Drie

1555 Kata
Rangga baru saja membuka mata ketika ia sadar bahwa ia tak lagi berada di kamar hotelnya. Ia sedang terbaring di sebuah ruangan berukuran 5x5 meter. Ruangan itu tak memiliki jendela atau pintu. Lantainya, dindingnya, bahkan atapnya terbuat dari baja. Ruangan itu bersih dan dingin. Hanya ada tiga perabotan di dalamnya. Kasur, kursi, dan meja. Fasilitas kamar mandi dan toilet sudah tersedia di dalam. Rangga tersentak. Namun, gerakannya yang tiba-tiba bangun membuat telinganya berdenging. Kepalanya terasa sakit sekali. "Aduh!" Ia mengaduh kesakitan. Matanya terpejam rapat. Mencoba menghalau rasa sakit yang menjadi-jadi. Rangga kembali merebahkan tubuhnya. Nafasnya memburu. Sakit kepalanya luar biasa. Bertambah sakit jika ia bergerak meski hanya sedikit. Ting! Sebuah suara tiba-tiba memenuhi ruangan. Suara yang cukup lemah, tapi karena ruangan tempat Rangga berada saat ini sangat hening membuat suara yang lemah sekalipun terdengar keras. Rangga mencoba membuka mata. Dan, betapa terkejutnya ia ketika mendapati dinding di sebelah tempat tidurnya terbuka. Tidak, tidak terbuka seluruhnya. Satu bagian dinding seukuran 30x50 cm saja yang terbuka. Menampilkan sebuah lift mini berisi segelas air, sebuah pil, dan secarik kertas. Susah payah Rangga meraih kertas itu. Selamat datang! Sepertinya kau sedang kesakitan. Minumlah obat ini. Tidak usah curiga, ini hanya obat pereda rasa sakit. Setelah kau minum, letakkan lagi gelas dan piring kecil itu di sini. Selamat menikmati hari-harimu di ruangan ini! Rangga menurut saja, ia sudah tak tahan dengan rasa sakit di kepalanya. Ia meminum obat  itu dan menenggak habis airnya kemudian meletakkan kembali gelas dan piring kosong di sana. Seketika dinding kembali tertutup. Sedetik kemudian dinding itu mengeluarkan bunyi desing pelan. Rangga kembali berbaring. Sebenarnya kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan. Tapi rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang membuatnya ingin beristirahat saja. Hingga akhirnya ia kembali tertidur. *** Rangga kembali terbangun. Kali ini dengan kondisi yang lebih baik. Ia masih berada di ruangan yang sama saat ia terbangun sebelumnya. Namun, ia tak tahu kapan tepatnya saat ini. Apakah siang, sore, atau bahkan malam hari? Tak ada jam dinding di ruangan itu. Tak ada apapun yang bisa menunjukkan waktu. Tapi sepertinya ia terbangun setelah jam makan. Entah itu makan siang atau makan malam. Bukan, bukan karena perutnya terasa lapar. Tapi karena lift mini di dinding sebelah tempat tidurnya itu kini sedang terbuka. Kotak kecil yang seolah tertanam di dinding itu kini dipenuhi oleh segelas air dan sepiring makanan. Ah, ada sebuah pil yang terbungkus plastik di sana. Dan tentu saja secarik kertas. Rangga cepat-cepat meraih kertas itu. Sudah waktunya makan. Aku tak tahu apa menu favoritmu, tapi semoga kau suka menu kali ini. Selamat makan! Ah, untuk jaga-jaga aku sertakan juga sebuah pil pereda sakit. Tapi kalau kau enggan meminumnya, tak apa. Simpan kembali di sini. Rangga meremas kertas kecil itu, melemparnya sembarangan. Kesal bukan main. Laki-laki bertubuh tinggi itu beranjak. Saatnya ia menggeledah isi ruangan ini. Tak ada gunanya panik dalam situasi seperti saat ini. Saat terbangun tadi ia benar-benar kebingungan. Tapi kali ini ia sudah sadar betul, sepertinya ada seseorang yang sedang bermain-main dengannya. Ia juga baru sadar bahwa ia masih mengenakan baju tidurnya. Tidak ada bekas memar atau rasa sakit di tubuhnya kecuali sakit kepala yang tadi tiba-tiba menyerang. Ini berarti tak ada kekerasan yang ia terima selama ia tak sadarkan diri. Rangga berdiri di tepi tempat tidur, matanya menyapu seluruh ruangan. Sepi dan kosong. Maka ia mulai mengitari ruangan. Ia mencoba mengetuk-ngetuk dinding, melongok ke bagian atas lift mini yang ternyata buntu, memeriksa kamar mandi dan toilet, menghentak-hentak lantai, bahkan meraba-raba meja dan kursi. Rangga tak menemukan apapun. Tapi ia tak kehilangan akal. Berbekal kursi yang tersedia di kamar itu, ia mencoba menggapai langit-langit. "Ah, gak sampe!" Rangga mendengkus. Turun kembali ke lantai. Ia menyimpulkan, sepertinya tinggi ruangan ini lebih dari tiga meter. Terbukti dengan tubuh jangkungnya dan bantuan kursi setinggi satu meter, ia masih tak mampu menggapai langit-langit. Rangga kembali duduk di tepi tempat tidur. Otaknya terus bekerja. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain tentang ruangan ini. Tiba-tiba ia tersentak. "Pasti ada kamera pengawas!" Desisnya. Rangga berdiri. Pandangannya awas menyapu langit-langit. Mencari letak kamera pengawas. Lima detik, sepuluh detik, tiga puluh detik, bahkan hingga lebih dari satu menit ia memperhatikan langit-langit ruangan itu, tak satupun sudut langit-langit yang tampak dipasang kamera pengawas. "Kalo nggak di atas…" Rangga memangku dagu. Memikirkan kemungkinan letak kamera pengawas. Tiba-tiba ia menjentikkan jari. Kemudian mulai meraba-raba dinding. Puluhan menit berlalu. Hampir seluruh dinding yang bisa ia jangkau sudah ia raba dan tekan, tapi tak ada hasil. Tadinya ia berpikir ada area tersembunyi seperti lift mini itu di sisi dinding yang lain. Atau ada sisi dinding yang terbuat dari kaca untuk menyembunyikan kamera pengawas. Sayangnya, semua kecurigaannya tak terbukti. Ruangan ini seolah didesain tanpa celah. Rangga menghempaskan tubuhnya di kasur. Menghela nafas panjang. Perutnya terasa perih dan keroncongan. Entah sudah lewat berapa jam sejak ia terakhir makan. Sudah seharusnya ia mengisi perutnya dengan makanan. Tapi kini seluruh tubuh dan inderanya sedang fokus pada satu pertanyaan yang berdentum di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? *** "Kamu kenal laki-laki itu?" Hans bertanya. Kini, mereka sedang berada di lift menuju lantai 13. Urusan dengan petugas ruang CCTV sudah selesai. "Entahlah. Semoga saja enggak." Jen mengangkat bahu. Mencoba tak peduli. "File rekaman CCTV sudah ada di sini," Hans menunjukkan sebuah flashdrive. "Meski tadi kita sudah lihat sekilas, kita perlu menelitinya lebih lanjut. Saya tidak yakin kita tidak menemukan apapun dari rekaman CCTV ini." Jen mengangguk setuju. "Bagaimana bisa nggak ada satupun petunjuk ke mana perginya Pak Rangga?" Adit tiba-tiba bertanya. Wajahnya gelisah bercampur panik. "Kalaupun ini bukan kasus orang hilang, dari mana Pak Rangga bisa keluar dari kamar hotel kalau bukan dari pintu depan?" Adit bersungut-sungut. "Tenanglah. Ini baru beberapa jam sejak atasanmu tidak ada di tempat. Lagipula kita baru mencari jawaban dari satu cara saja. Masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan cara lain." Hans mencoba menenangkan. Adit mendengkus. Ia kesal karena tak satupun gambar dalam rekaman CCTV sepanjang sepuluh jam itu yang memberi mereka petunjuk. Ting! Pintu lift terbuka. Lorong di lantai tiga belas ini tampak lengang. Tak satupun manusia lalu lalang. Hanya ada seorang petugas hotel yang sedang membersihkan jendela di ujung lorong. Seorang petugas hotel yang mendampingi mereka sejak awal menempelkan kunci cadangan ke gagang pintu kamar 1324. Pintu terbuka seketika. Hans dan Jen menyerbu masuk. Mereka segera mengenakan sarung tangan dan berpencar. Meneliti dengan seksama setiap sudut kamar hotel itu. Adit tak tinggal diam. Ia ikut mencari sesuatu yang janggal di kamar hotel itu. "Stop!" Hans berseru. "Pak Adit silakan keluar. Biar saya dan Jen yang melakukan penyelidikan di sini." "Kenapa?" "Anda mau dijadikan tersangka jika sidik jari Anda tertinggal di salah satu barang bukti penting?" "Ck!" Adit berdecak. Tapi akhirnya ia tetap menurut. Keluar kamar, meninggalkan dua detektif itu bekerja. Hans dan Jen menyisir setiap sudut perabotan dan barang-barang yang ada di kamar itu. Berharap ada barang yang bisa menjadi petunjuk ke mana perginya Rangga. "Rupanya di sini ada balkon, Pak." Jen berseru. Ia sudah menyelesaikan memeriksa satu sisi kamar. Tak ada apapun yang mencurigakan. "Oh, ya? Ambil sidik jari yang menempel di pintu, jendela dan pagar balkon, Jen. Kamu bawa peralatannya, ‘kan?" Hans berteriak dari kamar mandi. Ia sedang memeriksa bagian itu. "Siap bawa, Pak." Jen segera melaksanakan perintah atasannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam dari tas pinggangnya. Meletakkannya di atas meja kemudian mengeluarkan isinya. Ada beberapa barang di sana. Satu kotak serbuk berwarna gelap, selotip bening, kuas, dan sebuah kertas khusus. Jen memulai mencari jejak sidik jari yang tertinggal di jendela dan pagar balkon. Sebenarnya, kepolisian sudah memiliki tim sendiri untuk pengambilan sidik jari dari TKP. Namanya tim inafis. Indonesia Automatic Fingerprint Identification System. Hanya saja, dalam kasus seperti ini, saat surat tugas dari kepolisian belum turun, maka kemampuan ini sangat diperlukan bagi seorang detektif di tim khusus. Karenanya mereka mendapat pelatihan untuk bisa melakukan pengambilan sidik jari. Dan Jen sudah menerima pelatihan itu sejak pertama kali bergabung lima tahun lalu. "Sudah selesai, Jen?" Hans berdiri di dekat pintu menuju balkon. Tangan kirinya menenteng kantong plastik berisi beberapa barang yang ia dapatkan selama penyidikan. "Sedikit lagi, Pak." Jen hanya menoleh sekilas. "Nggak banyak sidik jari yang tertinggal. Sepertinya korban juga nggak menyentuh area ini." "Kenapa kamu menyebutnya korban? Dia belum pasti hilang." Hans mengerutkan dahi. "Yah, maksud saya Pak Rangga." Jen menjawab malas. "Oh iya, Pak. Di balkon ini nggak ada CCTV, loh. Bukannya harusnya dipasang CCTV, ya? 'Kan rawan sekali kalau ada yang menerobos masuk kamar ini lewat balkon?" "Hm…" Hans tak menjawab. Ia memilih berjalan ke tepi balkon. Melihat ke bawah. "Memangnya siapa yang mau naik ke lantai tiga belas lewat balkon ini hanya untuk mencuri? Membahayakan diri, sih, iya." "Tapi bisa saja, loh, Pak. Pelaku kejahatan sekarang 'kan canggih." Jen bicara tanpa menoleh, ia sibuk mengambil sidik jari terakhir. "Hm… Kita lihat dulu bagaimana hasil pemeriksaan sidik jarinya." "Ini mau kita berikan ke tim inafis?" "Tentu saja. Mereka punya alat identifikasi sidik jari terbaru." "Siap, Pak." Matahari sudah bergeser ke arah barat saat mereka menyelesaikan olah TKP. Nantinya, jika kasus ini resmi ditetapkan sebagai kasus orang hilang, maka olah TKP akan dilakukan lagi. Bedanya, tim satuan reserse kriminal akan terlibat. Salah satunya adalah tim inafis. "Pak, gimana kalau kita juga mengecek CCTV dari gedung sebelah?" Jen mengajukan usul. "Untuk apa?" Dahi Hans berkerut. "Siapa tahu, kalau ini kasus penculikan, ada sedikit petunjuk dari rekaman CCTV gedung sebelah yang menghadap ke balkon kamar ini." "Hm…" Hans tampak ragu-ragu. Tapi, akhirnya ia mengangguk. "Oke, ayo kita coba."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN