4. Paranoid

1418 Kata
"Mau apa lagi kamu ke kamar saya?" ujar Reiga kaku. Detik pertama ia membuka mata dan melihat sosok gadis itu, detik itu juga kadar kewaspadaannya meningkat tajam. "Kopi," balas Freya singkat. Ia berjalan mendekat dan meletakkan kopi untuk Reiga di dekat tempat tidur pria itu, kemudian berdiri kaku di tempatnya. "Kenapa kamu buka lagi gordennya padahal tadi saya masih tidur?" tanya Reiga kesal. Ini kali kedua gadis itu masuk ke kamarnya untuk membawakan kopi dan melakukan hal yang sama.  "Sudah pagi." Lagi-lagi jawaban itu yang ia berikan. "Katakan apa mau kamu sebenarnya. Saya yakin kamu punya alasan khusus, karena kalau tidak, kamu tidak akan mau membawakan kopi ke kamar saya." Reiga yakin itu, karena sejak keributan di kamarnya beberapa hari yang lalu, Freya tidak pernah muncul lagi di kamarnya. "Saya mau bicara. Ada yang perlu saya tanyakan," ujar Freya tanpa berbelit-belit. Reiga menimbang-nimbang apakah perlu meladeni gadis ini atau tidak. Reiga melempar selimutnya dan bangkit berdiri. "Tunggu di sini. Saya cuci muka dulu." Reiga langsung berlalu ke kamar mandi, menghabiskan waktu di dalam sana untuk membersihkan diri sambil menenangkan dirinya. Berdekatan dengan gadis itu membuatnya selalu berpikiran buruk, dan ia tidak suka dengan kenyataan itu. Setelah yakin dirinya akan mampu bersikap tenang saat berhadapan dengan Freya, Reiga keluar dari kamar mandi dan mendapati gadis itu masih tetap dalam posisinya semula. Reiga duduk di tepi tempat tidurnya. Menunjuk segelas air putih dan secangkir kopi di meja. "Minum!" "Apa?" tanya Freya tidak mengerti. "Minum dulu." Reiga menunggu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Itu bukan untuk saya," tolak Freya. "Saya mau minum. Tapi kamu harus minum dulu. Jadi kalau ada apa-apa, kamu yang lebih dulu celaka." Freya melakukan keinginan Reiga. Mengambil gelas dan meneguk isinya, kemudian meletakkan kembali gelas tersebut. Reiga mengedikkan kepalanya. "Kopinya juga." Mata Freya berkilat kesal, namun sikapnya tetap tenang. Ia kembali melakukan keinginan Reiga. "Sekarang silakan bicara," ujar Reiga tenang. "Apa maksud Anda dengan memanggil orang-orang setiap hari untuk mengajari saya banyak hal?" tanya Freya langsung pada intinya. Reiga menghela napas. "Hanya untuk memberi kamu kegiatan." "Saya bisa mencari kegiatan sendiri yang tidak memerlukan dana," ujar Freya dingin. "Tapi kegiatan yang bisa kamu cari sendiri itu menakutkan, karena berpontensi membahayakan saya. Saya sengaja menyibukkan kamu, agar kamu tidak sempat melaksanakan niat gila kamu untuk mencelakai saya." Katakanlah dirinya paranoid. Tapi Reiga tidak akan lengah dan menjadi bodoh. Ia tidak akan membiarkan siapa pun memperdaya dan mencelakakan dirinya lagi. Ia yang sekarang bukan lagi anak lugu yang memberikan hatinya dengan begitu bodoh tanpa bisa melihat kenyataan. "Tapi kalau seperti ini, Anda membuat saya terjebak dalam hutang!" serunya frustasi. "Anda pikir saya tidak tahu berapa tarif untuk para profesional itu setiap kali mereka datang! Belum lagi mendatangkan personal stylist untuk saya. Itu konyol! Apa perlunya saya berdandan kalau setiap hari hanya dikurung di sini?" "Memangnya kalau terkurung di rumah lalu kamu tidak perlu berpakaian?" tanya Reiga tajam. "..." Ketika dilihatnya gadis itu diam saja, Reiga kembali melanjutkan bicaranya. "Jelas kamu tetap perlu, 'kan?" "Tapi tidak perlu beli baru, apalagi dengan bantuan orang profesional seperti Oddie!" serang Freya lagi. Reiga menatap sinis pada Freya yang sejak tadi masih saja berdiri. Reiga sama sekali tidak berminat menyuruhnya duduk. "Lalu kamu punya ide yang lebih baik?" "Anda bisa ambil pakaian dari tempat tinggal saya. Saya yakin Anda tahu di mana saya tinggal." Reiga tersenyum meremehkan. "Kamu itu hanya jadi tahanan di sini, jadi objek jaminan. Bukan jadi penghuni tetap rumah saya. Kalau saya pindahkan semua isi rumah kamu ke sini, itu namanya kamu pindah rumah ke tempat saya." Jawaban Reiga membuat Freya tidak berkutik. "Tenang saja. Saya melakukan semua itu bukan untuk kamu. Saya lakukan untuk saya sendiri. Untuk memastikan keselamatan saya. Jadi saya tidak akan membebankan biaya apa pun pada kamu." "Saya tidak percaya." Freya mendengus sinis. Setelahnya, ia langsung membalikkan badan dan meninggalkan kamar Reiga. Ia tidak ingin berdebat lagi. Tapi jangan harap ia akan percaya pada kata-kata pria itu. Dulu sekali, Freya pernah senaif itu. Begitu mudahnya percaya pada perkataan manis dan kasih sayang palsu yang dicurahkan untuknya. Ia tidak pernah menyangka, keluguannya membuat ia berakhir dalam jerat hutang pada suatu kekuasaan besar yang tidak mampu diatasinya. Sejak itu, Freya kehilangan kehidupannya. Ia menjalani hidup yang tidak layak disebut sebagai sebuah kehidupan. *** "Habis dari mana kamu?" Reiga menatap curiga ketika melihat Freya muncul dari arah dapur dan kini ikut bergabung bersamanya di meja makan. "Dapur," jawabnya singkat. Kecurigaan Reiga semakin meningkat. "Mau apa di dapur?" "Masak." Lagi-lagi jawaban singkat yang gadis itu berikan. Meski kesal, tapi Reiga sudah mulai membiasakan diri dengan sikap ketus dan jawaban singkat Freya. Reiga menunjuk asal ke atas meja makan. "Jadi ini kamu yang masak?" "Hmm." Freya mengangguk kaku. "Sekarang mau apa?" Reiga melirik heran melihat Freya yang terus duduk dengan tenang di meja makan bersamanya. "Makan," jawab Freya tenang. "Tumben kamu makan," ujarnya sinis. Biasanya gadis itu tidak pernah makan di waktu yang sama dengannya, kecuali jika Reiga sengaja memanggilnya. Itu pun baru pernah terjadi satu kali sebelum ini. "Kalau saya sakit lagi, nanti hutang saya tambah banyak. Kecuali Anda tidak akan ikut campur dan sok berlagak jadi pahlawan, saya akan kembali melakukan aksi mogok makan dan kali ini sampai mati," tandas Freya pedas. Selera makannya langsung hilang seketika. "Berhenti bicara aneh-aneh. Jangan pernah berpikir untuk mati di rumah saya." Freya tidak menanggapi apa-apa, hanya tersenyum sinis ke arah Reiga. "Kamu makan duluan," ujar Reiga dingin namun sarat kecurigaan. Ia tidak mau mengalami apa yang dulu pernah dialaminya. Dulu ia lugu, kini tidak lagi. "Kenapa? Takut diracun?" Freya tersenyum mengejek. "Kalau sudah tahu kenapa tanya?" Di hari Freya menyebut-nyebut soal menciptakan racun, Reiga langsung meminta Ardi memeriksa seluruh tanaman yang ada di rumahnya, dan ternyata memang benar bahwa ada beberapa tanaman di rumahnya yang mengandung racun. Mulai dari yang efeknya ringan seperti wisteria, daffodil, dan sanseviera yang dapat menyebabkan masalah pencernaan. Atau yang menyebabkan gatal-gatal seperti dieffenbachia dan zz plant. Atau bahkan yang mematikan seperti oleander, hemlock, dan azalea. Reiga tidak pernah tahu kalau ada tanaman yang bisa berbahaya seperti itu di rumahnya, dan selama ini memang tidak pernah ada yang menyadarinya. Tidak pernah ada yang mencoba memanfaatkannya untuk meracuni orang. Tapi gadis itu memiliki ide gila di kepalanya. Freya membalik piringnya, mengisi piringnya, dan mulai makan. Semua ia lakukan dengan tenang. "Sudah saya makan." Melihat Freya makan dengan tenang. Reiga mulai bergerak hendak mengisi piringnya juga. Ia harus menyelesaikan sarapannya cepat-cepat jika tidak ingin terlambat tiba di kantor. Menyadari ketakutan Reiga, entah kenapa Freya merasa senang. Ia ingin membuat pria menyebalkan ini semakin ketakutan dan merasa tidak nyaman setiap saat, sama seperti dirinya yang tersiksa terkurung di rumah ini. Freya ingin menjadi monster menakutkan bagi sang pemilik rumah. "Hati-hati ada racun di piring Anda, atau mungkin di sendok dan garpunya," gumam Freya pelan sambil terus menikmati hidangannya. Reiga langsung menghentikan gerakannya. Diambilnya peralatan makan bagiannya dan diamatinya baik-baik. "Martha, ambilkan alat makan yang baru!" Dalam hati Freya tertawa senang. Ia berhasil menakuti pria ini. Sebenarnya Freya merasa lucu, mengapa pria ini bisa sedemikian ketakutan hanya demi mendengar ancaman kosong darinya? Meski ia banyak memahami tentang berbagai macam tanaman, dan ia tahu beberapa macam tanaman yang mengandung racun, tapi tidak pernah sekalipun ia terpikir untuk mencelakai orang lain. Sampai saat ini belum pernah. Ketika melihat Martha sudah mengantarkan peralatan makan yang baru, Freya kembali melancarkan serangannya. "Sebaiknya tunggu dulu sampai cukup lama. Siapa tahu ini ada racunnya." "Kamu sudah makan," balas Reiga tenang. Ia lihat sendiri Freya menikmati makanannya tanpa rasa khawatir sama sekali. "Saya 'kan memang ingin cepat mati," balas Freya skeptis. Reiga menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya keras-keras. "Apa mau kamu sebenarnya?" "Apa mau Anda sebenarnya?" Freya balik bertanya. Reiga mengerti gadis ini menyimpan kemarahan karena ia mengurungnya di rumah ini. Tapi itu bukan salahnya. "Kamu sudah tahu alasan kamu di sini." "Seharusnya Anda juga tahu kenapa saya bersikap begini," balas Freya berani. Reiga menangkup kedua tangannya di atas meja. Mencondongkan tubuhnya ke arah Freya. "Jelaskan ...." "Jelas karena saya sangat membenci Anda!" seru Freya. Sikap sok tidak bersalah yang Reiga tunjukkan membuatnya geram. "Kamu pikir saya senang dengan kamu ada di sini? Kamu itu hanya menyusahkan saja! Hidup saya yang baik-baik saja jadi terganggu dengan kehadiran kamu di sini," balas Reiga kejam. Ia benar-benar marah sekarang. Gadis ini benar-benar merepotkan. "Mulai sekarang, lebih baik kamu jangan muncul di hadapan saya! Jauh-jauh dari saya! Lebih baik kamu kembali mengurung diri di kamar daripada kamu berkeliaran dan membuat saya muak!" Setelahnya Reiga berdiri dengan kasar hingga kursi yang tadi didudukinya terpelanting ke belakang. *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN