Chapter 6

1549 Kata
Atas saran Angel, Rose mulai keluar dari kursinya. Melangkah santai ke arah si lelaki itu dan berhenti ketika tubuhnya sudah sampai di sana; di samping tubuh lelaki yang sedang terlihat masih sibuk dengan layar laptop di depannya. Rose tampak sedikit ragu. Namun dengan bantuan kepercayaan diri di tumit runcing high heelsnya Rose mulai memberanikan diri untuk menyapa lelaki itu sambil memamerkan senyuman cantik yang terlukis Indah di bibirnya. "Boleh aku duduk di sini?" Suara yang ditimbulkan dari bibir merah menggoda Rose berhasil membuat lelaki itu menoleh ke arahnya. Ada guratan yang tercetak jelas di kening lelaki itu petanda lelaki itu cukup bingung dengan wanita yang tidak dikenalnya ini kenapa tiba-tiba berbicara kepadanya. Walaupun seperti itu. Lelaki itu juga tidak ingin memberikan kesan yang buruk. Ia mempersilahkan Rose untuk duduk begitu saja dengan senyuman ramahnya. Sepertinya lelaki itu juga tidak dapat menampik kecantikan yang melekat sempurna di wajah seorang Rose. Dan memang seharusnya perlakuan seperti ini lah yang Rose bisa dapatkan dari Alex. Bukan ekspresi datar dan nada acuhnya yang sialan. Rose kemudian meletakkan bongkahan padatnya di atas sofa setelah tadi bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih terlebih dahulu. "Jika boleh bertanya. Apakah kau sendirian di sini?" Rose tidak punya bahan basa basi yang pas untuk di lontarkan. Terlebih baru kali ini ia yang bertindak sendiri untuk mendekati seorang laki-laki. Kebanyakan laki-laki sendiri yang mendekati Rose duluan. Jadi harap maklumi jika topik pembicaraan yang Rose pilih terasa membosankan. "Ya, aku hanya mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan di sini." "Menyelesaikan pekerjaan sambil minum bir?" tanya Rose, sedikit tidak menyangka ada orang yang menyelesaikan pekerjaan di tempat ramai dengan dentuman musik keras seperti ini. Lelaki itu terkekeh. "Terkadang bir bisa menghilangkan penat dari pekerjaan. Dan aku mencoba untuk mempraktekkannya sekarang," jelas lelaki itu santai lalu kini tatapannya beralih ke arah Rose. "Kau juga sendirian di sini?" Rose hanya memberikan jawaban berupa gelengan pelan. "Tidak. Aku bersama temanku." kemudian telunjuk Rose mengarah pada seseorang. Membuat lelaki itu mengikuti kemana arah telunjuk Rose berjalan. Lalu mengangguk mengerti ketika rentinanya menangkap seorang wanita berambut pendek sedang menari lincah di atas lantai dansa. Terjadi hening sesaat. Rose tidak punya bahan pembicaraan lagi untuk dilontarkan sedangkan lelaki itu masih fokus di pekerjaannya. Selang beberapa menit kemudian lelaki itu menghempaskan punggungnya di kepala sofa. Mata Rose melirik ke arah meja, laptop lelaki itu sudah tertutup. "Siapa namamu?" tanya lelaki itu. Bukannya langsung menjawab Rose malah meneliti setiap inci pahatan wajah lelaki itu dari dekat. Wajahnya sangat tampan bahkan karena terlalu tampan ia juga bisa dikatakan cantik. Wajahnya sangat mulus. Di bandingkan dengan wajah Alex dan mantan-mantannya yang lain, lelaki ini mempunyai ketampanan yang cukup unggul. "Panggi saja aku Rose. Kau?" "Namaku Tee." Kening Rose berkerut mendengar nama yang di ucapkan lelaki itu. "Tee?" ulang Rose dengan hapalan yang cukup kaku untuk di dengar. Melihat ekspresi Rose lelaki itu hanya terkekeh pelan. "Kenapa? Apakah aneh?" Rose sedikit tertawa. Sebenarnya jika boleh jujur Rose ingin berkata bahwa ya, nama itu memang sangat aneh. Tetapi Rose akan tampak sangat kurang ajar bila menyeruakan kejujurannya. "Tidak aneh hanya saja terdengar cukup asing ditelingaku." "Itu adalah nama asliku. Orang Thailand sering menggunakan nama itu." "Oh, kau orang Thailand?" Rose cukup terkejut. Ia belum pernah mempunyai kenalan orang Thailand. "Ya, Thailand Singapore lebih tepatnya." "Waw pantas wajahmu sangat tampan." Laki-laki itu hanya tersenyum kecil mendengar mulut Rose yang begitu jujur memuji ketampanannya. "Kau juga sangat cantik. Seperti bukan orang Singapore." "Kau benar karena aku asli Indonesia." "Aku pernah beberapa kali berlibur ke Indonesia. Tetapi jika di perhatikan wajahmu terlihat seperti orang asing?" "Mungkin karena aku terlahir dari darah campuran." "Oh, pantas." Lelaki bernama Tee itu tersenyum lagi.  Ia mengecek ponselnya, ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk. Ia kemudian melirik waktu yang tertera di ponselnya. Jam 3 pagi. "Sepertinya aku harus pergi." Rose menoleh ketika Tee bangkit dari duduknya. Lalu ikut tersenyum ketika lelaki itu berucap sambil menatap Rose dengan senyuman ramahnya. "Senang berkenalan dengamu Rose." Dan Rose mulai menyadari. Tee cukup berbeda dari lelaki lain. Walaupun ia sama sekali tidak memperlihatkan penolakan. Lelaki itu juga tidak memperlihatkan tatapan lelaki hidung belang yang selalu Rose dapatkan dari berbagai tatapan lelaki lain. Lelaki itu berbeda. *** "Bagaimana?" Rose langsung mendapatkan pertanyaan penasaran dari mulut Angel ketika ia sudah masuk ke dalam mobilnya. Sepertinya Angel tidak banyak minum. Terbukti wanita itu terlihat masih waras di saat waktu mulai menjelang pagi. Biasanya Angel akan pingsan jika sudah meminum banyak alkohol. "Bagaimana apanya?" ulang Rose dengan pertanyaan yang sama membuat Angel semakin gemas. "Lelaki tampan tadi. Bagaimana? Berhasil?" Rose mengedikan kedua bahunya acuh. Tangannya mulai menyetir, melajukan mobil mewahnya membelah jalanan Singapura. "Lelaki yang enak di ajak ngobrol. Ya, sedikit masuk typeku." Angel mengembuskan napasnya. "Syukurlah. Setidaknya kau tidak akan terus galau seperti ini jika ada lelaki lain di hatimu Rose." Rose tertawa mendengar kata-kata Angel. Cukup lucu jika temannya menghawatirkan tentang keadaan hatinya. Jujur saja dari dulu yang selalu Rose sepelekan adalah hati lawan jenisnya, tetapi sekarang ia yang mendapatkan rasa menyedihkan itu. Bahkan lebih parah, rasa ini dihasilkan oleh suaminya sendiri. Hanya saja Rose masih tidak bisa mengenyahkan ketertarikannya kepada Alex. Walaupun banyak lelaki di luar sana menginginkannya. Rose masih tetap tertarik dengan Alex, etah kenapa. Mungkin karena lelaki itu satu-satunya yang bisa menolak kecantikan Rose. Dan mungkin karena itu pula rasa penasaran di diri Rose mulai bermunculan tak terkendali. Hingga membuat ia tertantang untuk membuat Alex bertekuk lutut di bawah kakinya. Membuat Alex lari dari peliharaannya. Rose sangat penasaran setengah mati. Secantik apa wanita itu hingga Alex berani menolak Rose secara terang-terangan hanya untuk mempertahankan cinta untuk wanita peliharaannya. *** Roda mobil berhenti berputar di pekarangan mansion Alex ketika langit sudah berubah warna menjadi cerah. Dan Rose sedikit mengumpat kasar ketika mendapati bau tak sedap hasil dari muntahan Angel di dalam mobilnya. Agh sialan wanita itu. Kebiasaan buruknya selalu saja muntah ketika sudah minum. Mungkin nanti Rose harus menyuruh seseorang sopir untuk membawa mobilnya ke tempat pencucian mobil. Rose tidak sudi membawa mobil ketika lubang hidungnya masih menangkap bau tak sedap itu. Uh menjijikan. "Dari mana saja?" Rose hampir saja tersandung ketika ia ingin menaiki tangga menuju kamarnya. Ia mendapati suara seseorang yang menggema menyeramkan beberapa meter dari arah tubuhnya. Rose menoleh mencari asal suara dan ia menemukan tubuh Alex yang sedang menyandar di ujung meja makan dengan kedua tangan menyilang arrogant di depan d**a. Tatapannya tertuju tajam terhadap penampil Rose yang terlihat seperti p*****r murahan. "Aku main di Club," jawab Rose malas.  Sebenarnya sekarang ia tidak ingin berdebat dengan Alex. Matanya sudah berbicara bahwa mereka sudah membutuhkan ranjang sekarang. "Apakah pantas seorang wanita yang sudah menikah bermain di club hingga lupa jalan pulang?!" Langkah Rose terhenti. Merasa heran kenapa lelaki ini jadi semakin menyebalkan. Apakah ia juga akan menceramahi sifat buruknya seperti yang sering di lakukan Ayahnya. Apakah salah seorang wanita menjalani kehidupan yang sedikit lebih gila. Oh dan jangan lupakan malam kemarin Alex juga tidak pulang. Apakah itu sama pantasnya untuk lelaki yang sudah menikah? "Aku lelah. Aku ingin tidur." "Aku sedang berbicara denganmu!" Langkah Rose terhenti kembali ketika suara Alex terdengar menyentak Rose dengan nada kasar. Cukup. Rose hanya bermain di club sampai lupa pulang. Tidak seharusnya ia di perlakukan seperti pembunuh bayaran. Rose tidak melakukan kejahatan fatal. Ia hanya menghilangkan stress di dalam otaknya. Di tempat biasanya selalu membuat Rose nyaman. "Ingat Alex," ucap Rose dengan nada tajam. "Kau memang suamiku tetapi kau tidak berhak ikut campur terhadap kebebasanku. Kau juga tidak pulang kemarin malam. Apa aku juga menanyakan itu? Tidak kan. Lebih baik urusi saja hidupmu. Aku bisa mengurusi hidupku sendiri." Rose yang pertama memutuskan kontak mata mereka. Lalu bergegas naik ke lantai atas untuk segera menjatuhkan tubuh lelahnya di atas ranjang. *** Alex menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan amarah yang masih tidak mereda. Sebenarnya ia bukan hanya kesal dengan Rose yang pulang pagi saja. Ia juga kesal terhadap seseorang yang dari selamam tidak membalas pesan ataupun menjawab panggilannya. Alex merasa khawatir. Apakah kekasihnya menyerah dalam hubungan ini akibat pernikahan sialan yang mengikatnya sekarang. Shit! Itu tidak boleh terjadi. Drett drett Alex refleks langsung menoleh ke arah layar ponselnya yang sedang bergetar di atas meja. Kemudian ia meraihnya dan menjawab pangilan itu. "Halo Alex?" Alex terdiam. Amarahnya masih belum mereda. Tetapi ia tidak boleh memperlihatkannya. Alex harus terdengar baik-baik saja. "Ya." "Apa aku menggangumu?" "Tidak. Aku sedang free." Mengingat kembali tentang semalam Alex mulai bertanya perlahan. "Kenapa semalam tidak menjawab telponku?" Terdengar suara halus di seberang sana mencoba menjelaskan. "Oh, semalam aku ada di ruang operasi. Ada pasien baru yang mengalami kecelakaan. Aku baru selesai tadi jam 5 pagi." "Kukira ada apa. Mommy terus bertanya kenapa tidak ada pesan sedikitpun darimu." "Mommy pasti kecewa karena aku tidak jadi menemuinya." "Beliau cukup memaklumi. Bagaimana pun kau kan cukup sibuk di rumah sakit. Adikku kan seorang Dokter bedah yang selalu dibutuhkan keberadaannya. Mommy dan daddy sangat kagum akan pengabdianmu terhadap pasien-pasien itu." Terdengar embusan napas dari wanita bernama Stella (adik kandung Alex) di sebrang sana. "Yasudah aku tutup ya. Selalu jaga kesehatan dan makan. Kau selalu lupa memberi perutmu makan." Mendengar perhatian itu Alex refleks terkekeh. Dia jadi mengingat hal gila yang selalu rutin ia lakukan dengan adiknya dulu. Bermain game sampai lupa waktu. "Ya, kau juga. Selalu jaga kesehatan di sana." "Em tentu." Kemudian sambungan mereka terputus begitu saja. Namun lebih dari itu Alex mulai sedikit merasa lega. Ia memang sangat dekat dengan adik kecilnya itu. Tetapi sekarang mereka di jauhkan dengan perbedaan negara yang membentang. Alex kemudian mulai memeriksa kembali ponselnya, ia masih ingin mengecek sesuatu yang belum terbalas di ponselnya. Lalu ketika matanya menangkap balasan yang tentera di kotak masuknya. Jantung Alex tiba-tiba meletup kencang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN