Damian duduk di bangku singgasananya dengan segelas brandy yang siap melambungkan akal sehatnya. Sudah lama ia tidak pernah minum hingga mabuk, tapi malam ini ia butuh sedikit ketenangan untuk melupakan masalah yang terus-terusan menghantuinya. Kabur untuk sementara waktu rasanya tidak masalah.
Jarum jam terus bergerak maju menunjukkan kekuasaannya dengan angkuh, seolah meledek Damian dari atas singgasananya. Pecundang. Damian tersenyum miris, ya dia memang pecundang. Pecundang yang hanya bisa terdiam oleh kata-kata seorang yang dicintainya.
"Aku rasa anda butuh tidur, Tuan." Mrs. Anna berdiri di hadapan Damian dengan nampan berisi s**u hangat. Mrs. Anna meletakkan gelas s**u tersebut di meja di hadapan Damian sambil menyingkirkan gelas minuman beralkohol yang sudah menemani Damian sepanjang malam. "Sudah cukup lama sejak terakhir kali anda minum." Mrs. Anna berujar lembut.
Damian tersenyum tipis pada pelayan yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak ia kecil. "Hm, sedang ada beberapa pikiran yang membuatku pusing jadi aku minum," jawabnya asal.
"Oh, aku baru tahu jika brandy bisa menjadi pengganti obat pusing. Aku akan mencobanya lain waktu," sindir Mrs. Anna tetapi masih dengan suaranya yang lembut.
Damian meringis. Tetapi kemudian tatapannya teralih pada gelas berisi s**u putih lain yang ada di nampan. "Apakah kau akan mengantarkan ini ke kamar Gabriella?" tanya Damian mengalihkan topik.
Mrs. Anna mengangguk. "Dia menolak memakan makan malamnya, jadi aku berniat mengantarkannya s**u ini."
Damian mengerjapkan matanya, amarah dan kekesalan bercampur di kepalanya. Efek alkohol sepertinya membuatnya jadi lebih emosional.
Gabriella boleh menyiksanya dengan kebencian dan makian, tapi Damian tidak senang jika Gabriella mulai mencoba menyiksa dirinya sendiri. Tidak mau makan malam? Mendengarnya saja berhasil membuat rahang Damian mengeras.
"Dia ingin menyiksa dirinya sendiri? Atau dia sengaja ingin membuatku marah? Berikan padaku!"
Mrs. Anna memberikan nampan berisi s**u dan roti kismis kepada Damian dengan ekspresi khawatir. Tetapi belum sempat protes, Damian lebih dulu melangkah dengan emosi yang berhasil membuat wajah dan telinganya memerah.
Damian membuka dengan kasar pintu kamar Gabriella, matanya menyapu sekeliling ruangan besar itu dan terpaku pada pintu balkon yang terbuka. Di sana rupanya. Damian melangkahkan kakinya dengan rahang mengeras siap memuntahkan omelannya pada Gabriella, melupakan bagaimana lemahnya ia sore tadi begitu mendengar kata-kata penuh kebencian Gabriella. Damian tidak peduli, saat ini dia perlu menjadi sosok kakak yang galak untuk gadis nakal itu.
"Gab—" Kata-kata terputus begitu Damian melihat Gabriella tengah tertelungkup di teralis balkon dengan bahu bergetar. Tidak perlu memastikan berkali-kali, semua orang yang melihat akan langsung tahu gadis itu tengah menangis. Damian terpaku memandangi gadis itu menangis sambil sesekali menghentakkan kakinya atau memukul teralis balkon tersebut.
Rahang Damian yang semula telah mengeras perlahan mengendur, ketegangan, emosi bahkan kekesalannya menguap tersapu angin malam yang bertiup di balkon kamar Gabriella. Laki-laki itu masih menatap Gabriella, namun kali ini dengan sendu. Ia menyadari Gabriella tidak akan pernah bisa bahagia bersamanya.
Gabriella yang selalu menatapnya penuh kebencian, menantangnya, selalu mencari cara untuk kabur dan memberontak itu kini tengah menangis tersedu. Karena Gabriella hanyalah seorang gadis remaja biasa. Yang memiliki perasaan rapuh. Gadis remaja yang akan menangis karena sesuatu menyakitinya. Sialan. Rasanya Damian ingin menghajar dirinya sendiri atas keegoisannya.
Perlahan Damian meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja terdekat, dengan langkah tidak pasti menghampiri Gabriella. Ketukan sepatunya yang begitu pelan membuat Gabriella tidak menyadari kehadirannya.
Begitu jarak mereka tinggal selangkah lagi, Damian menghirup napasnya dalam-dalam. Wangi tubuh Gabriella bercampur sabun mandi khas remaja yang segar ditambah parfum yang seperti permen karet menghampiri indra penciumannya.
Entah keberanian dari mana, Damian memberanikan diri maju lagi selangkah dan merengkuh tubuh mungil yang bergetar itu, hingga ia merasakan dirinya ikut bergetar. Rambut halus Gabriella menyentuh wajahnya, harumnya terhirup ke dalam indera penciuman Damian yang refleks membuatnya semakin mengeratkan rengkuhannya.
"Lepas!" Gabriella mencoba melepaskan rengkuhan Damian dari tubuhnya. Tapi Damian sama sekali tidak bergerak untuk mencoba melepaskan. Yang ada Damian justru mengeratkan pelukan itu dan menghirup dalam-dalam aroma dari rambut Gabriella. "Lepaskan, Damian! Lepaskan aku!"
Damian mengeratkan pelukannya. Kini ia tak hanya menciumi wangi rambut Gabriella namun mulai berani menciumi puncak kepala Gabriella.
"b******k! Lepaskan aku!" Rontaan Gabriella terasa sia-sia. Ia terlalu letih untuk melawan Damian karena tenaganya sudah terkuras untuk menangis sejak sore tadi. "Please!" suara Gabriella terdengar parau.
"Tolong Gabriella, kali ini. Biarkan aku memelukmu," lirih Damian.
Gerakan Gabriella untuk berusaha lepas dari pelukan Damian perlahan berhenti. Gadis itu terdiam beberapa saat sebelum mendesis dengan suaranya yang sumbang akibat terlalu lama menangis. "Aku membencimu."
Meski sangat pelan, Damian masih dapat mendengarnya. Anehnya Damian justru tersenyum meski itu sebuah senyuman miris. "Ya, aku tahu itu," bisiknya penuh lara. Lalu mereka diam beberapa saat dalam posisi Damian yang memeluk Gabriella dari belakang. Sebuah keajaiban karena Gabriella membiarkan tubuhnya disentuh Damian dalam waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya suara Damian memecah keheningan. "Gabriella, aku akan memenuhi permintaanmu."
Gabriella mengerutkan dahinya. Tapi ia tahu, Damian tidak akan melihat ekspresi bingungnya karena posisinya yang memunggungi Damian. "Maksudmu?" tanya Gabriella dengan nada keheranan.
"Persis seperti apa yang aku katakan," jawab Damian lembut tapi dengan keseriusan dalam nadanya.
Gabriella semakin bingung. "Kau akan melepaskanku?" kali ini Gabriella tidak bisa menyembunyikan nada penuh harap dari suaranya. Tidak menyadari kalau itu melukai Damian.
"Tidak, tentu saja bukan itu!" Bantah Damian dengan ekspresi muram. Damian membalikkan badan Gabriella untuk menghadapnya. Gadis itu menatap Damian dengan mata bulatnya yang merah dan sembab akibat terlalu lama menangis. Damian membekap kedua pipi Gabriella, ibu jarinya mengusap lembut sisa air mata di pipinya. Sentuhan fisik pertama yang mereka lakukan tanpa adanya pemaksaan dan makian dari mulut Gabriella.
"Apa tidak ada hal lain di pikiranmu selain untuk mencoba pergi dariku, hm?" tanya Damian lembut.
Gabriella memejamkan matanya, menerima perlakuan Damian yang lembut bagaikan beludru membuatnya lemah. Tidak. Gabriella! Kau harus membencinya! "Itu tujuan utamaku." Gabriella mengalihkan wajahnya agar terlepas dari bekapan tangan Damian.
Damian menggaruk ringan kepalanya yang tidak gatal. Untuk malam ini, segalanya lebih dari cukup. Setidaknya mereka berhasil bicara tanpa salah satunya berteriak seperti yang biasanya mereka lakukan. Meski Gabriella belum sepenuhnya bersikap bersahabat dengannya, setidaknya gadis itu bisa sedikit lebih terbuka dengannya malam ini.
"Aku akan mencabut hukuman untuk bocah ingusan itu." Kali ini Damian nampak bersungguh-sungguh.
Gabriella mengalihkan pandangannya menatap Damian tidak percaya. "Serius?"
Damian menangkap nada senang dari suara Gabriella, astaga kenapa rasanya ingin sekali ia menarik kata-katanya kembali. Perasaan cemburu tiba-tiba menghampirinya. "Ya. Seperti yang sudah aku katakan. Aku akan memenuhi permintaanmu."
Bibir Gabriella mengembang membentuk lengkungan senyum. Hati Damian terasa mencelos. Gabriellanya tersenyum. Ironisnya senyum itu bukan miliknya. Anak ingusan itu jauh lebih beruntung daripadamu pecundang! Batin Damian mengejek dirinya sendiri.
Senyum Gabriella namun ciut dan beringsut berubah menjadi lengkungan ke bawah yang justru menggemaskan. Damian melirik gelisah bibir yang mengerucut itu, astaga ingin rasanya Damian menyapu bibir merah muda itu saat ini juga. Dan kau akan dilempar oleh Gabriella ke kolam di bawah sana, b******n. Batin Damian meledek.
"Kenapa kau berekspresi seperti itu?" tanya Damian mengalihkan perhatiannya dari bibir Gabriella.
Gadis itu menatap Damian penuh selidik. "Apakah ada imbalan atas itu?" tanya Gabriella dengan ekspresi ngeri.
Damian mengerutkan alisnya. "Hah?"
"Aku tidak bisa percaya denganmu. Tadi siang kau sendiri yang bilang aku harus menukarnya dengan—"
"Tidak, tidak Gabriella." Damian dengan cepat memutus perkataan gadis itu sebelum Gabriella salah paham. "Aku tidak akan memaksamu untuk itu. Itu adalah kesadaranmu sendiri dan aku tidak akan meminta apapun darimu kecuali satu hal."
Gabriella menaikan sebelah alisnya, menanti.
"Jangan pernah mencoba pergi dariku, itu saja. Aku tidak akan memintamu untuk yang lain."
Gabriella membuka mulutnya namun kemudian mengatupkannya lagi. Hatinya bagaikan dihantam. Kenapa kalimat itu terasa menyentuhnya dengan cara tidak terhormat? Astaga!
"Setuju?" tanya Damian dengan senyuman lembut penuh antisipasi.
Gabriella mengerutkan kening lagi. Namun ekspresinya berubah menjadi ekspresi datar. "Asalkan kau tidak banyak ikut campur dalam kehidupanku. Dan tidak mengganggu teman-temanku lagi, aku akan mempertimbangkannya."
Bahu Damian langsung rileks begitu mendengarnya. Baru kali ini ia bisa bicara lagi dengan Gabriella tanpa ketegangan dan emosi. Meskipun ada atmosfer canggung yang menyelimuti, tetapi ini jauh lebih baik. "Ya, aku akan memastikan untuk tidak membuatmu ingin pergi dariku."
Gabriella mengejapkan matanya. Kalimat itu akan berarti sangat dalam jika diucapkan oleh orang yang kita cintai. Sayangnya, orang itu justru Damian! Manusia yang paling ia benci di muka bumi.
Gabriella rasa malam ini dirinya sudah terlalu baik pada Damian. Maka dengan cepat Gabriella merubah ekspresinya menjadi datar dan dingin kembali. "Tapi jangan melupakan fakta kalau selamanya aku akan membencimu."
Damian tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Gabriella tidak dapat menangkapnya dengan jelas. "Ya, tentu saja." Karena mungkin aku memang pantas untuk itu, kan? Batinnya. Damian pun memutuskan untuk pergi. "Selamat malam Gabriella" ucapnya lembut.
Gabriella bersedekap dan mengalihkan pandangannya ke samping tanpa menjawab ucapan selamat malam Damian.
Sebelum meninggalkan kamar Gabriella, Damian berbalik. "Jangan mengancamku dengan menyiksa dirimu sendiri. Minum s**u dan makan roti yang sudah Mrs. Anna siapkan. Jika kau masih lapar, panggil dia untuk membawakanmu makan malam."
Gabriella masih mempertahankan posisinya memunggungi Damian meski ia bisa mendengarnya, Gabriella baru berbalik ketika mendengar suara pintu kamarnya ditutup. Gabriella melirik nampan di atas meja kecil di balkonnya. Pasti susunya sudah dingin. Gabriella beringsut mendekati meja kecil itu dan menarik kursi kecil di sampingnya. "Laparrr!" Gabriella pun segera melahap roti buatan Mrs. Anna dan meneguk susunya yang sudah mendingin.