Menyesal

1021 Kata
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan. Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya. "Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya. Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya. "Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut. Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatinya. "Bunda..." rengek Cio, sambil menarik-narik tangan Luna. Wajahnya terlihat kesal karena bundanya hanya terdiam, tak merespon apa pun. Luna menghela napas panjang. "Ayo pulang. Om Dylan lagi kerja," jawabnya dengan suara lembut. Kemudian ia mengajak anaknya untuk kembali berjalan. Ardan memutar tubuhnya, menatap Luna dan Cio yang berjalan menjauh darinya. Namun, sebelum mereka menyeberang ke halte bus, ia buru-buru menghampirinya. "Ayo, saya antar pulang," ujar Ardan. "Nggak usah," balas Luna ketus, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya. Cio yang merasa terganggu langsung menatap Ardan dengan tatapan tajam. "Jangan ganggu bundaku!" tegurnya dengan nada tegas. Ardan tertegun sejenak, lalu menghela napas kasar. Ia tidak tahu bagaimana cara mendekati anak kecil, sehingga ia masih merasa canggung dan sedikit kaku. "Kelamaan kalau nunggu bus. Pulang sama saya aja," ujar Ardan, berusaha meyakinkan Luna. Namun, Luna tetap tidak menggubrisnya. Kesal karena tak mendapat respon, Ardan mulai berpikir untuk menggunakan cara lain. Melihat jalanan yang mulai lengang, ia tiba-tiba bergerak cepat, mengangkat tubuh Cio dan membawanya berlari menuju mobilnya.Luna yang terkejut langsung berbalik dan mengejar mereka dengan wajah penuh amarah. "MAS ARDAN!" teriaknya kesal. Cio yang takut langsung meronta-ronta, memukul-mukul tubuh Ardan dengan kedua tangan kecilnya. "Turunin aku! Bunda, bantuin aku!" teriak Cio sambil menangis, berusaha turun dari gendongan Ardan. Tenaga bocah itu jelas tak sebanding dengan kekuatan Ardan. Dengan kasar, Ardan membuka pintu mobilnya dan mendudukkan Cio di kursi tengah, lalu segera menutup pintunya kembali. "KAMU GILA?" bentak Luna sambil berusaha membuka pintu mobil, namun Ardan sudah lebih dulu menguncinya dengan kunci remote. "Masuk ke dalam kalau nggak mau anak kamu saya bawa pulang ke rumah," ancam Ardan, lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Luna menghentakkan kakinya kesal, ia kemudian menendang pintu mobil dengan keras sebelum akhirnya ikut masuk ke dalam. "Huwaaa... Bunda... kita diculik!" teriak Cio sambil menangis kencang. Tanpa berpikir panjang, Luna melompat dari kursi depan ke kursi tengah, lalu mengangkat tubuh Cio ke atas pangkuannya dan memeluknya erat-erat. Melihat itu, Ardan hanya menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Tak mau membuang waktu, ia segera menginjak gas dan melajukan mobilnya dengan tenang. "Om nakal! Cio nggak mau sama Om!" teriak Cio di sela-sela isakan tangisnya, tangannya terayun di udara, membentuk pukulan kecil yang tak berarti. Luna hanya menghela napas panjang, lalu dengan lembut mengusap air mata dan keringat yang membasahi wajah anaknya. Melihat Ardan yang terus melirik dari spion tengah, Luna langsung membentaknya dengan kesal. "Tanggung jawab! Dia susah diam kalau udah nangis." "Gimana mau tanggung jawab? Dia aja nggak mau sama saya," balas Ardan. "Makanya jadi orang itu jangan gegabah! Bukan kayak gitu caranya deketin anak kecil, kamu tuh jatuhnya malah kayak penculik," omel Luna, suaranya meninggi karena terlalu geram. Ardan hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Sebagai seorang pria yang tidak pernah tahu bagaimana harus menghadapi anak kecil, ia benar-benar merasa pasrah dimarahi seperti itu. "Dia benar-benar anak saya?" tanya Ardan memastikan, suaranya masih terdengar ragu. "Masih aja nggak percaya, padahal udah lihat sendiri?!" suara Luna semakin meninggi, seolah tak bisa menahan amarahnya. "Emang hati kamu tuh udah ketutup sama batu neraka, dan pikiran kamu itu udah terinfeksi sama sifat licik Mbak Wulan!" Ardan hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa penyesalan yang mendalam muncul dalam dirinya, namun ia tersudut oleh kekesalan yang tak bisa ia ungkapkan. Luna masih menatapnya tajam. "Kalau masih nggak percaya, tes DNA aja. Kita buktikan, apakah fitnahan istri kamu itu benar." Ardan menghela napas panjang. "Nggak usah. Kita rujuk aja. Kita rawat anak itu bareng-bareng." Seketika, Luna mendengus sinis. "Cuih, kamu pikir aku mau? Jadi istri kamu aja udah jadi penyesalan terbesar dalam hidupku. Masa depan dihancurin, mental dihancurin, harga diri dihancurin. Kalau aja waktu itu aku nggak bodoh mau jadi istri kedua kamu, mungkin sekarang aku udah jadi Dokter!" Ya, cita-cita Luna sejak kecil adalah menjadi seorang Dokter. Bahkan sebelum menikah, ia sempat ditawari beasiswa kedokteran di Universitas ternama berkat prestasinya selama bersekolah. Sekarang, mimpi itu terasa terlalu jauh untuk diraih. Luna merasa sudah terlambat untuk memulai perjalanan menjadi dokter, sehingga ia terpaksa mengambil jurusan manajemen bisnis untuk mewujudkan cita-citanya yang lain. "Saya minta maaf," ujar Ardan lirih. "Dimaafin, tapi nggak ada kesempatan buat rujuk lagi. Sekarang uangku udah banyak, aku nggak butuh kamu sama Mbak Wulan lagi," balas Luna ketus tanpa ragu. Ardan menghela napas panjang. "Saya cuma mau memperbaiki semuanya. Kita bisa mulai lagi, demi anak kita." Luna tertawa getir. "Orang pintar nggak akan jatuh dua kali di lubang yang sama," balasnya. "Kamu nggak kasihan lihat dia tumbuh tanpa Ayah?" "Kenapa harus kasihan? Aku masih cantik, masih muda. Aku bisa carikan Ayah yang jauh lebih baik buat dia." "Sebagai ayahnya, saya juga berhak merawat dia." Seketika, tawa sumbang langsung keluar dari mulut Luna. "Ke mana aja selama ini? Setelah ngatain anakku anak haram, anak dari hubungan terlarang, sekarang tiba-tiba minta hak sebagai Ayah. Kamu nggak malu, Mas? Atau emang udah nggak punya urat malu?" "Luna—" "Lima tahun ini, aku sengsara sendirian, Mas. Sekarang, aku cuma berharap keadaan itu berbalik ke kamu sama Mbak Wulan." Ardan terdiam. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu menyandarkan kepalanya di kursi sambil menarik napas panjang. "Saya sudah sengsara, Luna. Saya sudah mendapatkan balasan dari perbuatan saya," ucapnya lirih. “Wulan lumpuh... dan usaha saya bangkrut.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN