4. Keputusan Fajar

1154 Kata
Sampai di rumah Nuril, Fajar menunjukkan kamar Rini dan Kela. Di samping rumah ada ruangan kosong, dulu di sana dijadikan sebagai ruang penyimpanan. Fajar sudah membersihkannya dan sekarang ruangan itu dijadikan sebagai kamar Rini dan putrinya Kela. “Untuk sekarang kalian bisa tidur di sini.” “Iya, Pak,” angguk Rini dengan patuh lalu masuk ke dalam kamar tersebut. Tak lama kemudian, Fajar mendengar suara mobil Nuril berlalu pergi setelah menurunkan mereka bertiga di halaman depan rumah. Rini masuk ke dalam kamar untuk menidurkan Kela. Fajar tidak segera pergi, dia duduk di kursi luar kamar Rini. Pintu kamar dibiarkan Rini tetap terbuka. Setelah menyelimuti Kela, Rini keluar untuk bertanya. “Pak Fajar butuh sesuatu?” Tanyanya. “Buatkan aku kopi dan antar ke ruangan kerjaku,” ucapnya sambil bergegas masuk ke pintu samping. Rini menganggukkan kepalanya, dia pergi ke dapur untuk merebus air dan menyeduh kopi. Rini baru pertama kali tinggal di sana jadi dia masih tidak tahu ruangan kerja Fajar. Rini melintasi kamar Fajar, dan dia melihat Fajar sedang melepaskan baju kemeja yang ia kenakan. Rini menatap punggungnya, Rini tetap berdiri di sana menunggu Fajar selesai. Fajar mencium aroma kopi dan dia menoleh. Melihat Rini berdiri di luar pintu, Fajar segera berjalan mendekat. Fajar masih bertelanjang d**a. “Ruangan kerjaku ada di sebelah kamar,” ucapnya sambil menunjuk ruangan kerja di sebelah. Rini mengangguk lalu segera masuk membawa nampan ke dalam ruangan kerja di sebelah kamar. Di sana Rini melihat rak dengan banyak map. Ada meja kerja dengan kursi putar. Rini meletakkannya di atas meja lalu memutar tubuhnya hendak berjalan keluar dari dalam kamar. Tak lama kemudian Fajar masuk ke dalam dan menutup pintu, Rini belum sempat pergi. Dan Fajar berdiri menghalangi pintu keluar. “Kenapa kamu memutuskan tetap pergi ke komplek?” Tanyanya. “Aku butuh uang agar hutang lunas dan aku perlu uang untuk menyekolahkan Kela, Pak,” ucapnya dengan kepala menunduk. Ada nada tertekan dari suara Rini, jelas sekali kalau sebenarnya Rini tidak menginginkan bekerja di komplek. Semua hal yang akan dia lakukan saat memutuskan untuk bekerja di komplek sudah terlintas di dalam benaknya. Dan karena itulah Rini menolak ketika Nuril menawarkan pekerjaan itu padanya. Rini bukan tipe wanita yang memiliki hobi menjajakan tubuhnya. Fajar tahu itu, dan karenanya Fajar tidak ingin Rini melangkah ke jalan yang salah menurutnya. “Kamu pikir aku aku bakalan diam saja? Aku akan tetap menggajimu, Rin,” sergah Fajar dengan tatapan kesal. “Kamu sudah terlanjur ngomong begitu sama Nuril, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Di komplek kamu bakalan melayani banyak pria. Aku bukan pria munafik aku tahu kamu butuh uang, tapi pikirkan Kela? Aku hanya ingin yang terbaik untuk Kela.” Rini menghela napas panjang. Dia mengangkat wajahnya menatap Fajar. “Jika Pak Fajar memberikan uang untukku, lalu apa yang harus aku lakukan untuk Pak Fajar?” Dari pertanyaan Rini barusan, Fajar bisa menerka apa yang ada di dalam benak Rini tentang dirinya. Mungkin Rini berpikir bahwa dia akan selalu menggunakan tubuh Rini. Bahkan mulai mengatur dan membatasi semua yang akan Rini lakukan. “Kamu bisa bekerja seperti biasa melakukan pekerjaan rumah, tidak perlu memikirkan yang lain,” ujarnya. Rini tidak berkomentar lagi, dia hanya menganggukkan kepalanya. Awalnya Rini berpikir Fajar akan menjadikan dia pelampiasan lantaran Nuril menolak melayani di ranjang. Sejak tinggal di kediaman Fajar dan Nuril, Rini tidak cemas lagi tentang makanan. Dia merasa senang melihat Kela tidak menangis lagi karena lapar. Rini juga bisa melakukan semua pekerjaan rumah, dari mengepel lantai, membersihkan perabotan, dan juga memasak. Rini belum hafal dengan jalan di kota tersebut. Jadi saat pergi ke pasar untuk belanja kadang Fajar yang menemaninya jika Fajar tidak sibuk, itu pun atas perintah Nuril. Satu minggu tinggal di sana Rini melaporkan pada Nuril tentang keperluan dapur yang sudah menipis. Pagi itu saat Nuril dan Fajar sarapan bersama, Rini segera mengatakannya. “Bu Nuril, keperluan dapur sudah hampir habis. Saya harus ke pasar untuk membeli, kira-kira sebaiknya saya pesan ojek atau naik becak?” tanyanya. “Bilang saja sama Fajar, suruh dia antar ke pasar. Aku nggak mau ada masalah di jalan, copet, jambret, jika sampai itu terjadi malah semakin merepotkan. Minggu dia libur nggak pergi ke rumah sakit, dari pada dia nganggur di rumah nggak ada gunanya!” “Baik, Bu,” jawab Rini patuh. Nuril mengeluarkan uangnya, dia meletakkan di atas meja. Sudah biasa seperti itu setiap seminggu sekali dia meminta Rini untuk mengatur kebutuhan dapur. Rini mengambil uangnya, setelah membungkuk hormat Rini berjalan menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. “Kapan kamu pergi ke komplek?” Tanya Nuril padanya. Rini kembali menghadap Nuril. Rini tidak berani menatap Fajar yang kini duduk di seberang meja Nuril. Karena Rini tidak segera menjawab, Nuril langsung mengeluarkan uang ratusan ribuan beberapa lembar. “Ubah penampilanmu. Fajar tahu salon langgananku, pergi saja ke sana. Beli beberapa baju, aku mau lihat penampilan baru kamu,” perintah Nuril pada Rini. Rini sudah terlanjur bilang tentang pekerjaan di komplek, jadi tidak semudah itu untuk membatalkannya. Apa lagi Nuril sudah mengizinkannya tinggal di rumah tanpa biaya sewa. Rini mengambil uang tersebut lalu pergi meninggalkan ruang makan. Dan kini tinggal Nuril dan Fajar di sana. Nuril melihat cara Fajar menatap ke arah Rini. “Kenapa kamu? Nggak senang aku pekerjakan Rini di komplek?” “Mi, kalau misalnya Rini biar membantuku di klinik saja bagaimana? Kalau di komplek dia akan lebih sulit diterima masyarakat. Aku memikirkan Kela juga, kasihan," ujarnya pada Nuril. “Hahahaha! Bukannya kamu mau pakai dia sebagai penggantiku?” Tantang Nuril dengan tatapan mata serius. “Mi, aku masih waras.” “Sudah nggak perlu kamu tutup-tutupi. Aku tahu kamu punya pandangan lain tentang Rini.” “Rini istri orang, dan aku tidak memiliki niat lain kecuali ingin membantunya,” elak Fajar. Tujuannya saat ini memang hanya itu, Fajar sama sekali tidak ingin memanfaatkan Rini. Bahkan dia menyesal karena sudah meniduri Rini satu minggu yang lalu sebelum membawa Rini pulang ke rumah. Fajar terus memikirkannya, jika saja fajar tidak melakukan itu mungkin Rini tidak akan memiliki pandangan lain terhadap Fajar. “Punya pun, juga nggak salah. Aku tahu di mana pikiran lelaki normal. Kamu masih muda, Rini juga masih muda. Aku tahu kamu taat beribadah, tapi kamu masih tidak bisa mengekang nafsu.” Nuril mengatakannya dengan nada serius. “Aku tahu kamu sengaja, kenapa kamu nggak urus sekalian perceraian Rini sama Ranto? Nikahkan aku dengan Rini kalau memang itu yang menjadi alasan kamu menyetujui membawa Rini ke rumah ini!” Tantang Fajar pada Nuril. “Ya, tapi aku tidak akan membatalkan tentang pekerjaannya di komplek. Aku pengen melihat kamu meratap menyaksikan wanita yang kamu inginkan tinggal di dalam pelukan pria lain untuk mendapatkan uang,” balas Nuril. “Berikan saja pilihan pertama. Aku ikhlas.” “Membantumu di klinik?” Nuril mengernyitkan keningnya, menegakkan punggungnya. Dia tidak menyangka Fajar akan menolak ikatan sah dengan Rini tapi malah memberikan kebebasan pada Rini agar tidak masuk ke komplek. “Hem,” angguk Fajar dengan tatapan serius.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN