"Yang, kok diem?" tanya Putri dan membuyarkan lamunanku. "Ndak pa-pa," jawabku. Putri melihat ke arahku dengan seksama, dia memandangi wajahku tanpa berkedip, seolah-olah wajahku yang jelek ini adalah sebuah lukisan mahakarya seorang pelukis ternama. "Apaan sih?" kataku sambil maju dan berusaha mencium si Cantik di depanku. Putri menghindarinya tapi sesaat kemudian, dia justru masuk ke dalam pelukanku dan merebahkan kepalanya ke leherku. "Maafin Putri ya Yang?" bisik Putri pelan. "Untuk apa?" tanyaku. Putri menarik napas panjang, "Seandainya tadi, aku nggak cerita soal Nisa sama Ayang, aku yakin Ayang nggak akan kecewa seperti sekarang." Aku kembali terdiam. Putri benar. Tadinya aku bahagia dan lega saat Nisa jujur mengakui semuanya dan meminta maaf kepadaku. Aku berpikir semuan

