Rayya masih terjaga hingga pagi hari. Dia hanya duduk lemas di pinggiran kasur menghadap ke luar jendela yang dibiarkan terbuka semalaman suntuk dengan tatapan kosong. Air mata telah mengering. Yang tersisa hanyalah perasaan hampa yang memenuhi hatinya.
Semalaman Rayya tidak tidur karena setiap kali ia berusaha untuk memejamkan mata, bayangan suaminya tengah b******u dengan wanita lain mulai muncul dan memenuhi kepalanya.
Ketukan pintu menyadarkan Rayya dari lamunannya, tapi Rayya masih bergeming di tempatnya. Seolah ia sudah tahu siapa yang mencarinya pagi hari ini.
“Rayya, buka pintunya. Aku ingin bicara.” Harris memanggilnya dari balik pintu.
Rayya masih bergeming. Berusaha untuk menulikan telinganya.
“Rayya, dengarkan dulu penjelasanku.” Harris memohon lagi.
Sayup-sayup Rayya mendengar suara lain dari kejauhan yang bisa dipastikan itu adalah suara Herlina yang mencemooh dirinya. Rayya menghembuskan napas berat kemudian bangkit lalu membukakan pintu untuk suaminya.
Begitu pintu dibuka, Rayya melihat Harris sudah mengenakan pakaian rumahan dan rambutnya masih sedikit basah itu membuat dadanya kembali terasa nyeri. Meski Rayya sudah memperkirakan akan hal ini tapi tetap saja dirinya tidak mampu mengendalikan amarah yang mulai kembali bergejolak.
Harris tahu bahwa Rayya pasti terguncang. Terlihat jelas dari mata wanita itu yang sembab perpaduan dari menangis terlalu lama dan kurang tidur dan hidung yang kemerahan.
“Sayang, kamu nggak tidur semalaman?” tanya Harris khawatir. Tangannya terangkat dan berusaha menyentuh pipinya tapi Rayya menepis tangan Harris dan memalingkan wajahnya.
Tersentak dengan perlakuan Rayya membuat Harris mengajak istrinya memasuki kamar dan mengunci pintu. Setelah mendapatkan sedikit privasi barulah Rayya berani menatap suaminya dengan sedikit lebih tajam.
“Kamu mau ngomong apa lagi? Aku sudah nggak perlu dengerin penjelasan kamu semejak kamu lebih milih tidur dengan istri baru kamu,” ujar Rayya sinis.
“Aku tahu kamu kamu pasti marah, tapi aku juga nggak punya pilihan. Mama memintaku menikahi Nadya karena dia mendesakku agar segera punya anak.”
Rayya memejamkan matanya. Belum tuntas penat yang ada di benaknya karena semalaman suntuk tidak tidur dan terus menangis. Kini bisa ia rasakan hidungnya mulai kembali memanas.
“Kamu punya pilihan, Mas. Kamu bisa menolaknya atau kamu bisa cerita sama aku soal rencana Mama dan kita akan cari jalan keluar bersama-sama.” Suara Rayya mulai bergetar.
Harris menggelengkan kepalanya.
“Mama memintaku setengah mengiba kalau usia Mama mungkin nggak akan panjang lagi dan permintaannya hanya ingin aku bisa punya anak dari darah dagingku sendiri. Selama ini Mama tidak pernah meminta apalagi menuntut, lalu sekarang Mama bersikeras akan keinginannya, aku nggak sanggup menolak. Sedangkan aku nggak mungkin mengatakan ini sama kamu karena kamu pasti akan menolaknya. Tolong mengerti aku, Rayya. Situasiku juga sulit.”
“Aku memang pasti akan menolaknya, Mas. Istri mana yang mau berbagi suaminya? Aku nggak siap, Mas! Kenapa kami nggak ceraikan saja aku dan baru menikah lagi?!” Bulir air mata kembali mengalir dari pelupuk matanya. Rayya berteriak histeris sambil memukul dadanya yang terasa sesak.
“Rayya, aku nggak mungkin menceraikan kamu.” Harris beringsut mendekat dengan tatapan nanar.
“Jangan sentuh aku!” desis Rayya.
Sungguh rasanya Rayya tidak sudi disentuh oleh Harris saat ini. Berada dalam satu ruangan dengan jarak sedekat ini saja sudah membuatnya hilang kendali.
Harris melangkah mundur. Memberikan jarak untuk mereka berdua.
“Aku nggak sanggup melihat kamu bersanding dengan wanita lain. Pikirmu, apa aku bisa tidur tenang ketika aku sendiri menyaksikan kamu masuk ke kamar sama wanita itu? Setiap kali aku berusaha tidur, aku membayangkan kamu bercinta dengan wanita lain.”
“Aku nggak akan pernah melepaskan kamu, Rayya. Aku nggak cinta dengan Nadya. Ini semua kulakukan semata-mata atas permintaan Mama.”
“Maka kamu nggak bisa memiliki keduanya. Harus ada salah satu yang dikorbankan. Aku nggak bisa berada di posisi ini.” Rayya semakin menangis. Isakannya terdengar begitu pilu di telinga Harris.
“Aku nggak akan memiliki Nadya!” Harris berkata tegas. “Dengarkan aku. Aku punya rencana.” Suara Harris melembut sesaat kemudian.
“Aku sudah nggak mau dengar apapun yang keluar dari mulutmu. Aku nggak mau lagi percaya lagi sama kamu setelah kamu mengingkari janjimu sendiri.”
“Rayya, Sayang. Dengarkan dulu oke.”
Rayya berjengit ketika suaminya memanggilnya dengan panggilan sayang. Bisa-bisanya ia masih memanggilnya sayang?
“Aku akan menceraikan Nadya.”
Rayya mengerutkan kening keheranan.
“Segera setelah dia melahirkan anakku, maka urusanku dan dia akan selesai. Kita akan sama-sama lagi seperti sedia kala. Kamu hanya perlu bersabar sedikit, oke? Kita harus lewatin ini sama-sama ya. Aku janji situasi ini akan segera berakhir dan kita bisa sama-sama lagi tanpa ada yang mengganggu.”
Rayya tertegun. Hatinya merasa ini tidaklah benar. “Kamu nggak boleh menceraikan orang yang sudah melahirkan anakmu?”
“Jadi kamu lebih memilih aku bersama dia dan melepaskanmu, begitu?”
Kali ini Rayya terdiam. “Lebih baik begitu bukan? Aku tidak bisa memenuhi permintaan Mama kamu?”
Harris mengepal tinjunya kemudian berbalik badan dan melayangkan tinjunya ke udara kosong. Sementara di belakangnya Rayya terkesiap melihat Harris yang selama ini selalu sabar dihadapannya kini terlihat kehilangan kendali.
“Tidakkah kamu berkorban sedikit?” tanya Harris masih memunggunginya.
Rayya menghembuskan napasnya pelan. Kemudian Harris berbalik dan menatap Rayya dengan mata yang mulai memerah.
“Aku nggak menemukan jalan keluar lain yang lebih baik dari ini. Setelah aku memastikan aku melaksanakan tugasku dan membuat Nadya hamil, maka aku tidak akan menyentuhnya lagi. Kita hanya tinggal menunggu kapan Nadya melahirkan kemudian kita bisa kembali seperti sedia kala.” Harris berkata dengan tegas.
Mendengar itu mampu membuat Rayya termenung.
Sementara Harris perlahan beringsut mendekat. Ketika Rayya tidak merespon gerakannya, Tangan Harris yang besar merengkuh tubuh Rayya yang kecil dan mendekapnya ke dalam pelukan. Sesaat rasa nyaman menjalar ke seluruh tubuhnya, tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya memang merindukan suaminya.
Rayya menarik napas dalam-dalam merasakan aroma tubuh Harris yang kini sudah tidak sama lagi. Aroma tubuhnya kini sudah bercampur dengan aroma lain yang membuat pria itu begitu asing. Rayya melepaskan pelukan dan melangkah mundur.
“Untuk sementara, aku nggak mau dekat-dekat dulu.”
“Kenapa?”
“Aku masih mencium bau wanita lain dari badan kamu. Aku nggak bisa…” Rayya menggelengkan kepalanya berusaha menepis imajinasi liar yang kini mulai membayangi benaknya.
Harris mendesah pasrah. “Baiklah, asal kamu nggak membahas tentang perceraian lagi.”
Dengan enggan, akhirnya Rayya mengangguk.
“Istirahatlah, kalau kamu nggak mau keluar kamar hari ini nggak apa-apa. Nanti aku yang akan membawakan makanan untukmu.”
Sekali lagi Rayya mengangguk sebelum akhirnya Harris meninggalkan dirinya untuk kembali menenangkan diri. Rayya kembali menoleh ke sudut kamar tempat koper sudah disiapkan tadi malam itu dengan tatapan sendu.
Meski hatinya dipenuhi keraguan tapi untuk saat ini dia tidak punya pilihan.
***