Harusnya Bahagia

1066 Kata
Di luar kamar mandi, Aksa masih berbaring di tempat tidur. Namun, ia tidak bisa memejamkan mata. Tubuhnya mungkin terasa rileks, tapi kepalanya penuh akan kerumitan. Tatapannya tertuju ke langit-langit sementara pikirannya kembali ke masa lalu, ke tahun-tahun lalu ketika Lira dengan mudah meninggalkannya demi memilih Revan. “Ada orang lain. Dia bisa memberiku apa yang tidak bisa kamu berikan.” Kalimat itu terus menggema di kepala Aksa dan itu selalu diikuti oleh bayangan wajah Lira yang tegas saat mengucapkannya dulu. Aksa ingat betul bagaimana hancurnya dirinya saat itu. Lira memutuskan hubungan mereka dengan alasan bahwa Aksa hanyalah seorang pegawai biasa. Pria yang tidak punya masa depan yang cukup cerah untuk memenuhi harapannya. Dan sekarang, di sini mereka berada. Lira kembali, tapi tidak dengan cinta seperti yang pernah mereka miliki. Ia kembali dengan tubuh yang dipertaruhkan untuk kebebasan pria lain. Aksa menghela napas panjang, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam kepalanya dengan kedua tangan. Rasa bersalah perlahan menjalar. Meskipun ia mencoba mengusirnya dengan meyakinkan dirinya bahwa ini adalah balas dendam yang pantas, tapi rasa puas yang ia kira akan datang tidak pernah benar-benar menghampirinya. Setelah beberapa saat, Aksa akhirnya bangkit. Ia mengenakan pakaiannya dengan gerakan lambat. Sesekali ia melirik ke pintu kamar mandi yang masih tertutup. Ia tahu Lira ada di dalam dan mungkin sedang menangis, tapi ia tidak ingin berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Sebelum pergi, Aksa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi perbankan. Dengan beberapa ketukan, ia mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Lira. Ia tahu bahwa wanita itu sedang kesulitan, dan meskipun ia tidak mau mengakuinya, ia tidak ingin Lira merasa lebih hancur dari yang sudah ia lakukan. Setelah itu, ia mengirim pesan singkat: “Jangan berpura-pura kamu tidak butuh uang ini. Aku tahu kamu sedang kesulitan. Gunakan untuk keluargamu. Dan jangan lupa, ini bukan bantuan. Anggap saja ini hadiah kecil untuk pengorbananmu malam ini.” Aksa menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya ia menyimpannya di saku celana. Ia berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah kamar mandi. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa saja, tapi ia tahu bahwa tidak ada kata yang cukup untuk memperbaiki situasi ini. Tanpa suara, Aksa membuka pintu dan pergi meninggalkan Lira sendirian di kamar yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Ketika Lira akhirnya keluar dari kamar mandi, matanya bengkak dan wajahnya basah oleh air mata yang tidak sempat ia seka. Kamar itu kosong. Seprai di atas ranjang masih tampak berantakan, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Aksa. Ia melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja. Notifikasi pesan masuk menyala di layar. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan dari Aksa, membaca kata-kata yang membuat hatinya semakin hancur. Air matanya kembali mengalir. Hadiah? Apa aku sekarang sudah jatuh serendah itu? Tidak hanya pesan Aksa yang mengiris hati Lira, notifikasi transfer masuk dengan angka yang begitu besar pun menjadi beban baru. Lira tidak tahu apakah ia harus merasa lega karena setidaknya ia bisa membantu keluarganya, atau semakin muak karena dirinya kini dihargai dengan angka di rekening. Lira jatuh terduduk di sofa. Wajahnya tertunduk dan tangannya mencengkeram kain gaunnya yang tergeletak di lantai. Ia merasa dirinya dihancurkan dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apa aku masih pantas disebut sebagai seorang istri? Seorang ibu? tanyanya dalam hati. *** Dua hari berlalu Pagi itu, Lira duduk di ruang makan kecilnya dengan cangkir teh yang sudah dingin di atas meja. Udara pagi terasa dingin, tetapi pikirannya jauh lebih dingin dibandingkan malam sebelumnya. Setiap helaan napas terasa berat. Setiap suara dari luar rumah seakan menjadi pengingat akan dosa yang ia lakukan. Ketika ponselnya bergetar di atas meja, Lira terlonjak. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel itu dan membaca nama yang tertera di layar, Shanum, sahabat Lira sekaligus pengacara Revan. Dengan jantung yang berdebar kencang, Lira mengangkat panggilan tersebut. “Lira,” suara Shanum terdengar dari seberang, penuh semangat dan kelegaan. “Aku punya kabar baik. Pihak MindSphere baru saja mencabut gugatan terhadap Revan. Mereka tidak akan melanjutkan kasusnya ke pengadilan. Revan bisa bebas hari ini.” Alhamdulillah. Lira merasa d4d4nya mencelos. Perasaan lega yang begitu besar menyeruak. Tetapi di saat yang bersamaan, rasa bersalahnya juga semakin dalam. Ini berhasil, tapi dengan harga yang terlalu mahal. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia kendalikan. “Terima kasih, Shanum,” ucapnya pelan dengan suara yang serak. “Kami akan menjemput Revan di kantor polisi. Kamu mau ikut?” tanya Shanum. Lira terdiam sejenak. Ada bagian dari dirinya yang ingin bersembunyi, tidak ingin bertemu dengan Revan. Tapi ia tahu bahwa ia harus berada di sana. Dengan suara pelan, ia menjawab, “Iya. Aku akan ikut.” “Baiklah. Aku akan menjemputmu sekitar jam 2 nanti.” Shanum kemudian mengakhiri panggilan teleponnya. Usai berbicara dengan Shanum, Lira menghubungi Irma yang sedang mengantarkan Alin sekolah untuk memberi tahu kabar baik itu. Tangannya gemetar saat menekan nomor Irma di ponselnya, tetapi ia tahu bahwa ibu mertuanya itu berhak mendengar kabar bahagia ini. Telepon itu hanya berdering dua kali sebelum Irma mengangkatnya. Suaranya terdengar lelah, tapi penuh perhatian seperti biasanya. “Lira? Ada apa, Nak?” Lira menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang bercampur aduk di d4d4nya. “Bu, Lira ingin ngasih tahu sesuatu. Shanum baru saja menelepon. Mas Revan … Mas Revan akan dibebaskan hari ini. Pihak MindSphere mencabut gugatan mereka.” Di ujung telepon, Irma terdiam sejenak. Sepertinya wanita itu sedang mencoba mencerna kata-kata Lira. Lalu suara isakan pelan terdengar. “Alhamdulillah. Ya Allah, alhamdulillah Revan akhirnya bebas,” tutur Irma dengan suara bergetar penuh haru. “Iya, Bu,” lanjut Lira dengan nada pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan rasa bersalah. “Lira dan Shanum akan menjemputnya di kantor polisi nanti.” Irma tidak bisa menahan tangis bahagianya. “Terima kasih, Nak. Terima kasih karena tidak menyerah. Revan beruntung memiliki istri sepertimu. Doa Ibu setiap hari akhirnya terkabul.” Pujian itu seperti pedang yang menusuk hati Lira. Ia hanya mampu menjawab dengan suara yang pelan, “Ini semua karena bantuan Shanum, Bu.” “Tidak, Lira,” balas Irma cepat. “Bukan hanya karena Shanum. Ini juga karena kamu tidak pernah menyerah untuknya. Ibu tahu betapa sulitnya ini untukmu. Terima kasih, Lira. Alin pasti senang mendengar ayahnya akan segera pulang.” Air mata kembali menggenang di mata Lira, tetapi ia segera menghapusnya dan berusaha terdengar lebih kuat. “Iya, Bu.” Lira menghapus air mata di pipinya dengan gerakan pelan. Seharusnya ini menjadi hari yang bahagia. Tapi kenapa hatiku justru terasa semakin hancur?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN