Tiba-tiba, udara di dalam apartemen luas itu terasa begitu padat. Kirana menatap Bramasta lama tanpa berkedip. Yang terpikir di benaknya saat ini hanyalah kemungkinan terburuk tentang hubungan mereka. “Saya tidak bisa menikah dengan Pak Bramasta bukan karena tidak cinta, atau karena status sebagai istri kedua, simpanan, atau sejenisnya,” jawab Kirana, merespons ajakan nikah Bramasta. “Lalu apa, Kirana?” Suara Bramasta terdengar berat, seperti seseorang yang menahan lelah dan putus asa. “Jika kita menikah, akan banyak hati yang terluka,” ucap Kirana. “Ada Sheila, orang tua Pak Bram, juga Bu Ambar, dan mungkin banyak pihak lain yang tanpa kita sadari ikut tersakiti oleh pernikahan kita.” Padahal, meskipun Bramasta sudah bercerai dengan Ambar—atau seandainya mereka bertemu saat Bramasta s

