Bab 4

1950 Kata
Ucapan pelayan tadi langsung mengubah moodku yang tadinya bahagia bisa menikmati makanan seenak ini menjadi rusak seketika. Makanan yang tadi terasa nikmat seakan berubah menjadi batu dan membuat dadaku sesak. Hamil? No way! "Sudah makannya?" Rakha menyentuh bahuku. Wajahnya terlihat pucat sejak kembali dari toilet. "Hilang selera makan gue gara-gara elo," aku menatap Rakha tidak bersahabat, "antarin gue balik ke hotel," sambungku masih dengan wajah kesal. "Yeee kok gitu, kita belum selesai menikmati keindahan kota ini. Kok malah balik ke hotel sih," balasnya. "Au dah, gue lagi syebel sama elo cong dan jangan bikin gue makin syebel," gerutuku kesal. Rakha melihatku tajam. "Sensi amat sih cantik, kayak ibu-ibu bunting yang ngidamnya nggak kesampaian." Tatapanku semakin tidak bersahabat saat dia membahas masalah perbuntingan. "Terus kalo gue bunting elo pikir bisa duduk dengan santai di depan gue. Yang ada gue bakal bunuh elo ya cong. Biar nggak ada lagi manusia nggak jelas kayak loe ada di dunia ini, ngaku homo tapi malah nidurin gue! Setahu gue ya homo itu nggak doyan sama perempuan. Gue jadi curiga kalo elo itu beneran homo atau cuma alasan supaya bisa lihat gue telanjang?" Tawa keras langsung keluar dari mulut Rakha. Aku sedikit malu saat beberapa pengunjung dan pelayan melihat ke arah kami, mungkin mereka pikir kami manusia dari planet neptunus. "Ya nggak lah, gue beneran homo kok. Lagipula kalo gue normal dari dulu kali gue nidurin elo, ngapain nunggu mabuk dulu." "Lama-lama gue bunuh juga elo saking syebelnya. Jawab mulu." "Terus anak kita nggak ada bapaknya dong. Masalah tidur meniduri loe sendiri menikmati kan? Jadi jangan salahkan gue doang, masalah elo nantinya beneran bunting kan gue udah bilang kalo gue bakalan tanggung jawab." "Syarap loe!" aku lalu berdiri dan langsung menuju kasir tapi Rakha menahan tanganku. "Gue yang bayar, elo tunggu di luar saja." Rakha bergegas mengeluarkan dompetnya dan membayar semua tagihan. Aku lalu keluar dan mataku melihat sebuah apotik kecil di samping rumah makan, aku melihat ke arah Rakha dan diam-diam menuju apotik tadi. "Tespack pak." "Mau yang murah apa yang mahal mbak?" "Buruan pak," aku sedikit bergegas agar Rakha tidak tahu aku membeli alat sialan itu. Bapak pemilik apotik mengeluarkan berbagai merek dan aku langsung mengambil semua alat itu lalu memasukkannya ke dalam tas. "Berapa pak?" "140 mbak," balasnya. Aku mengeluarkan dua lembar uang dan bergegas meninggalkan apotik. "Mbak kembaliannya?" teriak bapak pemilik apotik. "Ambil saja." "Semoga positif ya mbak!" teriak si bapak. Aku menutup telinga dan berharap ucapan bapak tadi tidak menjadi kenyataan. **** Sepertinya hari ini sangat tidak bersahabat bagiku, sesampainya di hotel tanpa sengaja aku melihat nenek lampir AKA mbak Siska AKA istrinya mas Micko sedang bergelayut manja di tangan laki-laki seusia ayah. Ini bukan sekali dua kali aku melihat iparku yang ganjen itu bersama laki-laki lain dan bodohnya mas Micko selalu tidak percaya dengan laporanku. Kenapa harus di hotel yang sama sih. "Gem, bukannya itu istrinya mas Micko?" Si b*****g malah memperjelas keberadaan kami. Sialnya mbak Siska mendengar suara Rakha, dia melepaskan pegangannya seakan kaget melihatku ada di hotel yang sama dengannya. Mbak Siska mendekatiku, aku yakin dia pasti akan memintaku menutup mulut. "Gema." "Alasan apa lagi? Gue nggak nyangka ya elo masih nggak bisa berubah. Kasihan mas Micko capek-capek kerja eh bininya malah jalan sama om-om di hotel pula!" Rakha berusaha menenangkanku. Lucunya kali ini mbak Siska tidak membantah seperti dulu saat aku melihatnya jalan dengan laki-laki selain mas Micko. "Apa sih, dia harus diberi pelajaran. Gue kasihan sama mas Micko!" ocehku saat Rakha masih berusaha menarik tanganku. "Itu mas Micko. Elo ngoceh mulu kayak buzzer politik. Loe pikir mereka selingkuh? Lah mas Micko nya ada." Tunjuk Rakha ke arah belakangku, aku memutar badan dan melihat Mas Micko bersama laki-laki tua tadi seakan akrab. "Dia ayah kandung mbak yang sudah lama nggak ketemu." Oke, kayaknya ada kesalahpahaman di sini. Ya jangan salahin aku dong kalau punya pikiran sempit tentang dia. "Maaf." Setelah basa basi dan berbincang ala kadarnya aku pun kembali ke kamar. Aku menghempaskan tubuh yang lumayan lelah ke atas sofa. Rakha berusaha menahan tawanya, aku yakin nanti dia pasti akan meledekku. "Apa loe tawa-tawa, colok juga mata lo ya!" "Kagak, makanya elo itu jangan emosian mulu." "Berisik! Balik gih ke kamar elo. Nanti pacar baru loe ngambek lagi," usirku kasar. Rakha membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air mineral. "Nggak ah, tidur di samping elo lebih enak." Setelah menghabiskan air mineralnya Rakha pun berbaring di sampingku dan lagi-lagi hanya dalam hitungan menit aku bisa mendengar suara dengkurannya. **** Pagi ini aku dan Rakha akhirnya kembali ke Jakarta, awalnya kami ingin langsung menuju kantor tapi telepon dari bunda membuatku memutuskan menambah waktu libur. Untungnya pak Hendrawan setuju, sebelum ke rumah bunda aku sengaja singgah ke apartemen dulu untuk mengambil beberapa dokumen yang akan aku bawa besok. Saat akan membuka tas tiba-tiba aku teringat akan tumpukan alat tes kehamilan yang belum sempat aku coba. Niat hati ingin mencobanya tapi aku takut hasilnya tidak sesuai dengan keinginanku. Aku mengeluarkan semua alat itu dari tas dan membuangnya ke dalam tong sampah. Aku yakin nggak mungkin di perutku ada anaknya Rakha. Aku menatap tong sampah lumayan lama. Hatiku masih ragu dan akhirnya aku kembali memungut tespack dan menyimpan semua tespack itu ke dalam laci. Drttt drttt Aku melihat nama bunda di layar ponselku. "Iya bunda sabar, lagi jalan." Entah apa tujuan bunda menyuruhku datang ke rumahnya. Sebagai anak mau tidak mau aku pun terpaksa mengiyakan daripada dikutuk jadi anak durhaka dan entah kenapa aku punya firasat buruk kalau tujuan bunda menyuruhku datang ke rumah pasti berhubungan dengan jodohku. Dan firasatku ternyata benar. Aku melihat bunda menyusun beberapa foto laki-laki berpakaian formal di atas meja. Mulutnya tidak berhenti menjelaskan kelebihan dan kekurangan si pemilik foto seakan bunda itu marketing yang sedang menjajakan barang dagangannya. "Nah yang ini bunda suka," bunda mengangkat sebuah foto yang menampilkan laki-laki berjas abu-abu. "Aku nggak mau nikah, bun." Entah kenapa aku alergi setiap mendengar kata pernikahan, bagiku pernikahan itu hanya buang-buang waktu dan bodohnya banyak orang terbuai dengan kata pernikahan. Bahkan ada beberapa perempuan mau menikah karena umur yang tidak lagi muda. Trauma kah aku? Tentu tidak, aku tidak pernah jatuh cinta dan mengalami trauma hingga membenci pernikahan. Bagiku pernikahan itu hanya mengekang  hidup manusia, bagi perempuan menikah itu selayaknya neraka. Kita harus siap meninggalkan pekerjaan dan kehidupan pribadi untuk mengurus rumah tangga. Iyuhhhhh, sungguh menyebalkan! “Sampai kapan kamu hidup sendiri tanpa suami?” tanya bunda saat aku menolak keinginannya mengatur perjodohan. “Gema belum mau menikah bunda,” balasku sinis. “Lah, kok nggak mau? Umur kamu berapa? Mbak dan Mas-Mas kamu semuanya sudah menikah dan punya anak, masa kamu nggak mau sama seperti mereka?” balas bunda tidak mau kalah. Ya, semua saudaraku memang sudah menikah tapi apakah mereka bahagia? Mbak Hanin? Ah aku jadi kasihan padanya. Mas Micko? Beuhhhh, mas Micko itu bucin alias b***k cinta. Cintanya ke mbak Siska membuat akalnya tertutup hingga tidak peduli kalau istri yang dicintainya itu berkali-kali mengkhianatinya. Mas Farel? Masih tergila-gila dengan istri Mas Fadel hingga mencari sosok istri yang sangat mirip dengan cinta pertamanya itu. Bahagiakah mereka? Aku pikir tidak, ya kali bahagia sedangkan Mas Farel masih sering bersenang-senang dengan wanita lain sedangkan di rumah istrinya sibuk mengurus anak-anaknya. Mas Fadel? Mungkin bisa dibilang dari semua saudaraku hanya dia yang terbilang normal. Pernikahaannya berjalan dengan lancar. Aku salut dengan kesetiaan mereka selama ini tapi siapa yang jamin cinta itu tidak bakal luntur? Sosok mana yang bisa aku jadikan panutan tentang pernikahan? Nggak ada dan itu membuatku semakin enggan untuk menikah. “Gema!” panggilan bunda membuyarkan lamunanku. “Apa sih bun, nggak akan ada pernikahan apalagi pakai cara jodoh-jodohin sama orang yang nggak aku kenal." Aku mengambil tasku lalu meninggalkan bunda yang masih mengomel, aku bosan dan lebih memilih kembali ke apartemen untuk menyelesaikan pekerjaanku sebelum pak Hendrawan besok ngamuk saat belum menerima laporan kerjaku selama di Padang. Drttt drtt Saat akan meninggalkan rumah bunda, ponselku bergetar. “Halo cong, ngapain lagi sih. Gue lagi bete dan nggak mau diganggu!” “Gue nginap di apartemen elo ya.” “Elo mabok lagi? Set dah, nggak takut tu liver pecah. Mabok mulu dah! Ya sudah gue lagi jalan ke apartemen, elo masuk aja ke apartemen gue.” Aku membuang ponsel ke kursi di sampingku. Aku meninggalkan rumah bunda dan bergegas menuju apartemen. Nggak lucu si b*****g bikin keributan di depan apartemen seperti waktu itu dan aku terpaksa ditegur satpam karena penghuni lainnya merasa terganggu. “Halooooo Gema cantik,” teriaknya saat melihatku berjalan mendekatinya. Aku menutup mulutnya yang tercium bau alkohol. Aku tidak mau membuat penghuni lain keluar di tengah malam seperti ini. Aku mengambil kunci apartemen di dalam tas dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan masih memegang tubuhnya yang linglung akibat pengaruh alkohol. “Berhenti berisik cong, elo mau gue diusir dari apartemen ini?” bisikku. Aku kembali mengorek isi tas dan tanpa sadar aku menemukan sebuah benda terselip di antara dompetku. Tanganku tiba-tiba bergetar saat memegangnya dan aku melihat laki-laki yang masih mabok ini dengan panjang. “Cong, gue beli tespack.” “Heh." “Ah lupakan, tahu apa elo!” aku kembali menyimpan alat itu dan mengambil kunci apartemen. Aku membuka pintu dan menyeret tubuh Rakha menuju sofa. Aku mendorong tubuhnya hingga tertelungkup di atas sofa. Aku kembali teringat kejadian sebulan yang lalu, saat Rakha patah hati dan mabok seperti hari ini dan gilanya aku terpancing hingga kami akhirnya b******a di sofa sialan itu. Setelah yakin Rakha akhirnya tidur barulah aku mengambil lagi alat tes tadi dari dalam tas dan juga yang tersimpan di laci lalu membawanya ke kamar mandi. Tuhan tidak akan sekejam itu kan? Nggak lucu aku hamil anak dari sahabatku sendiri dan sialnya orientasinya berbeda dari laki-laki kebanyakan. Aku masih menunggu alat itu menunjukkan hasil, sesuai dengan petunjuk akan keluar dua garis merah kalau aku hamil dan satu garis kalau aku tidak hamil. Satu menit. Muncul satu garis, napasku yang tadinya tercekat mulai lancar. Hampir saja aku bersorak girang dan bersyukur ternyata Tuhan tidak sekejam itu padaku. Tapi menurut petunjuk aku harus menunggu tiga menit dan aku pun masih memegang alat itu sambil berdoa jangan sampai garis kedua muncul. Dua menit. Masih tidak muncul. Tiga menit. Sialan! Perlahan-lahan garis tipis muncul di alat itu. Aku membuang alat tes pertama itu ke dalam tong sampah dan mengutuk kebodohanku. Aku mencoba semua alat dari yang termurah sampai paling mahal dan hasilnya tetap sama. Dua garis. Berarti aku hamil kan? “Aku hamil? Arghhhhh dasar b*****g homo!” teriakku kesal. Aku keluar dari kamar mandi dengan muka merah menahan tangis dan juga marah. Aku langsung menuju tempat Rakha tidur, aku ambil bantal guling lalu memukulnya berkali-kali untuk membuang rasa kesalku. “Bangunnnn!’ teriakku. “Apa sih Gem,” rintihnya menahan sakit. “Gue hamil cong,” balasku datar. “Oh …” “Heh, hamil? Kok bisa? Astaga tentu saja bisa, kita kan pernah ML di sini, aduh kepala gue!” Rakha memegang kepalanya. Asap sudah keluar dari kepalaku dan rasanya pengen nyekik dia sampai mati. “Temenin gue ke rumah sakit,” balasku datar. “USG?” “Nggak, gugurin! Elo pikir gue mau mempertahanin anak dari elo? Apa kata dunia dan keluarga gue kalau mereka sampai tahu gue hamil dan bapaknya anak gue itu elo,” balasku dingin. Wajahnya langsung berubah. “Sehina apa gue sampai elo nggak mau anak itu? Gue masih manusia kan? Bukannya babon di kebun binatang,” balasnya dengan mimik menyebalkan, entahlah kenapa aku jadi benci dan jijik saat mengingat benda sialan bernama kon*** itu digunakannya untuk b******a dengan laki-laki lain dan sebulan lalu aku membiarkan dia memasukiku. Gema bodoh! “Hey, kon*** gue nggak pernah ya gituan sama pacar-pacar gue. Elo perdana yang dimasukinnya dan berarti kon*** gue masih suka sama ap** wanita,” ujarnya sambil menyunggingnya senyum sumringah. “Rakha!” bisa-bisanya dia sesantai itu padahal aku hampir gila memikirkan masa depanku. “Nggak ada cerita elo gugurin anak gue ya, besok gue lamar elo. Sekarang izinkan gue tidur ya, bye Gema … bye anak babeh,” tangannya melambai ke arahku. “SIAPA YANG MAU KAWIN SAMA ELO CONG!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN