya aku di rumah aja.” Harris mendadak menghentikan langkahnya berbalik badan menatap Rayya. “Kalau gitu nanti sore aku boleh minta bikinin makan malam?” Rayya terlihat ragu menjawab. “Kamu udah lama nggak masak, aku udah kangen masakan buatan kamu.” Rayya tahu kalau ini bagian dari usaha Harris untuk membuat Rayya memaafkan perbuatannya. Beberapa hari yang lalu Harris sudah berhasil membujuknya dengan alasan rindu kopi buatan Rayya sekarang pria itu beralasan rindu masakannya. Semenjak kedatangan Nadya, Rayya tidak lagi menyentuh dapur. Terlebih setelah Rayya mendengar percakapan terakhir antara ibu mertuanya dan Nadya yang mengatakan mau belajar memasak untuk mendapatkan hati Mas Harris. Bukannya Rayya tidak mau ‘berkompetisi’, Rayya hanya malas jika berada dalam satu ruangan dan itu sudah pasti akan menguras energinya. Maka dari itu Rayya lebih memilih untuk mengalah. “Kalau kamu keberatan, aku nggak akan maksa kok.” Suara Harris terdengar sendu. Rayya menggigit bibir bawahnya pelan sementara hatinya dipaksa untuk cepat mengambil keputusan. “Kamu mau aku masakin apa, Mas?” “Hmm, apa ya? Apa aja pokoknya selama kamu yang masak.” Rayya mengangguk pelan. Saat mereka sudah memasuki ruang makan, terlihat tidak ada siapa-siapa. Makanan di meja pun belum disediakan. Padahal biasanya Nadya dan Herlina sudah sama-sama sibuk di dapur. “Loh pada kemana?” tanya Harris bingung. Rayya menggelengkan kepala kebingungan lalu ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih. Tepat saat itu, Herlina muncul menuruni tangga dengan wajah lesu. Satu-satunya kamar yang terisi di lantai dua rumah ini hanyalah kamar Nadya. “Ada apa, Ma?” Nada suara Harris terdengar khawatir. Sementara Rayya hanya diam di samping suaminya. “Nadya lagi nggak enak badan jadi nggak bisa ikut turun.” “Nadya sakit? Apa yang dia rasain?” “Lemas dan pusing katanya.” “Tadi malam ketemu dia kelihatannya baik-baik saja.” “Kamu mungkin nggak begitu memperhatikan kesehatan Nadya belakangan ini dan kamu juga nggak nengokin Nadya lagi kan?” Herlina mendelik ke arah Rayya sekilas. Seolah tidak senang beberapa hari belakangan Harris tidur di kamar Rayya. Rayya menatap balik mata ibu mertuanya dengan salah satu alis yang terangkat. ‘Aku ini kan istrinya Mas Harris. Yang Sah. Apa salahnya jika kami kembali tidur bersama?’ “Mama ngeliat dia agak murung terus belakangan ini. Kamu coba yang samperin dan bujuk Nadya. Siapa tahu kalau kamu yang datang langsung dia mau turun. Kasihan masa nggak sarapan.” Terdengar nada kekhawatiran dari suara Herlina yang cukup membuat Rayya meringis dan setengah iri kenapa dirinya tidak mendapat perlakuan yang sama saat dulu sakit. Harris menoleh dan menatap Rayya. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran tapi juga ada keraguan. Sekali lagi, rasanya hati Rayya kembali teriris. “Temuilah Nadya. Biar aku yang buat sarapan.” Rayya menyunggingkan senyum terpaksa. Harris mengangguk singkat kemudian berlalu. Sementara Rayya juga langsung bergegas menuju dapur karena tak ingin berlama-lama berada dalam situasi canggung bersama ibu mertua yang sudah menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya. Sudah lima belas menit Harris belum juga muncul. Sedikit lebih lama dari dugaaan Rayya. Wanita itu sudah duduk di salah satu bangku dengan sarapan yang sudah terhidang lengkap dengan kopi untuk suaminya. “Apa Mama bilang, pasti Nadya akan luluh kalau kamu yang minta.” Herlina melebarkan senyumnya melihat kedatangan Harris yang merangkul Nadya sembari menuruni anak tangga. Rayya menulikan telinganya. Pandangannya tertuju pada sosok Nadya yang terlihat pucat pada wajahnya. ‘Kelihatannya Nadya benar sakit,’ batin Rayya. Semula Rayya pikir ini hanyalah akal-akalan Nadya untuk mendapat perhatian Harris yang sudah beberapa hari belakangan ini tampak memang mengacuhkan Nadya. “Kamu sudah baikan?” tanya Herlina lagi. Nadya menggelengkan kepalanya pelan. “Aku sebenarnya sedang nggak nafsu makan, tapi karena Mas Harris yang membujuk, aku tidak bisa menolak.” “Sebaiknya kamu makan. Jangan biarkan perutmu dalam keadaan kosong.” Nadya melihat menu sarapan yang ada di hadapannya dengan tatapan yang tidak berselera. Hanya ada french toast yang ditaburi dengan cinnamon powder dan satu gelas s**u segar di sebelahnya. “Rayya yang membuatkan sarapan. Kalau kamu tidak berselera dengan menu sarapannya, katakan kamu mau makan apa? Nanti biar Mama buatkan atau belikan.” ujar Herlina dari sebelah. Nadya menggeleng kepalanya lemas. “Nggak usah, Ma. Terima kasih. Aku makan yang disediakan aja. Lagipula Mbak Rayya kan udah capek-capek bikin ini.” Ingin rasanya Rayya mendengus kasar di depan dua orang wanita bermuka dua di hadapannya ini tapi ditahan. Tangan Nadya mulai memotong french toast menjadi ukuran lebih kecil dan ketika ia menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya, Nadya mendadak mual-mual. “Nadya? Kamu kenapa?” tanya Herlina panik langsung berdiri dan menghampiri wanita yang masih membekap mulutnya rapat dengan tangannya. “Aku nggak tau, Ma. Kayaknya mual banget.” Harris menyodorkan gelas berisi air mineral kepada Nayda. “Ini minum dulu.” Nayda menerimanya lemas dan meminum air mineral pemberian Harris dengan susah payah. “Aku buatkan teh hangat.” Rayya bangkit dan melesat menuju dapur. “Sudah lebih baik?” tanya Harris lagi, matanya intens memperhatikan Nadya yang wajahnya masih pucat pasi. Perlahan Nadya menganggukan kepalanya. Namun, dahinya kembali mengernyit lalu kembali mual. Tiba-tiba, Herlina menjauhkan piring Nadya sejauh mungkin. “Nadya, bulan ini kamu sudah datang bulan belum?” Nadya sontak menoleh dan tatapannya bersiborok dengan ibu mertuanya. “Sebenarnya sudah lewat beberapa hari.” Seulas senyum terbit dari bibir Herlina dan perlahan melebar. “Kamu pasti hamil kan?” Nadya tampak tidak terkejut, malahan seolah dirinya sudah mengetahui fakta itu. “Sebenarnya… Aku melakukan tes kehamilan pagi tadi, Ma.” “Lalu hasilnya?” Mata Herlina semakin berbinar-binar. Perlahan Nadya mengulum senyum kemudian mengangguk malu-malu. Diiringi dengan pekikan kegembiraan dari Herlina dan langsung memeluk Nadya erat. “Kenapa kamu nggak langsung kasih tahu Mama?” “Inginnya begitu. Tapi ternyata aku malah muntah-muntah dan mendadak lemas pagi tadi. Kalau aja Mas Harris nggak datang ke kamar dan bujuk aku, mungkin saat ini aku masih di kamar karena nggak bisa bangun.” Nadya menatap Harris dengan tatapan penuh cinta. “Mama sudah tahu kalau kamu pasti hamil. Terima kasih, Nadya. Terima kasih karena sudah mewujudkan permintaan Mama selama ini.” Sementara itu, Rayya hanya bisa mematung melihat Harris memberikan perhatian yang penuh kepada Nadya setelah wanita itu mengumumkan berita kehamilan. ‘Kenapa? Kenapa Nadya bisa secepat itu hamil? Sedangkan aku…’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN