Bab 11: Wanita Bermuka Dua

1241 Kata
Pintu kamar Rayya diketuk. Sejak Nadya hamil, Harris sudah hampir setiap hari tidur bersama wanita itu di kamar hanya untuk menemaninya. Rayya yang sudah biasa dihadapi situasi yang mengecewakannya pun akhirnya memilih untuk tidak berkomentar. Sekeras tenaga ia untuk mencoba menyakinkan diri bahwa semakin cepat waktu berjalan, semakin cepat pula ini semua akan berakhir. Baik Harris maupun Rayya berada dalam misi yang sama. “Rayya, aku boleh minta tolong?” “Boleh, Mas. Ada apa?” tanya Rayya ragu-ragu. “Tolong samper Nadya di kamarnya dan ajak dia sarapan. Tadi pagi dia muntah-muntah lagi dan sekarang kondisinya lemas. Aku khawatir dia belum bisa turun tangga. Aku sudah minta dia tidak turun dari ranjang, tapi dia bersikeras mau sarapan bersama.” “Oh… itu…” Rayya menggantungkan kalimatnya karena suaranya tercekat. “Mama lagi nyiapin sarapan untuk Nadya, sedangkan aku harus telpon orang kantor dulu untuk memastikan proyek berjalan lancar siang ini.” Rayya menarik panas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Cepat atau lambat dirinya harus mulai terbiasa dengan hal ini. “Baiklah.” “Terima kasih ya, Sayang.” Harris mengecup singkat kening Rayya sebelum berlalu. Rayya melangkahkan kakinya menuju tangga dengan bentuk melingkar yang ada di tengah rumah. Dari sini Rayya bisa melihat Herlina tengah berkutat dengan bubur ayam buatannya. Di lantai dua rumah keluarga Harris mempunyai luas yang sama dengan lantai dasar dan ada dua kamar utama, salah satu diantaranya memiliki kamar mandi di dalamnya yang sekarang ditempati oleh Nadya. Ada juga televisi yang dilengkapi sofa dua seater dan satu kamar mandi. Jika di lantai satu ada taman belakang kecil untuk bersantai. Di lantai ada balkon yang dilengkapi dengan sofa juga untuk sekedar bersantai memandangi sunset. Pintu kamar Nadya tertutup rapat. Sebelum mengetuk pintu, Rayya menarik napas panjang dan mengatur raut wajahnya. “Nadya?” Rayya memanggilnya. “Mbak Rayya?” panggil Nadya dari dalam kamar. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan muncul Nadya mengenakan pakaian terusan berwarna biru yang menampilkan lengannya yang putih. Wajahnya masih sedikit pucat. “Mas Harris tadi memintaku untuk menjemputmu di kamar. Dia khawatir kamu masih belum bisa turun tangga sendirian.” “Mas Harris kemana, Mbak?” “Ada yang harus diurus sebentar soal kerjaan. Kalau Mama masih sibuk di dapur lagi buatin kamu bubur.” Nadya hanya ber-oh ria. Raut wajahnya menunjukkan rasa kecewa. “Gimana keadaanmu? Masih lemas?” tanya Rayya lagi. “Sudah lebih baik. Cuma tadi pagi aku muntah-muntah lagi aja. Kata dokter itu morning sickness namanya. Hal yang biasa kalau lagi hamil muda begini,” jelas Nadya. Rayya mengulas senyum. ‘Meski belum hamil, aku juga sudah tau soal itu.’ Rayya hanya bisa menyahut dari dalam hati saja. Entah kenapa dirinya lebih memilih untuk menghindari segala bentuk pertikaian demi kesehatan mentalnya. “Mbak Rayya, aku boleh bertanya sesuatu?” “Silakan.” “Apa Mbak Rayya ada rasa iri terhadap kehamilanku?” Rayya tidak langsung menjawab. Matanya fokus menatap raut wajah Nadya dan menebak-nebak apa yang mendasari wanita itu bertanya demikian kepada dirinya. “Aku turut senang atas kehamilanmu. Semoga kamu sehat-sehat sampai persalinan ya.” Rayya tersenyum datar. ‘Dan pada akhirnya penantiannya pun berakhir.’ Rayya melanjutkan tanpa bersuara. Sementara Nadya diam-diam tersenyum culas. Mereka pun akhirnya berjalan menuju tangga, Rayya membiarkan Nadya melingkarkan tangan pada lengannya dan menuruni tangga lambat-lambat. “Kalau aku jadi Mbak Rayya, aku akan melepaskan suamiku yang sudah menghamili perempuan lain.” Rayya menoleh. Tidak sepenuhnya terkejut dengan perubahan sikap Nadya. “Kalau aku jadi kamu, aku nggak akan mau menjadi yang kedua dari pria yang sudah beristri.” Nadya mengangkat dagunya. “Seharusnya kamu sadar diri. Kalau saja kamu bisa hamil, ibu mertuamu nggak akan ambil pilihan menikahkan anaknya sama wanita lain yang nggak mandul sepertimu. Dan sekarang kamu malah bersikap sok suci menerima kehadiranku?” Mata Rayya berkilat tajam dan rahangnya mengeras. Namun, Rayya masih bisa mengulas senyumnya. “Kamu pikir aku yang mau bertahan selama ini? Itu semua karena Mas Harris yang tidak menginginkan aku pergi. Jangan kamu berpikir setelah kehamilanmu ini, kamu akan mendapatkan cinta dari Harris? Kamu hanya akan mendapatkan perhatiannya yang hanya sebentar itu, Nadya. Kamu nggak akan bisa mendapatkan cintanya.” Nadya menggeram pelan. Matanya menunduk menatap pergelangan kakinya yang menggantung di ujung salah satu anak tangga terakhir tempat mereka berdua mematung. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang akan Mas Harris pilih,” tutur Nadya kembali menatap Rayya. Sebelum Rayya bisa mencerna perkataan dari Nadya. Detik berikutnya, Rayya terkesiap dan menatap ngeri dengan apa yang terjadi di hadapannya. Tubuh Nadya melayang dan sebelum kemudian menghantam lantai cukup keras. *** “Nadya!” teriak Harris dan berlari mendekati Nadya yang kini tersungkur di lantai. Sementara Rayya masih mematung di tempatnya dan menatap ngeri bagaimana Nadya menjatuhkan diri dari tangga. ‘Apa dia sudah gila? Ini semua hanya demi perhatian sepenuhnya dari Harris? Dengan mengorbankan kehamilannya?’ Serangkaian pertanyaan itu mulai memenuhi kepalanya selagi Rayya mematung berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. “Aduh! Perutku!” Nadya meringkuk di lantai marmer sambil memegangi perutnya dan merintih kesakitan. “Ya, ampun, Nadya!” suara Herlina muncul beberapa saat kemudian yang histeris melihat keadaan wanita yang tengah hamil muda itu. Rayya baru saja tersadar dan langsung berlari mendekat Nadya untuk mengecek bagaimana kondisinya. Harris mengangkat Nadya ke dalam gendongannya berjalan menuju sofa di ruang tengah dan menidurkan tidur Nadya di atasnya. Baik Herlina dan Rayya mengekor dari belakang. “Langsung ke rumah sakit saja, Harris. Mama takut kandungannya kenapa-kenapa.” Dari rintihannya, Nadya menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja.” “Kamu kenapa bisa jatuh begitu?” tanya Harris lembut. “Hmm… Sebenarnya.” Nadya menggigit bibir bawahnya dan gelisah. “Aku tadi lagi ngobrol-ngobrol aja sama Mbak Rayya sambil turun tangga dan tiba-tiba saja aku didorong jatuh.” Baik Harris dan juga Herlina kini menoleh dan menatap Rayya dengan sorot mata penuh tanda tanya. “Rayya? Apa benar yang dikatakan Nadya?” tanya Harris kepadanya. “Nggak, Mas. Aku nggak ngerti apa yang dikatakan, Nadya.” Rayya menggelengkan kepalanya keras lalu menatap Nadya. “Apa maksudmu, Nadya? Aku sama sekali nggak mendorongmu.” “Sudahlah, Mbak. Akui saja semuanya. Aku tau Mbak Rayya nggak suka dengan kehamilanku kan?” Rayya mengerjapkan matanya. “Mbak iri karena aku berhasil mengandung darah daging Mas Harris dan kini perhatian Mas Harris sudah teralihkan padaku dan itu sebabnya Mbak Rayya mau mencelakai aku dan calon anakku?” Mulut Rayya sukses terngaga mendengar cerita fiktif yang dilontarkan oleh Nadya. Jadi ini yang dimaksud oleh Nadya bahwa ia ingin Harris yang memilih “Katakan yang sejujurnya, Rayya! Jangan membohongi kami semua.” Herlina mendesis. “Nggak. Tentu saja aku nggak mungkin ngelakuin hal keji seperti itu!” Teriak Rayya. “Jadi kamu mengatakan Nadya yang berbohong?” “Apa yang dikatakan Nadya tidak benar! Aku dan Nadya memang mengobrol dan tiba-tiba saja Nadya melepaskan genggamanku dan menjatuhkan diri dari tangga!” “Kalau menurutmu Nadya yang berbohong. Apa masuk akal, jika ia mencelakai dirinya dan juga kandungannya?” Rayya benar-benar terpojokkan saat ini. Dirinya mundur selangkah dan merasakan tubuhnya mulai bergetar hebat. Rayya yang masih mematung di tempatnya. Matanya kemudian bersiborok dengan Nadya yang kini tidak lagi mengerang kesakitan. Justru tatapan Nadya memancarkan kemenangan. Nadya benar-benar wanita sinting! “Ma, tolong jaga Nadya sebentar.” Harris bangkit dan menghampiri Rayya. “Kita perlu bicara.” Rayya tahu ini bukan sebuah pertanda yang baik. Harris sudah lebih dulu berjalan memasuki kamar dan Rayya mau tidak mau mengikuti suaminya lalu menutup pintu rapat-rapat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN