4

1867 Kata
Falisha memarkirkan mobilnya di pelataran parkir rumah sakit. Kalau saja Akara tidak meminta bantuannya, dia lebih baik membuat brownies saja di rumah. Tapi adik kembarnya itu bilang dia lelah dan meminta Falisha menjemputnya di rumah sakit setelah perjalanannya yang cukup lama. "Lagian kenapa gak naik taksi aja. Dia gak kekurangan uang kan? Perasaan uang saku dari Papa gak jauh beda. Di rumah sakit dia digaji juga kan? Digaji gak sih?" Falisha terus saja bicara sendiri sepanjang perjalanannya menuju ruangan Gilang. Direktur rumah sakit yang dalam status keluarga merupakan kakak sepupunya sekaligus pamannya itu. Dari pihak keluarga ayahnya, Gilang adalah paman karena dia adalah kakak kembar dari tantenya Falisha. Namun karena Gilang menikah dengan kakak sepupunya, Syaquilla maka secara otomatis dia juga menjadi kakak sepupu Falisha. jadi seringkali Falisha bingung sendiri harus memanggil pria itu apa. Daripada dibingungkan dengan nama panggilan, maka dia selalu memanggilnya 'kakak uncle', atau 'abang uncle' dan bahkan 'uncle dokter' jika sedang berada di rumah sakit.  Panggilannya berubah melihat situasi dan kondisi. Kak Gilang juga memintanya ke ruangannya untuk membawa vitamin dan juga obat miliknya. "Gini nih, kalo punya keluarga dokter. Gak bisa ngeluh dikit, maen periksa, maen kasih vitamin lah, obat lah, blah blah blah." Ia masih saja mendumel. Ketika melewati bangsal anak, Falisha tertegun melihat sosok yang akhir pekan lalu dilihatnya. Senyum di wajahnya melebar begitu saja. "Mas, Mas Dokter!" Panggilnya dengan suara lantang. Gibran berbalik. Seorang gadis mengenakan jeans biru belel dan kaos putih panjang longgar dengan rambut yang dicepol seadanya tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahnya. "Dokter kenal?" Amira, salah satu dokter junior yang menemaninya melakukan visit bertanya padanya. "Enggak." Jawab Gibran dan kemudian berbalik lagi. "Dokter ih, sombong banget." Falisha sudah berdiri saja mensejajari mereka. Tangannya ia tautkan di belakang punggungnya. "Dokter, gimana tawaran saya waktu itu. Masih berlaku loh." Ucapnya seraya berjalan menyamping. "Tawaran apa?" Tanya Gibran datar. "Itu loh, yang jadi pacar saya. Jadi suami juga boleh." Falisha memandangnya lagi-lagi sambil mengedip-kedipkan matanya. Amira memandang Falisha dengan tatapan terkejut lalu mencebik tak suka. "Tanpa saya pikirkan juga jawaban saya tidak." Jawab Gibran. Tawa yang tersamarkan batuk terdengar dari samping sang dokter. Falisha mendelik. Oke, kayaknya dokter cewek yang satu ini saingannya. "Dokter kok gitu sih. Padahal kita udah ngabisin sabtu minggu bareng. Masa iya masih ditolak juga. Terima dong. Nanti keburu saya digebet orang gimana?" Gibran menunduk dan memandang Falisha dengam mata elangnya. "Saya gak peduli." Ucapnya lalu kemudian melangkah masuk ke ruangannya dan dengan gerakan cepat menutupnya. Falisha masih mendengar cekikikan dokter perempuan di sampingnya. Kalau dilihat-lihat memang penampilan mereka jauh berbeda. Dokter itu memiliki tampilan seperti model. Tinggi, langsing, cantik dengan kulit dan rambut terawat. Jika dibandingkan dengan Gibran yang memiliki tinggi badan 180cm, maka mereka seperti jari manis dan jari tengah. Sementara Falisha? Tubuhnya memang tidak pendek-pendek amat. Ia bahkan lebih tinggi dari ibunya meskipun sedikit. Tapi tetap saja, jika dibandingkan dengan Gibran itu ibarat jari tengah dengan jari telunjuk. Cukup jauh perbedaannya. Matanya hanya sampai di d**a pria itu. Pastinya kalau mau mencium ia harus berjinjit atau gak naik dulu ke atas sofa, misalnya? Kok pikirannya ke arah ciuman sih? Falisha menggelengkan kepala. Perhatiannya kembali kepada dokter wanita itu. "Mbak kenapa cekikikan? Kayak penghuni pohon beringin di malam jumat aja." Sindiran Falisha membuat wanita itu terbelalak. "What? Kamu pikir saya kuntilanak?" Tanyanya tak suka. Falisha menggeleng. "Saya gak pernah ketemu sama kuntilanak, Mba. Tapi kalo Mba ngerasa mirip, saya mau bilang apa?" Falisha mengedikkan bahu. "Kamu itu emang bocah gak punya etika ya?  Udah nyosor-nyosor minta dipacari dokter, sekarang malah ngeledek saya? Anak sekolahan mah pikirin ujian dulu sana. Udah lulus baru mikirin pacaran." Ledek wanita itu lagi. What? Falisha memandangnya tak percaya. Ia tahu kalau dia itu cantik, imut dan wajahnya itu tipe-tipe baby face gitu. Tapi lulus sekolah? Hellow... Dia itu bentar lagi sarjana. Tapi dia tidak mau kalah. "Ya, mening saya dong kemana-mana daripada Mba dokter. Saya suka, saya ngomong. Tapi dokter? Udah tua, suka, gak berani ngomong pula. Lagian saya lebih menang daripada Mba, dokter sendiri udah setuju kalo saya ini tipe-tipe istriable. Profesi boleh menang, tapi umur, jelas saya menang banyak." Falisha bertingkah seolah mengibaskan rambutnya dan berlalu pergi setelah mendelik tajam, padahal sudah jelas rambut gadis itu di cepol sejak awal. Sementara di balik pintu, tidak ada yang tahu bahwa Gibran sedang menahan tawa mendengarkan perdebatan kedua wanita itu. "Loe darimana aja sih, lama banget ditungguin." Geruru Akara sesaat setelah Falisha mengetuk pintu. "Ya ampun Ka. Cium tangan gue dulu kenapa? Sopan dikit sama yang lebih tua." Jawab Falisha seraya berjalan menuju ke arah kakak ipar sepupu sekaligus pamannya. Mencium punggung tangan pria berusia menjelang lima puluh tahun itu. "Kayak loe lebih tua berapa tahun aja pake cium tangan. Beda lima menit ini, lebay banget hidup loe." "Tapi tetep, gue menang cepet dari loe." Falisha tak mau kalah. "Abang Uncle, mana?" Falisha menyodorkan kedua tangannya. Gilang meraih tas kecil dibagian dalam lacinya dan menyerahkannya pada Falisha. "Inget, jadwal kontrol kamu." Gilang mengingatkan. "Iya Abang Uncle, tenang. Tapi boleh gak Fali nanya sesuatu?" Falisha memandang Akara yang memandangnya ingin tahu. Sebelah alisnya terangkat, tubuhnya condong ke arah meja, berusaha mendengarkan. "Apa loe, kepo?!" Falisha mencebik ke arah saudara kembarnya. "Kamu mau nanya apa?" "Fali bisikin aja deh." Falisha mendekat ke telinga Gilang. "Dokter Gibran udah nikah belum?" Bisiknya ingin tahu. Gilang mundur sejenak, menatap keponakan sekaligus adik sepupunya itu. Matanya memicing. "Siapa? Gibran? Kenapa kamu nanyain dia?" "Ihh,, Abang Uncle gimana sih. Jangan keras-keras." Falisha mendesis seraya memukul lengan Gilang. "Gibran? Gibran siapa? " Akara memandang Gilang dan Falisha bergantian. "Kepo loe." Decak Falisha. "Abang Uncle, nanti minta dia lagi ya.. pliiissss... Kali-kali Fali cuci mata. Ya ya ya?" Falisha mengayunkan tangan Gilang dengan gaya manja nya. Pria menuju paruh baya itu hanya bisa mengusap wajahnya. "Iya, nanti Abang Uncle usahakan." Jawabnya menyerah. "Yes!" Falisha berseru senang. Akara mengernyit tak suka. Sepertinya dia harus bersiap akan keberadaan musuh baru. Falisha dalam perjalanan pulang bersama Akara. Dengan sengaja ia menuntun adik kembarnya itu menuju area bangsal anak, berharap bisa bertemu dengan Gibran lagi. Akara tidak menaruh curiga pada awalnya. Namun saat melihat Falisha yang tampak senyum-senyum sendiri. Radarnya mulai bekerja. "Dia dokter anak?" Tanya Akara dengan sinis. "Hah? Apa? Siapa?" Falisha menoleh, ia balik bertanya pada Akara. Wajahnya tampak konyol saat ia berakting pura-pura tidak tahu. "Jangan sok jadi artis lawak deh loe. Gue tahu tuh mupeng loe." "Kara! Yang sopan ya kalau ngomong sama kakak kamu!" Falisha mencak-mencak tak suka. "Gak usah bawa-bawa pangkat deh. Jadi beneran, loe naksir dokter disini? Yang mana sih, pengen tahu gue." Akara berjalan lebih cepat di depan Falisha, masih dengan menenteng ransel di punggungnya. "Loh, Akara. Kamu ngapain disini?" Dokter wanita yang tadi sempat berselisih dengan Falisha keluar dari salah satu ruangan. Falisha memicingkan mata. Tatapan wanita itu sama seperti tadi saat melihat Gibran. 'Wah, nih cewek gak konsisten banget. Pasti dia juga naksir si Santan'. Gumam Falisha dalam hati. "Loe koas disini?" Tanya wanita itu lagi ketika mendengar jawaban dari Akara. "Iya, gue mulai koas minggu depan." "Wah, kita bisa sering ketemu dong?" Wanita itu terdengar sedang tebar pesona. Tuh kan tuh kan, dugaan Fali gak salah. Fali mencebik. Sorry yey, gak sudi punya adik ipar macem begitu. "Sayang, kamu ini aku cariin." Falisha berjalan dengan langkah cepat dan merangkul lengan Akara dengan manja. 'kalo dia pikir gue anak ingusan, kenapa gak gue jabanin sekalian?' pikirnya dalam hati. "Cepetan pulang, udah laper nih." Falisha menggelayut manja. Dokter wanita itu menganga. 'Kalah kan loe dari gue'. Pikir Falisha lagi sinis. "Loe?" Telunjuknya mengarah pada wajah Falisha. "Apa?" Falisha memandangnya datar. "Sayang, kamu kenal sama tante ini?" Falisha mendongak. Akara memang lebih tinggi darinya. Terkadang ia iri sendiri, kenapa Papa menurunkan tinggi badannya semua untuk Akara dan tidak menyisakan untuknya sedikitpun. Dan tahukah kalian apa yang Papa jawab? 'Anak cewek itu emang bagusnya imut-imut, mungil. Jadinya pelukable kayak Mama'. See, Papa pilih kasih. Kembali ke Akara. Adiknya itu menunduk heran memandangnya dan dokter itu bergantian. "Tante?" Dahinya berkerut. "Iya, tante dokter. Kamu kenal?" "Amira? Tante?" Akara memandang Falisha lagi dengan bingung. Ia menggaruk pelipisnya bingung. Perasaan Amira dan Falisha hanya punya selisih umur dua tahun. Kenapa kakaknya memanggil wanita itu tante? Akara benar-benar tak habis pikir. "Kamu tahu namanya, berarti kamu kenal. Tapi awas ya, Sayang. Cukup kenal aja. Jangan sampai pedekate, apalagi sampai kena modus. Aku gak suka!" Ancam Falisha dengan nada manja. "Iya-iya, Fali sayang. Cintaku cuma buat kamu seorang." Jawab Akara dengan nada malasnya. Itulah cara Fali menjauhkannya dari wanita yang tidak dia sukai. "Yuk pulang, laper." Falisha kembali menarik Akara, meninggalkan Amira dengan ekspresi terkejutnya. Pasalnya di kampus, jangankan mengucap kalimat manja seperti itu. Tersenyum saja dia jarang. Dan apa pula bocah kecil itu, pakai sayang-sayangan segala? Jadi Amira kalah sama bocah kecil yang bahkan dadanya saja belum kelihatan tumbuh? Oh my God! Amira sampai melupakan hal apa yang tadi hendak dia lakukan. "Awas ya, kalo loe pedekate sama tuk emak genit!" Falisha memandang adik kembarnya itu dengan mata memicing tajam. "Kenapa? Loe cemburu?" Akara balik memicingkan mata. "Gue? Cemburu sama emak-emak logo apotek kayak dia? Gak level." Lagi-lagi Falisha bergaya mengibaskan rambutnya. Tapi tiba-tiba matanya membelalak, melupakan Akara dan Dokter yang dibilangnya logo apotek. Dia berjalan dengan cepat menuju sosok pria berkemeja navy dengan celana bahan warna hitam. Pria itu jelas berjalan menjauhi mereka, namun entah bagaimana Falisha bisa menebak siapa pria yang berjalan menjauh itu. "Mas, Mas Dokter!" Bahkan sebelum Akara menahannya, Falisha sudah berada dekat dengan pria yang dipanggilnya itu. "Mas Dokter mau kemana? Mau makan siang? Tapi kan ini belum waktunya makan siang." Falisha melirik pria itu yang berjalan seraya menenteng tas dokternya. "Apa mas dokter mau pulang? Kenapa? Mas dokter sakit?" Cerocosnya tanpa henti. Gibran menghentikkan langkahnya dan menoleh ke arah Falisha. "Saya bukan mau makan siang. Bukan juga mau pulang. Saya ada dinas di klinik lain." Jawab Gibran dengan nada datarnya. Falisha membulatkan mulutnya. Menggumamkan 'O' dengan pelan. "Memangnya Mas Dokter dinas dimana? Bawa mobil? Mau Fali antar?" Tawarnya dengan sikap ramah yang dianggap Akara terlalu berlebihan. Bukannya menjawab, Gibran merogoh saku celananya dan menunjukkan kunci mobilnya ke arah Falisha sebagai jawaban. Lagi-lagi Falisha ber 'O' ria Falisha menoleh ketika merasakan rangkulan di bahunya. "Sayang, kamu jangan lari-lari, nanti jatuh." Akara menegurnya dengan gaya sok manisnya. Falisha mendongak dan mendelik pada adik kembarnya. Dia tahu benar dengan modus Akara. Ini adalah salah satu cara adiknya itu untuk menjauhkannya dari makhluk yang berjenis kelamin laki-laki. Hari ini skor mereka satu sama. "Ayo pulang, aku lapar nih." Akara meraih pinggangnya dan menariknya menjauhi Gibran yang tampak memandang mereka dengan sebelah alis terangkat. 'Akara?' nama itu terucap dalam kepala Gibran. "Mas, Mas Dokter jangan salah paham ya, dia...mmmm." Ucapan Falisha tertahan karena Akara dengan tangan besarnya berhasil menutupi separuh wajah Falisha. Kesal karena perbuatan adiknya, Falisha menjilat telapak tangan Akara. Bersamaan dengan Akara melepaskan tangannya dari wajah Falisha, saat itu juga Falisha meludah. "Ih, tangan loe asin banget!" "Elo yang jorok Fali!" "Elo yang gak peka. Gak nyadar apa kalo gue lagi pedekate." Akara menoyor kepala Falisha. "Belajar yang bener, jangan maen cowok dulu." Lalu kemudian ia berjalan menuju mobil matic Falisha. "Pali...! Cepet buka pintunya. Gue bener-bener laper!" Teriaknya di depan mobil Falisha. Falisha hanya bisa menghentakkan kaki karena kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN