“Nuril nggak jawab, tapi aku yakin dia setuju.”
Nada suaranya begitu santai, Fajar berlalu dari dapur menuju ke ruang depan. Rini bahkan masih melamun dan terus memikirkannya.
“Bu?” Kela datang dan mengambil jari tangan Rini mengayunkannya ke kanan dan ke kiri.
“Iya? Kenapa?” Tanyanya, lalu membungkuk dan bercakap-cakap dengan Kela.
Kebetulan Fajar sedang melintas di luar ambang pintu dapur untuk mengambil sesuatu. Fajar menyaksikan pasangan ibu dan anak itu sedang berbicara sambil tertawa kecil. Kela nampak sangat senang, begitu juga Rini. Senyum penuh ketulusan dari sosok Rini yang baru dia saksikan pada saat ini, Fajar tidak ingin kehilangannya.
Tak lama setelah itu, Kela menganggukkan kepalanya dengan patuh lalu berjalan keluar dari dalam dapur ke halaman samping lanjut bermain. Rini menegakkan punggungnya, masih tersisa senyum di bibirnya. Merasakan kehadiran seseorang di ruang luar dapur, Rini menoleh dan ia melihat Fajar berdiri di sana menatap dirinya.
Rini pikir Fajar butuh sesuatu. Dari cara Fajar menatap dirinya, Rini tahu Fajar sudah lama berdiri di sana.
“Pak Fajar butuh sesuatu?”
Fajar langsung tersadar dari lamunannya. “Antarkan segelas kopi ke ruangan kerjaku,” jawabnya seraya menatap Rini dengan tatapan mata tidak biasa.
Rini sampai menelan ludahnya sendiri, dia segera menyalakan kompor untuk merebus air dan menyiapkan kopi dengan campuran gula. Selesai menyeduh kopi, Rini lekas mengantarkannya ke ruangan kerja Fajar. Di sana dia melihat Fajar sedang berdiri di dekat ambang jendela samping ruangan, menyulut rokoknya seraya menumpukan kedua lengannya di sisi teralis.
“Pak Fajar, ini kopinya.” Rini meletakkan gelas kopi Fajar di atas meja.
Fajar sudah tahu kalau Rini masuk dan meletakkan gelas kopinya. Melihat Rini berjalan hendak meninggalkan ruangan kerjanya, Fajar segera berkata padanya, “jangan lupa makan,” ujarnya tanpa menoleh pada Rini yang kini terhenti di tengah ruangan.
Rini menoleh menatap punggung Fajar yang masih menghadap ke luar jendela ruangan.
“Pak Fajar juga, harus selalu menjaga kesehatan.”
Fajar kali ini menoleh, menatap batang rokok menyala di antara jemarinya.
“Kamu tidak suka perokok?” tanyanya dengan santai.
“Aku hanya senang melihat Pak Fajar sehat.” Rini mengatakannya dengan bibir bergetar, agak kikuk dan memutuskan untuk buru-buru meninggalkan ruangan. Namun sayangnya Fajar lebih cepat menyusulnya dan memeluknya dari belakang, mengendus tengkuknya. Rini bisa merasakan napasnya yang hangat dan membuat seluruh bulu kuduknya meremang. “Mas,” panggilnya tatkala merasakan bibir Fajar mulai singgah pada kulit sisi lehernya. Fajar menempelkan bibirnya pada daun telinga Rini. Kemudian berbisik padanya,
“Aku senang kamu perhatian padaku,”
“Hem,” Rini menganggukkan kepalanya. Lalu menatap kedua lengan Fajar yang masih memeluk pinggang juga kedua lengannya dengan erat dari belakang membuat Rini tidak bisa menyingkirkan kedua lengan Fajar yang kokoh. Fajar masih mengendus sisi leher Rini. Fajar tahu suhu tubuh Rini mulai berubah. “Mas nggak kerja?” tanya Rini lirih.
“Aku butuh kamu,” Fajar memutar tubuh Rini hingga menghadap padanya dan membawanya menuju ke ambang pintu ruangan kerjanya, setelah menutupnya Fajar mendorong langkah kaki Rini hingga berada di sisi meja kerjanya.
Rini awalnya kebingungan, tapi dia menerima pagutan bibir Fajar dan sentuhan Fajar pada tubuhnya. Penutup area intim Rini jatuh di lantai, disusul baju yang tersisa. Fajar mengangkat satu kaki Rini dan memulainya. Rini merasakannya, dan menikmatinya. Dia memeluk tengkuk Fajar, bibir Fajar sibuk memanjakan sisi bukit kenyal pada d**a Rini. Fajar mengatur berbagai posisi tanpa meninggalkan meja kerjanya, dan terakhir dia membuat Rini duduk di tepi meja dengan kedua kaki mengait pada belakang pinggangnya.
Rini memekik kecil, menatap wajah Fajar yang kini masih sibuk dengan aktivitasnya. Kening dan sekujur tubuh mereka basah oleh keringat. Sampai semuanya usai, Fajar melepaskan tubuh ramping Rini dan membiarkan Rini memakai bajunya kembali.
“Jangan tergesa-gesa, pakai bajumu jangan sampai ada kancing yang terlewat.”
Rini tidak mengerti kenapa Fajar berpesan seperti itu. Fajar mengambil penutup tipis di lantai lalu berjongkok di depan Rini untuk memakaikannya.
“Pak Fajar cemas dengan Kela?” tanyanya sembari mengangkat satu kakinya, dengan tangan berpegangan pada bahu Fajar.
“Aku tidak senang laki-laki lain melihatnya,” jawab Fajar dengan nada datar. “Jangan kesal,” tambah Fajar.
“Aku nggak kesal, aku senang dengan perhatian Pak Fajar.”
Fajar berdiri lalu meneguk kopi di sebelah Rini berdiri, Rini berjalan pelan mendekat, lalu berinisiatif memeluk Fajar dari belakang. Fajar bisa merasakan rasa sayang Rini terhadapnya. Hanya sebentar lalu Rini segera melepaskannya.
Fajar tidak menahannya lagi, dia membiarkan Rini melanjutkan pekerjaannya di rumah. Hingga sore hari sekitar pukul empat sore, Nuril pulang ke rumah. Nuril melihat Rini sedang menyiram tanaman di halaman depan. Dia menatap penampilan Rini masih sama dari ujung kaki hingga ujung kepala. Nuril kesal sekali, dia langsung menunjuk wajah Rini seraya berjalan mendekatinya.
“Apa ini! Heh!”
“Kenapa, Bu? Ada yang salah dengan penampilan saya?” Rini menatap dasternya yang kumal dan tidak berwarna.
“Uang yang aku kasih pagi tadi kamu belikan apa? Lupa sama pesanku? Atau si Fajar yang nggak becus ngurus kamu!” Nuril semakin kesal menatap Rini yang kini linglung. Nuril segera memutar badan dan beralih pergi ke dalam rumah.
Rini baru ingat tentang uang yang diberikan Nuril padanya pagi ini, dia harus menggunakannya untuk pergi ke salon. Rini segera melemparkan selang air dan berlari masuk ke dalam rumah menyusul Nuril.
“Saya yang lupa Bu! Maaf,” Rini menghentikan langkah Nuril tepat sebelum Nuril menggedor ruangan kerja Fajar.
Di dalam ruangan kerjanya, Fajar mendengarkan percakapan Nuril dan Rini. Fajar segera membuka pintu dan melihat istrinya memasang wajah kesal sambil berkacak pinggang di depan Rini.
“Ada apa Nur? Ribut terus?”
“Ini kenapa penampilan Rini masih seperti rempeyek goreng? Kamu lupa apa culun?!” bentaknya.
“Kenapa? Rini sudah cantik begini,” jawabnya santai.
“Cantik-cantik! Mata kamu mimisan!” bentak Nuril pada Fajar.
Fajar sudah tidak bisa berkata-kata kalau Nuril sudah berteriak padanya seperti itu.
“Kamu buruan mandi! Lekas antar Rini beli pakaian, aku nggak suka lihat penampilan dia burik begini! Mana lakuuuu kalau burik beginiiii!” ujarnya pada Fajar sambil menarik lengan Fajar ke kamar.
“Nur, aku nggak mau Rini kamu bawa ke komplek, kamu bukannya sudah setuju kalau Rini bantu-bantu aku di klinik?” tanyanya.
“Bukannya kamu senang aku urus perceraian Rini sama Ranto?” tanya Nuril balik sambil berkacak pinggang.
Bibir Fajar bergetar, Nuril melemparkan map berisi berkas dari pengacara yang dia kenal di atas meja.
“Kamu serius?” tanya Fajar dengan tatapan mata tidak percaya, dan dia memeriksa berkas tersebut, semuanya asli. Nuril mengurus pengajuan perceraian Rini dengan Ranto.
“Mandi dan bawa dia ke salon!” Perintah Nuril seraya mendorong Fajar yang kini masih memeluk berkas dalam map agar Fajar lekas masuk ke dalam kamarnya lalu Nuril menutup pintu. Nuril melihat Rini masih berdiri di sana. “Aku sudah membelimu dari Ranto, kamu lupa dia nggak bisa bayar hutangnya?”
“Nggak lupa, Bu, tapi sepertinya saya memutuskan untuk membantu Pak Fajar di klinik saja.”
“Gajinya kecil! Nggak cukup buat beli baju apalagi bayar sekolah anak kamu, masih tetap ngeyel di klinik?” Tanya Nuril pada Rini.
Rini terlihat mulai bimbang, memang inilah yang Nuril inginkan. Rini bersedia bekerja di komplek miliknya untuk mendapatkan banyak uang!