Bab 5: Menyendiri

1213 Kata
“Baru pulang, Rayya?” tanya Herlina berbasa-basi. Rayya baru pulang saat menjelang malam dan disambut dengan tatapan sinis dari Herlina yang duduk di sofa tiga seater bersama Nadya dan juga Harris yang tampak sibuk dengan laptopnya. Apalagi ketika ia melihat Rayya membawa tentengan belanjaan yang cukup banyak itu menambah kesinisan ibu mertuanya. “Iya, Ma. Sudah pada makan malam?” Rayya menjawab dengan senyuman palsu membalas basa-basi mertuanya. “Sudah, tadi Nadya dan Mama yang masak.” “Baguslah kalau begitu ada yang bantuin Mama masak selagi aku gak di rumah.” Rayya mengulum senyumannya. Baru saja Herlina mau membuka kembali mulutnya, Harris menyela Rayya dengan menghampirinya. “Kamu sendiri sudah makan belum?” tanya Harris dengan nada lembut dan tatapan penuh perhatian. Jika bukan karena adanya orang ketiga dalam pernikahan mereka, bisa dipastikan kalau Rayya akan langsung luluh diperlakukan Harris seperti ini. Dari ekor matanya, terlihat Herlina dan juga Nadya memalingkan wajahnya tak suka. Rayya sudah terbiasa melihat pemandangan ini semenjak kedatangan Nadya ke rumah ini tiga minggu yang lalu. “Sudah kok. Aku masuk ke kamar dulu ya, Mas. Mau bebersih.” Tanpa menunggu jawaban, Rayya berbalik dan menjauh. Setelah mengetahui fakta bahwa seluruh keluarganya telah mengkhianatinya, Rayya kerap kali keluar rumah hanya untuk menenangkan dirinya sendiri dan pulang jika sudah lewat jam makan malam. Menghindari sebisa mungkin agar tidak berinteraksi dengan Mama dan Nadya yang semakin menunjukkan keakrabannya. Nadya berteman baik dengan Danira, bahkan ia sempat menjadi bridesmaid saat acara pernikahan Danira dan Fariz tiga tahun yang lalu. Pantas saja, Rayya merasa pernah mengenalnya tapi ia tidak pernah menduga bahwa Nadya adalah teman baik Danira. Miris sekali rasanya begitu melihat orang yang selama ini ia kenal dan anggap sebagai sahabat sendiri justru tidak menganggap sebaliknya. Bahkan Danira tidak memberikan penjelasan, apalagi meminta maaf kepada Rayya. Wanita yang selama ini Rayya anggap sebagai teman baiknya kini berubah seratus delapan puluh derajat. Sama seperti Herlina yang kini juga sedang menjauhinya. Sekali lagi, Harris sudah lebih dulu tahu tapi katanya pria itu tidak punya pilihan karena Harris barulah mengetahui siapa sosok Nadya pada saat akad akan dilangsungkan. “Kalau saja bukan karena janji Mas Harris, mungkin aku sudah angkat kaki dari lingkungan keluarga seperti ini,” tutur Rayya pada dirinya sendiri kala itu. Juga sebenarnya Rayya agaknya sedikit malu jika ia harus kembali ke rumah keluarganya yang sejak awal tidak begitu menyetujui Harris sebagai suami pilihan Rayya. Rayya lebih memilih untuk menelan bulat-bulat nasibnya dan berharap waktu akan segera berlalu. *** Masih di ruang keluarga, terlihat Herlina juga diam-diam memperhatikan punggung Rayya yang menjauh dan menghilang dari balik pintu kamarnya. Kemudian ia mendesah pelan. “Harris, Kamu ngebiarin begitu aja istri kamu keluyuran hampir setiap hari begitu?” tanya Herlina sambil menatap tajam Harris yang sudah kembali sibuk dengan tablet yang digenggamnya. “Aku sudah memberikannya izin, Ma.” “Setiap hari keluar rumah dan pulang sudah malam. Mana pulangnya hampir selalu bawa belanjaan. Darimana dia dapat duit untuk belanjaan itu?” “Aku yang memberinya uang saku.” “Banyak?” tanya Herlina dengan alis terangkat satu. “Cukup lah buat dia mencari udara segar di luar.” “Kenapa kamu biarin Rayya keluar dan menghabiskan semua uang sakumu? Boros banget. Kelihatannya juga belanjaannya mahal-mahal semua.” “Rayya mungkin punya tabungannya sendiri. Lagipula, selama menikah dia memang jarang keluar rumah untuk menikmati waktunya sendirian. Kali ini biarkanlah Rayya melakukan hal yang ia sukai. Kan Mama sudah ada Nayda yang nemenin di rumah,” tutur Harris tidak mau ambil pusing. Herlina mendesah tidak suka. “Kamu sih terlalu manjain dia. Liat sekarang, dia jadi liar begitu. Apa kata tetangga yang ngeliat dia pergi mulu tiap hari?” “Aku tau apa yang Rayya lakukan di luar rumah. Dia selalu lapor setiap kali mau kemana atau mengerjakan apa. Dan apa Mama nggak mau tau juga kalau tetangga juga tahu soal Nadya disini?” Harris bertanya kepada Herlina. Semula niat Harris adalah dengan menyembunyikan status Nadya di rumahnya tapi malah dibongkar dengan sukarela oleh ibunya sendiri. Kini setiap ia keluar rumah jika ada kebetulan Ibu-Ibu komplek yang lagi berkumpul tampak berbisik-bisik sambil menatap mobil Harris yang melaju di depannya. Bahkan sampai satpam komplek saja sudah tahu gossip tentang istri kedua Harris Wijaya. Herlina berdecak sebal. Tidak terima dengan jawaban yang diberikan Harris. “Mama sih heran kenapa kamu masih ngebelain dia.” “Dia bebas mau melakukan apapun asalkan bukan menuntut perceraian.” “Kenapa kamu nggak mengabulkan permintaan dia saja?” “Ma, kita sudah sepakat akan hal ini ya. Aku menuruti permintaan Mama maka Mama juga harus menghargai keputusanku terhadap Rayya.” Herlina mengerucutkan bibirnya tidak suka. Nadya yang sejak tadi diam saja mendengarkan percakapan antara ibu dan anak itu kini sontak mendongak terlihat tidak suka dengan pembelaan Harris terhadap Rayya. “Mas Harris?” Nadya membuka suaranya. Harris menoleh. “Apa Mbak Rayya menyembunyikan sesuatu?” lanjut Nadya. Kening Harris mengerut. “Maksud kamu apa?” “Gini, Mas. Aku perhatikan barang belanjaan yang Mbak Rayya beli juga bukan barang murah. Kalau Mas Harris hanya memberikan uang saku, mana mungkin Mbak Rayya sanggup belanja barang mahal hampir setiap hari. Terus aku juga lihat Mbak Rayya punya laptop terbaru yang harganya juga gak murah dan juga Mbak Rayya kan bukan pekerja, buat apa Mbak Rayya punya laptop mahal?” “Kamu tidak dengar apa yang aku katakan? Bisa saja Rayya punya tabungan dari uang yang aku kasih ke dia setiap bulan dan itu murni uangnya dia, dia bebas melakukan apapun.” “Iya, Mas. Bukan itu maksudku. Aku cuma penasaran, apa mungkin Mbak Rayya menyembunyikan sesuatu dan apa Mas Harris nggak coba cari tahu apa yang sedang Mbak Rayya lakukan?” Kening Harris semakin berkerut sambil menatap heran. Mendengar perkataan Nadya, sebenarnya Harris tergelitik untuk mencari tahu apa yang disembunyikan Rayya darinya. Sebelum menikahi Nadya, Harris kerap kali melihat Rayya duduk sambil bermain ponselnya. Dan ketika ia bertanya apa yang Rayya lakukan, wanita itu hanya menjawab sedang membaca. “Apa yang dikatakan Nadya ada benarnya, Harris.” Herlina membuka suara menyadarkan lamunan singkatnya. “Aku percaya istriku, Ma.” Herlina baru mau membuka mulutnya kembali sebelum akhirnya Harris tiba-tiba bangkit dari kursi. “Sudah malam, aku mau istirahat.” “Kamu mau tidur di ruang kerja lagi?” tanya Herlina. Harris tidak menjawab dan memilih berjalan menjauh. Sudah tiga minggu juga Rayya menutup pintu kamar untuk Harris. Yang bisa Harris lakukan hanyalah mencoba maklum. “Kamu bisa tidur di kamarku, Mas. Kasihan kamu tidurnya di sofa.” Nadya membuka suaranya. “Tidak usah.” “Nadya benar. Kalau Rayya nggak mau tidur sekamar dengan kamu. Tidurlah di kamar Nadya. Lagipula, bukankah malam ini jadwal kalian berhubungan? Semakin cepat Nadya hamil semakin baik bukan?” Harris menghentikan langkahnya. Rahangnya mengeras. “Tunggulah di kamarmu, Nadya. Aku akan ke sana sepuluh menit lagi.” Seulas senyum lebar terbit dari bibir Nadya dan mengangguk penuh antusias. Sebelum Nadya bangkit, matanya bersiborok dengan tatapan Herlina yang penuh arti. Disisi lainnya, di dalam kamar Rayya bisa mendengarkan sayup-sayup percakapan antara Harris, Nadya dan Herlina yang mengobrol dari ruang tengah. Secara kebetulan, pintu kamar Rayya memang berhadapan langsung ke ruang keluarga tempat mereka semua sedang duduk bersantai saat Rayya pulang beberapa menit yang lalu. Seolah Herlina memang sengaja melakukan itu agar Rayya mendengarnya dari dalam kamar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN