10

2961 Kata
"Jadi, alasan loe dari tadi planga-plongo gak jelas itu karena Bang Arkhan?" Meylan kembali bertanya. Dan Intan mengangguk. "Emang kenapa sama Mas Dokterku? Dia gak bakalan gigit loe, kan?" Falisha bertanya dengan mulut penuh. Membuat Meylan geleng-geleng kepala. "Bang Arkhan emang gak gigit. Cuma ya... Gitu." Jawab Intan ragu. "Kamu gak pernah lihat abangmu kalo ketemu Fali, Kei. Sekali-kali kamu lihat." Ujar Galih. Falisha mendongak. "Emangnya kenapa sama Mas Dokterku kalo ketemu Fali? Mukanya kelihatan banget ya jatuh cinta sama Fali? Fali tahu kok, Mas. Gak usah dibahas." Ujar Falisha dengan percaya dirinya. Galih hanya manggut-manggut saja. "Oh ya, betewe-tewe. Mas Dokterku suka kesini kapan?" Tanyanya penasaran. "Biasanya kalo di RS agak santai, dia bakalan kesini." "Kapan?" "Ya kapan-kapan." "Ih, kok nyebelin." Falisha cemberut. "Biarin. Jadi kamu kesini mau apa nanyain Mas? Mau terima tawaran Mas buat manggung?" Tanyanya penasaran. Falisha menyandarkan punggungnya di kursi. "Mas Galih yang punya Sweet Smile. Fali kan udah bilang Fali itu bisanya nyanyi di kamar mandi. Mana bisa Fali nyanyi di atas panggung." "Ya gak apa-apa. Kamu bisa nyanyi di studio, kok. di lantai tiga. Anggap aja lagi nyanyi di kamar mandi, gak ada yang nonton nya kok." Jawab Galih dengan santai. "Studio? Cafe ini punya studio? Maksudnya studio rekaman?" Meylan memandang Galih. Wajahnya tampak penasaran. Galih mengangguk. "Gibran itu suka sama musik. Gitu-gitu juga dia jago sama alat musik." Intan mengiyakan kata-kata Galih dengan anggukan. "Papa nya Abang itu pengusaha. Sementara Mama itu Dokter, trus Papa Wisnu itu Pilot. Papanya ingin Bang Arkhan jadi pengusaha, sementara Mama maunya Bang Arkhan jadi dokter." "Bokap loe? Gak mau jadiin Mas Dokterku Pilot?" Intan menggeleng. "Papa gak mau maksain Bang Arkhan. Kata Papa, biarin aja Bang Arkhan nentuin apa yang dia suka." Falisha mengerang. "Lah, kenapa bokap loe gak maksa, sih? Kan kalo Mas Dokterku jadi Pilot, lumayan gue bisa numpang pesawat gratis." Rengek Falisha. Meylan memutar bola mata. Sementara Intan memandangnya dengan ekspresi tak percaya. "Trus, abang loe milih jadi dokter?" Meylan kembali pada topik awal. Galih menggeleng. "Dia punya dua gelar. Otaknya terlalu encer buat di sia-siain. Dia kuliah kedokteran sekaligus mengejar gelar sarjana Ekonomi." Jawabnya. Meylan dan Falisha melongo kaget. "Bahkan sambil namatin S2 kedokteran, dia beres di S1 Managemen Bisnis." Lanjut Galih lagi. Falisha dan Meylan terpana. "Jangan-jangan dia ngambil S3 sambil ngambil spesialis." Cibir Meylan. "Belum. Dia keburu magang buat ngambil spesialis bedah. Jadi fokusnya ke sana dulu. Tapi dari dulu emang kesukaannya sama musik gak pernah hilang. Meskipun gak sekolah secara resmi, dia belajar secara otodidak. Biasanya dia bantuin band-band indie buat rekaman. Bayarannya emang gak seberapa dibanding gajinya di RS atau di perusahaan Papa nya. Tapi kesenangannya dia dapat. Apalagi kalau band yang dibantunya bisa maju." Falisha, Intan dan Meylan mengangguk-anggukkan kepala. "Tuh kan, calon laki gue emang udah super dari sononya." Ucap Falisha bangga. Meylan dan Intan berdecih. "Gak papa deh, dia jadi produser musik. Siapa tahu nanti kita sering dapat tiket gratis nonton konser. Kan lumayan." "Loe ngebet banget ya sama Mas Dokterku ya?" Ledek Intan. Falisha mendelik. "Intannissa, Mas Dokterku itu cuma buat Fali. Buat kamu, cukup jadi Bang Arkhan aja." Falisha mencolek dagu Intan. Tak mau membuatnya marah. Nanti bisa-bisa Intan mengadu dan membatalkan proses pedekatenya sama Mas Dokter. "Jadi, setelah Mas ngomong panjang lebar. Kamu mau nyanyi?" Galih kembali kepada Falisha. "Mas kasih jadwal kapan Gibran ke studio minggu ini kalo kamu mau coba." Tawarnya. Falisha berpikir. Intan menyenggol bahunya. "Terima aja. Anggap lagi nyanyi di kamar mandi. Gak ada yang liatin ini. Kalo semisal suara loe jelek, gak bakal ada yang sadar itu suara loe." Sarannya. Intan sendiri sebenarnya tidak pernah mendengar Falisha nyanyi satu lagu. Hanya saja dia suka mendengar ketika Falisha bersenandung. "Ayo, cobain kenapa." Meylan juga memberikan dorongannya. "Baiklah-baiklah. Fans, kalo kalian ngerasa telinga kalian udah pengar, jangan salahin gue. Apalagi kalo kalian mesti dilariin ke THT, karena semua musibah yang nanti kalian alami, itu saran dari kalian sendiri." Ucap Falisha. Meylan dan Intan mengangguk. Falisha, Intan dan Meylan kemudian mengikuti Galih naik ke lantai tiga. Dari lantai dua mereka memasuki sebuah pintu yang diluarnya ditulis "Khusus Tamu Undangan". Pintu itu mengarahkan mereka pada tangga lagi yang membawa mereka ke lantai tiga. Di atas itu, hanya ada dua ruangan yang sepertinya besarnya sama. Bedanya, yang satu memiliki pintu kaca dan jendela besar berwarna gelap. Sementara bangunan yang satu lagi hanya memiliki pintu ganda dari besi yang tergembok dari luar. "Ini gudang makanan. Di dalamnya ada freezer sama bahan makanan. Sementara itu," tunjuk Galih pada ruangan yang hendak mereka tuju. "Studio. Disana juga merupakan tempat tinggal aku dan Gibran jika kami kelelahan dan berniat menginap. Jadi jangan heran kalo kesannya berantakan." Lanjutnya. Ternyata bagian dalam ruangannya itu terasa dingin. Dan tidak seperti yang Galih katakan, ruangan itu benar-benar bersih dan rapi. Jelas sekali begitu terawat. Sepertinya, meskipun tak ada orang, lantai itu terus didinginkan oleh AC dan seseorang terus merapikannya. Ketika masuk, mereka dihadapkan dengan sofa dan beberapa lemari kayu yang tertutup. Lalu ada dua pintu yang saling menyiku. Pintu pertama memiliki jendela kaca permanen yang cukup besar. Dari arah yang mereka asumsikan sebagai ruang tamu, itu adalah ruangan studio. Karena selain ada alat-alat besar, ada juga beberapa komputer di dalamnya. Sementara pintu tertutup satu lagi, Galih bilang itu kamar tidur yang biasa mereka gunakan. Galih membuka kembali pintu kaca dan menyangga pintu dengan suatu ganjalan berat di bagian bawahnya. "Biasanya, para Band Indie mulai off show disini sebelum mereka manggung di bawah." Umumnya. Di ruangan itu juga ada sofa panjang. Lemari es, lemari penyimpanan lain yang ukurannya lebih kecil dari ruang tamu dan tiga kursi putar serta alat audio yang tidak mereka pahami. Falisha biasanya melihat itu di drama-drama yang dia tonton. Karena meskipun neneknya memiliki sebuah rumah produksi, dia tidak pernah kesana. Galih membuka pintu lain dimana alat musik berada. Ada keyboard, dua bass, dua gitar, dan satu set drum merk ternama di dalamnya. "Ini ruang kedap suara. Kamu bisa kesana." Galih menunjukkan mic dan sebuah kursi tinggi. "Pakai headsetnya boleh. Atau enggak juga gak apa-apa. "Nanti, dari luar Mas bakal bicara sama kamu dari sana." Galih menunjuk speaker yang ada di bagian sudut ruangan. "Jadi, kamu mau nyanyi lagu apa? Mau akustik atau mau karaoke?" "Akustik? Maksudnya Fali yang main musik?" Tanyanya. Galih mengangguk. "Fali gak bisa mainin apa-apa. Kan Mas tau, Fali ini penyanyi kamar mandi, bukan seniman." Galih terkekeh. Dia mengacak rambut Fali. "Ya udah, karaoke aja. Pake aplikasi, colokin disini." Galih menunjuk sebuah colokan kecil yang seukuran colokan headset. Falisha mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah aplikasi karaoke dan menyambungkan si kabel tadi pada ponselnya. "Bentar." Perintahnya lalu keluar tanpa menutup pintu. Falisha melihat Galih menyalakan beberapa alat lalu mendekatkan mulutnya ke mic. "Coba bersuara." Perintahnya. Falisha menurut. "Tes, tes, tes." "Good. Audio nya oke. Kamu mau nyanyi apa?" Tanyanya lagi. Falisha berpikir. Kemudian mengetikkan sebuah judul. Musik diputar dan Galih terbelalak. "Lagu lama?" Tanyanya. Falisha hanya mengangguk. Ia memulai liriknya. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu duet, cuma Falisha menyanyikannya sendiri. Tak ada kisah tentang cinta Yang bisa terhindar dari air mata Namun kucoba menerima Hatiku membuka Siap untuk terluka Cinta tak mungkin berhenti... Secepat saat aku jatuh hati... Jatuhkan hatiku kepadamu... Sehingga hidupku pun.. berarti... Gibran menahan langkahnya. Ia mengenal lagu ini, tapi tidak mengenal suara yang menyanyikannya. Apakah ada seseorang yang sedang memutar versi cover lagu ini? Cinta tak mudah berganti Bukankah itu suara Galih? Ya, Gibran mengenali suara sahabatnya. Suara itu sudah bertahun-tahun menemaninya. Bahkan dengan suara itu seringkali Gibran mengejeknya. Tak mudah berganti jadi benci Walau kini aku harus pergi 'Tuk sembuhkan hati Dan kembali, suara wanita yang tak dikenalnya menyahuti suara Galih. Apa pria itu sedang melakukan tes audio? Tanpa nya? Gibran berjalan dengan cepat menuju lantai tiga dengan suara nyanyian mengiringinya. Walau seharusnya bisa saja Dulu aku menghindar Dari pahitnya cinta Namun kupilih begini Biar kuterima Sakit demi jalani cinta Cinta tak mungkin berhenti Secepat saat aku jatuh hati Jatuhkan hatiku kepadamu Sehingga (hingga) hidupku (hidupku) pun berarti Cinta tak mudah berganti Tak mudah berganti jadi benci Walau kini aku harus pergi 'Tuk sembuhkan hati Hanya kamu yang bisa Bisa membuatku rela Rela menangis karenamu Cinta tak mungkin berhenti Secepat saat aku jatuh hati Jatuhkan hatiku kepadamu Sehingga hidupku pun berarti Cinta tak mudah berganti (cinta tak mungkin berganti) Tak mudah berganti jadi benci (tak mudah untuk berganti) Walau kini aku harus pergi 'Tuk sembuhkan hati Biar aku pergi sembuhkan hati Tangga - Cinta Tak Mungkin Berhenti. Gibran mematung di pintu saat melihat siapa yang ada di dalam studio. Itu Galih, dan sosok yang amat ia tahu. Sosok bertubuh kecil yang beberapa kali datang mengganggunya. Entah di panti, rumah sakit atau apartemen. Dan kini, wanita itu menginjakkan kaki di studionya? Gibran memilih duduk di sofa yang memunggungi jendela penghubung antara ruang tengah dan studio. Membiarkan mereka yang ada di dalam tak sadar akan keberadaannya. Suara tepukan riuh terdengar dari dua orang yang ada di bagian dalam ketika Galih dan Falisha selesai bernyanyi. "Keren juga loe." Ucap seorang wanita. "Ya iyalah, Fali gitu. Gak percuma juga ternyata selama ini gue konser di kamar mandi." "Ya ampun, Fali. Itu mah keren efek alat audionya Mas Galih kali." Ledek suara yang berbeda. "Whatever lah." Suara Falisha terdengar menjawab. "Nah, Fali udah nyanyi. Sekarang mana?" Tagihnya. Yang Gibran tak tau untuk apa. "Belum dong, itu kan tadi percobaan. Nah sekarang beneran kamu nyanyi." Ujar Galih dengan nada membujuk. Terdengar cebikan samar. "Kamu emang doyannya lagu-lagu lama ya?" Galih terdengar heran. "Maklumin aja Bang. Fali itu emang muka nya baby face, tapi jiwanya itu tua." Gibran mengernyit. Rasanya ia tahu suara itu. "Gitu ya?" Ledek Galih. "Jangan salahin Fali. Salahin si Iler sama si Santan. Kalo nyanyi sukanya lagu lawas mulu. Kan Fali ketularan." "Tapi yang kemaren di apartemen, itu bukan lagu jadul kan?" Tanya Galih lagi. "Ya,Fali gak sekudet itu juga kali. Kalo lagu Korea-an, pasti update. Tapi yang dramanya fali tonton aja." Gadis itu meringis. "Mau dong denger versi full nya." Pinta Galih. Ada suara gemerisik. "Kenapa?" "Nanti Mas Galih jatuh cinta sama Fali." "Ya gak papa, sama-sama lajang ini. Mas gak rebut istri orang." "Ya gak bisa gitu. Fali gak mau." Tolak gadis itu. "Ntar Mas Dokterku patah hati sama Fali. Fali gak rela." "Kalo kamu yang patah hati sama Mas Dokterku, gak papa?" Tanya suara gadis yang tak Gibran kenali. "Mey-Mey. Fali kan udah bilang, kalo Mey-Mey cukup panggil dia Mas Dokter aja!" Pekiknya lantang. Terdengar suara cekikikan. "Udah, kalo gak mau. Satu lagu lain aja." Tawar Galih. "Oke. Satu lagi, trus nanti Mas Galih kasih janjinya sama Fali." Rajuknya. Mungkin Galih mengangguk. Tapi Gibran tak berani menengok. Dia masih bersembunyi karena tak ingin mereka tahu keberadaannya. "Tahu lagu ini?" Entah apa yang ditunjuk Galih. Tapi sepertinya ada krusukan anggukan disana. Lalu sebuah musik terdengar dan Gibran mengumpat kesal. Jelas lagu itu untuknya dan sepertinya Galih sadar keberadaannya. Dalam diam jiwaku, telah terluka memilikimu Karna ku takkan bisa, tuk selamanya menjadi cintamu. Sesungguhnya, hanya dirimu. Tapi mereka tak mengerti. Dan menentang cinta, ku denganmu Dygta - Pecundang sejati. Lagi. Satu lagu selesai. Dan tepukan tangan terdengar sesudahnya. Meylan dan Intan kembali bertepuk tangan, begitu juga dengan Galih yang sejak tadi masih berdiri di samping Falisha. "Gue kok merinding Fali dengerin suara loe. Selama ini tuh suara loe umpetin dimana?" Meylan menunjukkan tangan kirinya yang meremang. Bukannya menjawab Meylan, Falisha malah memandang Galih. "Mas, kok lagunya nyakitin Fali sih. Nih hati cuma satu, Mas mau robek-robek? Nanti Fali nyanyiin lagunya Nindy mas kapok loh." Ujar Falisha. Ada nada mengancam dalam suaranya. "Lagu Nindy? Siapa lagi tuh? Lagu lawas?" Tanya Intan ingin tahu. "Makanya, dengerin lagu lokal. Bukannya melulu Shawn Mendez loe dengerin." Ledek Falisha. Intan merengut. "Ya kan sekarang jamannya dia, Fali." Intan gak mau kalah. "Tapi beneran, Nindy yang mana?" Intan balik bertanya. Hatiku cuma ada satu... Sudah cukup mencintaimu... Falisha bersenandung dan mencolek dagu Intan serta Meyra tepat pada saat kata 'mencintaimu'. Sudah jangan sakiti, lagi Nanti aku bisa, mati. Ia menekan dadanya dengan gerakan dramatis, membuat Meylan dan Intan kembali bergidik. "Serem banget lagu loe. Masa cuma gara-gara sakit hati, loe bisa mati." Ejek Meylan. Falisha mencebik. "Loe, makanya sering-sering ngobrol sama camer gue. Tanya sama dia, kalo orang sakit hati bakal mati apa kagak. Jawabannya pasti bakal." "Alah, itu mah loe nya aja yang lebay. Mellow." Lanjut Meylan lagi. Falisha berdecak. "Gini nih, kalo banyakan gaulnya sama orang-orang gak pinter." Falisha mengetikkan sesuatu di ponselnya dan menunjukkannya pada Meylan. "Tuh, baca!" "Fali! Ini artikel orang yang meninggal karena 'gagal hati'. Bukan sakit hati." Meylan menggeram kesal. Intan terkikik di sampingnya sementara Falisha hanya mengangkat bahu dengan gerakan tak acuh. "Gagal hati kan sakit. Sama aja." Jawabnya santai. "Yang jelas, gue lebih pinter dari loe. Ini karena gue kebanyakan gaul sama dokter." "Ya elah. Yang dokter siapa, yang ngaku pinter siapa." Ledek Meyran. "Duli amat. Yang jelas gue lebih tau daripada loe, kalo baju putih yang dipake dokter itu namanya 'Snelli' bukan 'Jas'." Ledeknya pada Meylan. Mengingatkan gadis itu akan kesalahan sebutnya ketika melihat dokter yang mengenakan pakaian putih dengan sebutan jas. "Faliiiii!! Loe nyebelin." Meylan kembali merajuk. Falisha mendekat. "Udahlah, cin." Falisha lagi-lagi mencolek dagu Meylan. Meylan menepisnya karena kesal. "Senyebelin apapun neng Fali. Neng Mey-Mey tetep nge fans kan? Ayo sini, mau neng Fali tanda tangani dimana? Nanti kalo neng Fali jadi artis, susah loh." Intan menoyor lengan Falisha. "Rese' loe." "Apa? Neng Keiko Intannissa Wisnu juga mau?" Tawar Falisha yang dijawab gelengan jijik oleh Intan. Suara dehaman mengalihkan perhatian mereka. Meylan, Intan dan Falisha terbelalak dengan respon berbeda. Meylan terbelalak kagum, Intan terbelalak takut, sementara Falisha terbelalak terkejut. "Mas Dokterku...." Pekiknya lantang. Galih dan Gibran berjengit. "Waaahhh,, Mas Dokterku kapan datang. Kok gak bilang-bilang Fali sih kalo mau kesini?" Tanya Falisha kaget. Wajahnya berubah bersemu merah. "Ini ruangan Saya, kenapa harus bilang-bilang sama kamu kalau Saya kesini?" Gibran balik bertanya dengan suara dinginnya. "Ih, Mas Dokterku kok gitu. Kan kalo Fali tau Mas Dokterku datang, Fali bisa touch up dulu gitu. Pake lipgloss yang bisa bikin bibir Fali kelihatan cipok-able." Ujarnya polos, yang dijawab toyoran oleh Meylan. "Fali, ih. Ngomongnya gitu." Tegur Intan. Falisha menoleh dan memandang Intan kemudian Meylan. "Tapi bener kan, Mey-Mey. Mey-Mey aja sukanya bilang gitu kalo ketemu si Iler. Bibirnya cipok-able, dadanya sandar-able, tubuhnya....." Ucapan Falisha tertutup oleh bekapan tangan Meylan. "Apaan sih, Mey-Mey." Falisha memberengut tak suka. Ia melihat Galih yang sedang bersandar di kusen pintu, melipat sebelah tangan dan menyangga tangan lainnya yang ia gunakan untuk menyembunyikan senyum. Sementara Intan masih diam di tempat dengan mimik gugup. "Oh ya, Mas Dokterku. Kenalin, sohibnya Fali. Ini Meylan, panggilannya Mey-Mey, dia juga temenan sama Upin-Ipin. Fali rasa Mas Dokterku juga tahu Upin-Ipin. Masa iya dokter anak gak tahu tokoh kembar botak itu." Cerocosnya tanpa membiarkan Gibran menjawab. "Dan ini, calon adik Iparnya Fali. Namanya Keiko Intannissa Wisnu. Dia anak Tante Dokter Calon Mama Mertua, kalo Mas Dokterku akuin, dia katanya adik tiri Mas Dokterku. Dan itu berarti dia ini calon Adik Ipar Tiri nya Falisha. Kan, begitu kan urutannya?" Falisha memandang Mey-Mey yang hanya menggelengkan kepala dengan mimik tak percaya akan sikap Falisha. Lalu kemudian pada Galih yang masih saja menahan tawa, namun dengan kepala yang mengangguk. "Tuh, sah udah Mas Dokterku. Jadi gimana?" Falisha bertanya pada Gibran. "Gimana apanya?" Gibran balik bertanya, bingung dengan cerocosan Falisha. "Iya, gimana. Udah jelas penjelasan Falisha barusan? Jangan bilang Mas Dokterku nanya 'gimana apanya' atas pertanyaan 'mau jadi cowok Fali atau enggak' karena tanpa Mas Dokterku jawab pun Fali tahu kalo Mas Dokterku bakalan mau jadi cowoknya Fali." Ujarnya percaya diri. Galih dan Gibran tertegun. Tak percaya akan asumsi gadis itu. "Siapa yang mau jadi cowok kamu?" Tanya Gibran tak suka. "Ya Mas Dokterku lah, masa iya Mas Galih. Mas Galih itu bukan tipe nya Fali, tenang aja. Gak usah cemburu." Ia mengibaskan tangan di depan Gibran. "Ya, meskipun gak sekarang. Tapi Mas Dokterku tenang aja. Fali itu orangnya setia. Hati Fali kan cuma satu, cuma untuk mencintaimu." Jawab Fali sekenanya. Galih kini tertawa lantang. Mengabaikan tatapan dingin Gibran yang menghunus padanya. "Ya udah ya, Mas Dokterku sabar aja dulu. Fali juga sabar kok nungguin Mas Dokterku jatuh hati sama Fali." Ia kemudian mengajak kedua temannya beranjak pergi. Namun saat dekat pada Gibran, Falisha berhenti. Menatap wajah Gibran dengan seksama. Gibran balas menunduk. Tengkuknya cukup pegal juga karena tubuh Falisha yang hanya sebatas dadanya. "Bener kata Mey-Mey," bisiknya pelan, kepalanya manggut-manggut tak jelas. Gibran masih menunduk dengan mata menatap tajam. "Apa?" Tanya Gibran pelan. Hampir setengah berbisik. Falisha meletakkan tiga jarinya di bibirnya lalu menempelkannya di bibir Gibran, sebelum kemudian berkata. "Mas Dokterku memang cipok-able." Jawabnya lirih lalu berlalu pergi. Meninggalkan Gibran yang mengerjapkan mata tak percaya dan Galih yang kini terpingkal karena tawa. "Dp dulu ya, Mas Dokterku." Ucapnya dengan kiss bye jauhnya. Lalu berteriak. "Mas Galih, awas janjinya jangan lupa! Chat aja ke Fali! Kalau enggak, nanti gak Fali kasih nomornya Mey-Mey kalo Mas Galih nanya!" Galih masih saja tertawa. Mengabaikan tatapan tajam Gibran. Gibran mendengus, kembali ke ruang tamu diikuti Galih yang berusaha mengurangi tawanya. "Kenapa loe bawa dia kesini sih?" Tuduh Gibran tak suka. Galih mengelap kedua sudut matanya. Rahangnya benar-benar pegal dan perutnya juga sakit karena tertawa. "Suaranya oke, bro. Gue suka. Gue nawarin dia manggung. Tapi dia nolak. Jadi last choice, gue numbalin elo." Jawab Galih santai. Ia menegak minuman dingin sampai hampir setengah botol. "Gimana, suaranya oke kan. Kalo ditambah dianya mau tampil di depan publik. Cafe kita bakalan rame, bro." Galih menepuk bahu Gibran yang masih saja kaku. "Dia bener-bener gadis yang diluar ekspektasi. Gue dukung hubungan loe sama dia. Lupain masa lalu, masa depan loe kelihatan lebih cerah sama dia." Galih menepuk bahu sahabatnya sebelum berlalu pergi. __________________ Jangan lupa untuk follow akun Mimin juga ya... follow IG Restianirista.wp untuk info lebih banyak. Mampir juga ke cerita kembarannya Falisha di Akara's Love Story,, yuuu ditunggu...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN