Surabaya

1327 Kata
"Jangan nakal sama Mbok Sri, ya. Mama akan pulang lusa, Akram mau dibawain apa?" tanya Elaine menatap anaknya dengan lembut. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan Akram ke luar kota. Tapi saat ini hanya dia yang bisa menghandle pekerjaan. Dia tidak mungkin merengek menolak karena mempunyai anak kecil. Mau bagaimanapun, ini adalah bagian pekerjaannya. Akram menggeleng pelan. Dia menatap ibunya dengan senyuman. "Akram mau ke pasar malam lagi sama om Devan." Jawaban Akram membuat Elaine mengerutkan dahi tidak senang. Sepertinya kehadiran bosnya itu telah menarik perhatian anaknya terlalu jauh. "Kalau begitu, kita bicarakan ini saat Mama sudah pulang. Oke?" ungkap Elaine dengan senyum menawannya. Dia tidak mungkin mengungkapkan secara gamblang jika dirinya tidak terlalu menyukai anaknya itu dengan Devan. "Oke," jawab Akram. Elaine segera memeluk anaknya dengan erat. Berkali-kali dia menciumi wajah menggemaskan bocah itu. Mau bagaimanapun, ini adalah yang pertama baginya meninggalkan Akram begitu lama. Begitu pelukan itu terlepas, Elaine segera menatap Mbok Sri. "Titip Akram, ya, Mbok." "Santai saja, Non. Akram pasti akan nyaman dengan saya," kata Mbok Sri. Elaine mengangguk, setelah itu dia berbalik dan pergi dari sana. Di depan sudah ada ojek yang menanti dirinya. Saat ini, dirinya harus datang ke kantor lebih dulu untuk mengambil dokumen penting. "Hati-hati, Mama," teriak Akram yang tiba-tiba keluar dari rumah. Dengan lambaian tangan, Elaine membalas Akram. Wanita itu masih tersenyum sampai sosok Akram mulai menghilang dari pandangannya. *** "Sudah semua?" tanya Elaine pada Desy. Ketua tim pemasaran yang sudah berusia matang itu mengangguk. Wanita itu melihat lagi barang-barang yang ada di mejanya. Seolah memastikan jika tidak akan ada yang terlewat. "Sudah, nanti jika sampai di Surabaya kamu langsung saja datang ke kantor cabang. Mereka yang akan menangani sisanya," jelas Desy. "Baiklah," jawab Elaine mengangguk. Dia mulai mengambil beberapa berkas dan merapikannya di tas kerjanya. "Terima kasih, El. Aku sangat lega karena kamu mau turun tangan. Hati-hati, ya. Sopir perusahaan sudah menunggumu di bawah," ungkap Desy tersenyum. Elaine mengangguk. Setelah semua persiapannya selesai. Dia segera pergi dari sana. Wanita itu menarik koper yang berisikan barang pribadi miliknya, sambil tersenyum menyapa semua orang yang dilewatinya. Begitu sampai di halaman kantor, Elaine tampak celingukan menatap kanan dan kiri. Mencari mobil yang dimaksud oleh Desy tadi. Seharusnya sopirnya sudah siap, tapi kenapa tidak ada mobil apapun di depan? Baru saja Elaine hendak menelpon Desy untuk mempertanyakan, sebuah mobil limosin hitam terlihat mewah berhenti di depan Elaine. Hal ini tentu saja membuat Elaine merasa heran. Apakah pihak perusahaan tidak salah memilih mobil? Bagaimana bisa dia yang karyawan biasa disuguhi oleh mobil semewah ini? Pintu mobil tiba-tiba terbuka, dan sosok yang paling dihindari Elaine muncul dari dalam. Devan keluar dengan pakaian santainya, menatap Elaine dengan senyum sumringah yang tidak biasa. "Pak Devan," panggil Elaine. "Hai, El. Aku ke sini untuk menjemputmu," kata Devan mendekati Elaine. "Menjemput?" beo Elaine dengan dahi berkerut. "Ya, bukannya kamu bilang akan ke Surabaya? Kebetulan aku juga ada pekerjaan proyek di sana. Jadi kita bisa bareng," ungkap Devan. Apa ini semua kebetulan? Atau hal yang telah disengaja? Elaine tidak bisa memikirkan hal itu. Karena baginya sikap Devan terkadang begitu sulit untuk ditebak. "Tapi, Pak. Perusahaan telah menyiapkan keberangkatan saya," tolak Elaine secara halus. "Oh, aku membatalkannya. Hal itu hanya akan membuang-buang akomodasi yang tidak penting. Bukankah jika kita bisa bareng maka lebih irit?" tanya Devan dengan sebelah alis terangkat. Helaan napas pelan terdengar dari bibir Elaine. Kenapa bisa bosnya memikirkan tentang hal sekecil itu? Apa pekerjaannya sebagai CEO itu kurang banyak sehingga dia sampai mengatasi hal sepele seperti ini? "Ayo, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu ingin ketinggalan pesawat?" ucap Devan sedikit sarkas. Hal ini membuat Elaine langsung mendongak. Menatap Devan dengan mata bulat sempurna. Seharusnya dia berangkat dengan jalur darat. Tapi kenapa bosnya itu mengajaknya naik pesawat? Bukannya hal ini malah tambah boros? Elaine benar-benar hanya bisa menggelengkan kepala dengan mata yang terpejam beberapa saat. Tak ingin pusing memikirkan, dia akhirnya mengikuti Devan yang mulai masuk ke dalam mobil. Sopir itu membawa barang-barang Elaine ke bagasi, sebelum akhirnya duduk di bagian kemudi. Melihat majikannya sudah siap, dia mulai melajukan mobilnya meninggalkan perusahaan. Jarak yang seharusnya ditempuh selama seharian itu, kini bisa disingkat hanya dalam 2 jam saja. Elaine masih merasa segar, karena perjalanan jauhnya kali ini tak membuang banyak waktu. Hal ini membuat Elaine tersenyum tanpa sadar. Dia harus berterimakasih atas kebaikan Devan kali ini. Begitu sampai di bandara, sudah ada yang menjemput mereka berdua. Tapi Elaine merasa heran, karena bukannya langsung menuju kantor cabang, mereka malah tiba di sebuah hotel. "Pak, apa ini tidak salah?" tanya Elaine. "Apanya yang salah, Elaine? Kita baru saja melakukan perjalanan jauh. Sudah sepatutnya kita beristirahat lebih dulu. Apa kamu mau langsung bekerja? Sudahlah, santai saja. Tidak ada yang mengejar-ngejar dirimu. Lagi pula mereka tahunya kamu masih di jalan," ungkap Devan panjang lebar. Elaine benar-benar tidak bisa membantah ucapan Devan. Wanita itu juga tidak mungkin memaksa. Dia sendiri belum tahu di mana kantor cabang itu berada. Sopir yang baru saja menjemput mereka telah pergi entah ke mana. Kini tinggal mereka berdua yang masih ada di depan halaman hotel. Devan sesekali mengecek teleponnya. Sedangkan Elaine terlihat kalut memikirkan tentang pekerjaannya. "Ayo," ajak Devan untuk masuk. Mau tak mau Elaine segera mengikuti. Wanita itu hanya diam ketika Devan mulai memesan kamar untuk mereka. Matanya tampak awas menatap sekeliling, mengamati bangunan hotel yang sangat mewah ini. Devan menepuk bahu Elaine singkat sebelum berjalan mengikuti seorang wanita di depannya. Dia menoleh untuk memastikan bahwa Elaine mengikutinya. Setelah itu dia kembali berjalan dengan kepala terangkat angkuh. Elaine yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil berdecak lirih. Di saat mereka sampai di tempat tujuan, dahi Elaine berkerut dalam. Karena ruang yang dituju hanya ada satu pintu. Hal ini membuat pikiran Elaine menjadi buruk. Tidak mungkin, kan, bosnya akan mengajaknya tidur sekamar? "Elaine," bentak Devan merasa kesal. Sudah beberapa kali dia memanggil wanita itu. Tapi yang dipanggil hanya berdiam diri melamun. "Ayo masuk!" ucap Devan ketus. Dia terpaksa menarik tangan Elaine, agar wanita itu tidak kembali terbengong. Ternyata yang dipikirkan Elaine salah. Ruangan yang dimasukinya bukan sebuah kamar hotel. Melainkan tempat seperti apartemen. Di sini bahkan ada ruang tamu, dapur dan dua kamar tidur. Tempat ini begitu mewah. Apakah semua ruangan hotel di sini seperti ini? "Tidak." Seolah mengerti apa yang dipikirkan Elaine, Devan menjawab dengan tegas. Lelaki itu mulai duduk di sofa, dan merentangkan kedua tangannya. "Hotel ini bekerja sama dengan perusahaan Calief tbk. Dan semua hotel yang ada di bawah naungan perusahaan itu menyediakan tempat khusus bagi pemiliknya. Jadi setiap aku atau keluargaku datang, kita tidak perlu repot-repot memesan kamar karena sudah ada tempat persinggahan," jelas Devan. Elaine mulai paham sekarang. Wanita itu mengangguk-anggukan kepala sambil menatap sekitar. Pantas saja semua perabotan di sini terlihat mewah. Ternyata ini bukan ruangan sembarangan. Melihat Elaine yang masih berdiri, membuat Devan tersenyum. Lelaki itu tiba-tiba menarik tangan Elaine menuju ke sebuah ruangan. "Ini akan menjadi kamarmu untuk sementara. Sedangkan aku ada di sebelahmu," ungkap Devan mengajak Elaine masuk ke dalam kamar. 'Kamar yang begitu mewah,' pikir Elaine. Wanita itu sampai tak membalas ucapan Devan karena saking kagumnya dengan pemandangan di depannya. Dia bahkan mengabaikan Devan dan mulai masuk ke dalam. "Kau menyukainya?" Mendengar itu membuat Elaine membalik badan dan menatap Devan. "Ya," ucapnya lirih sambil tersenyum. Melihat tidak ada masalah lagi, Devan berniat pergi ke kamarnya sendiri untuk istirahat. Tapi baru beberapa langkah, dirinya terhenti ketika merasa tangannya ditarik. Hal ini membuat Devan dengan cepat berbalik dan menatap Elaine lekat. "Terima kasih, Pak," ucap Elaine begitu tulus. Senyum tipis mulai terbit di bibir Devan. Tapi tiba-tiba dia berwajah masam dan menatap Elaine kesal. "Tidak bisakah kamu tidak memanggilku 'Pak'?" keluh Devan. "Maksudku, jika kita hanya berdua jangan panggil aku seperti itu. Aku benar-benar merasa tidak nyaman," imbuhnya. "Lalu mau dipanggil apa?" tanya Elaine dengan kedua alis terangkat. "Sayang saja bagaimana?" goda Devan. Tapi respon Elaine diluar dugaan. Wanita itu merasa jantungnya berdegup kencang. Matanya menatap Devan begitu lekat. Apalagi melihat senyum Devan yang begitu mempesona. Wanita itu sampai tidak sadar, jika Devan hanya bercanda berbicara seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN