Sore yang sangat sibuk di beberapa titik. Dengan pemandangan hiruk pikuk kendaraan, kepul asap knalpot yang amat tebal dan gelap, pun suara bising klakson yang terus menjerit. Geliat ibukota tak pernah berhenti. Namun, sore di ibukota juga mampu terkesan damai. Dengan pemandangan lembayung senja yang kian merona, gemericik air dari kolam ikan di halaman, semilir angin genit membelai wajah, aroma teh hangat yang baru diseduh menggelitik sekaligus menenangkan.
Rangga, sedang menikmati kedamaian yang baru saja ia peroleh setelah banyak kejadian buruk yang menimpa dirinya beberapa hari belakangan ini. Kedamaian itu baru berlangsung lima menit, bahkan tehnya yang masih mengepulkan asap itu belum sempat ia sentuh. Suara pembaca berita dari televisi yang ia biarkan menyala di ruang tengah menghancurkan semua ketenangannya. Rangga berlari terbirit-b***t menuju ruang tengah demi mendengar nama perusahaan yang ia pimpin disebut.
“Kami belum mendapat konfirmasi dari perusahaan yang bersangkutan. Namun, karena ini adalah informasi penting, diharapkan masyarakat berhati-hati.” Pembaca berita itu menutup kalimatnya. Meletakkan kertas yang ia pegang sejak tadi.
Rangga terduduk di sofa ruang tengah, lututnya mendadak lemas. Tubuhnya gemetar hebat. Belum sempat ia menguasai diri, ponselnya berdering keras.
“Ha-halo?” Suaranya bergetar, terbata. Kerongkongannya bahkan terasa kering.
“Pak, Anda di mana?” Suara Adit terdengar panik.
“Di… di rumah.”
“Saya akan ke sana sekarang!” Adit menyelesaikan kalimatnya dengan memutus sambungan telepon.
“Ada apa lagi ini?” Gumam Rangga. Wajahnya pias, tangannya gemetar hebat.
Sekali lagi, belum sempat ia menenangkan diri, ponselnya kembali berdering nyaring.
“Halo?” Kali ini ia menjawab telepon setelah berdehem berkali-kali sebelumnya.
“Ada apa lagi ini, Rangga?!” Suara pamannya di seberang telepon terdengar murka sekaligus panik.
“Sa-saya juga nggak tahu, Om.” Rangga bingung bukan main.
Renaldi terdengar menghela nafas kasar. “Datanglah ke rumahku secepatnya!”
“Iya, Om.”
Renaldi memutus sambungan telepon. Rangga menangkupkan kedua tangannya ke wajahnya yang semakin pucat dan berkeringat dingin. Ini sungguh di luar dugaan. Ia yakin semua berjalan lancar bahkan setelah insiden penculikan dirinya itu. Satu-satunya yang perlu diurus hanya soal kerja sama dengan beberapa perusahaan dan distributor produk mereka. Dan itu pun sudah beres sehari setelah ia keluar dari rumah sakit. Rangga pikir, semua kejadian buruk itu telah berakhir. Tapi siapa sangka, sepertinya kasus penculikan dirinya beberapa waktu lalu itu hanyalah permulaan.
Lima belas menit kemudian, Adit dan Jen tiba di kediaman Rangga.
“Kenapa bisa jadi begini, Pak?” Rangga panik bukan main. Ia yang biasanya selalu rapih, kini hanya mengenakan celana jeans dan kaos oblong.
“Aku juga nggak ngerti, Dit!” Rangga memekik tertahan, ia juga panik.
Saat ini, masyarakat pun pasti sedang panik. Hanya dalam hitungan menit atau jam, mereka pasti akan menuntut perusahaan. Melakukan demo hingga yang paling ekstrim, pemboikotan produk. Rangga menghela nafas. Ini adalah skenario terburuk. Untuk perusahaan produsen makanan, kepercayaan konsumen adalah segalanya. Tanpa itu, habislah sudah.
“Sekarang, yang bisa kalian lakukan adalah menarik semua produk dari pasaran. Lakukan pemeriksaan, lalu segera lakukan konferensi pers. Jika tidak, opini masyarakat akan benar-benar buruk. Skenario terburuk, perusahaan kalian akan gulung tikar.” Jen memberi saran.
Adit mengangguk lesu, pun Rangga.
“Aku akan mengabari Pak Hans. Saat aku ke sini, Pak Hans pergi ke stasiun televisi. Setidaknya mereka harus mengabarkan keputusan kalian.” Jen mengeluarkan ponselnya, menghubungi Hans. Menjauh sedikit dari tempat mereka duduk.
“Saya akan menghubungi tim pemasaran. Kita akan lembur hari ini, Pak.” Suara Adit terdengar putus asa. Bukan, bukan karena ia harus lembur. Kejadian ini, sungguh, tak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya. Bahkan, tak pernah terjadi pada perusahaan produsen makanan satupun di negri ini.
Rangga mengangguk. Ia berkali-kali menghela nafas. Ini benar-benar di luar dugaan.
“Cepat selesaikan, lalu hubungi laboratorium pangan yang bisa memberikan hasil tercepat. Sebisa mungkin, besok pagi kita sudah bisa umumkan klarifikasi soal kejadian ini. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak kerugian yang akan kita tanggung.” Rangga memberi perintah.
Adit mengangguk. Melaksanakan perintah atasannya.
“Pak Hans sudah menyampaikan ke pihak stasiun televisi.” Jen sudah kembali dari menelepon Hans. “Barang bukti juga sudah diamakan, polisi siber sedang bergerak saat ini. Lalu, Pak Hans akan membawa beberapa sampel produk Aryuda Food ke laboratorium kami."
Rangga hanya mengangguk lemah. Ia benar-benar terpukul dengan kejadian ini.
“Tenanglah.” Suara Jen terdengar lembut. “Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya orang yang harus berpikir dengan kepala dingin dan jernih adalah kamu.”
Rangga menoleh. Menatap Jen lamat-lamat. Kemudian tersenyum tipis. “Terima kasih, Jen.”
Jen balas tersenyum, mengangguk. “Karena berita tadi disiarkan saat Liputan Berita Terkini, jadi konfirmasi yang kita berikan akan disiarkan di acara Liputan Berita Terkini berikutnya, jam lima sore nanti.”
“Tim pemasaran sudah bergerak, Pak.” Adit sudah kembali, wajahnya masih panik dan pucat. Tapi jelas sudah lebih baik dari saat pertama kali datang tadi.
“Lalu laboratoriumnya?”
“Kita akan mengirim ke dua laboratorium. Satu laboratorium pangan yang ada di ibukota, yang kedua laboratorium pangan milik Institut Teknologi kota sebelah. Tapi, laboratorium kita juga akan melakukan pemeriksaan."
"Berarti akan ada empat hasil lab." Rangga bergumam.
"Empat?" Adit mengernyit.
"Iya. Polisi juga ikut memeriksa."
"Kalau begitu, hasil dari laboratorium kepolisian yang akan jadi penentunya. Karena masyarakat pasti akan lebih percaya dengan hasil dari laboratorium mereka.”
“Baiklah. Terima kasih banyak, Dit. Kamu selalu bisa diandalkan.” Rangga tersenyum. Menepuk pundak sekretarisnya. “Kita ke rumah Om Renaldi sekarang.”
***
Dua belas jam berlalu, seluruh produk Aryuda Food yang beredar di ibukota dan sekitarnya sudah berhasil ditarik dari pasaran. Sementara produk-produk yang tersebar di berbagai penjuru negri, sudah diamankan oleh distributor di masing-masing wilayah. Dikirimkan langsung ke gudang perusahaan.
Tiga jam setelah berita itu tersebar ke seluruh negri, sampel produk sudah terkirim ke empat laboratorium yang direncanakan akan melakukan pemeriksaan. Pembaca berita Libutan Berita Petang sudah menyampaikan informasi itu. Kecemasan masyarakat berhasil diatasi. Namun, kecemasan para petinggi perusahaan kini justru sedang berada di puncaknya. Tiga puluh menit lagi, tiga laboratorium pangan yang mereka hubungi akan segera memberikan hasil pemeriksaan. Laboratorium markas besar polisi juga akan sesegera mungkin memberikan hasil pemerjksaan.
Rangga duduk terpekur di sofa ruang tengah kediaman Renaldi. Kedua tangannya saling meremas. Adit sedang sibuk menekuri laptopnya. Menyelesaikan beberapa pekerjaan. Renaldi memilih untuk beristirahat, tubuh tuanya tak mampu diajak begadang semalaman. Hans dan Jen juga ada di sana, sedang berbicara dengan dua orang polisi siber.
“Lagi-lagi tidak bisa dilacak?” Hans terlihat geram. Alisnya bertaut, sorot matanya kesal, tangannya mengepal.
“Betul, Pak.”
“Verdorie!” Hans mengumpat. Tangannya meninju udara. Ia terlihat kesal sekali.
“Hm, setelah sekian lama, saya mendengar Anda bicara Bahasa Belanda lagi, Pak.”
“Bukan saatnya menggodaku, Jen.” Mata Hans berkilat. Ia benar-benar dalam mode gahar.
“Iya, iya. Maafkan saya, Pak.”
“Tidak bisakah kalian mencari celah si pengirim surel itu? Tidak usah identitasnya, lokasinya, atau apapun, tidak ada?” Hans tampak belum ingin menyerah.
“Tidak ada, Pak.” Polisi siber itu menggeleng. “Bahkan IP Address-nya tidak bisa kami lacak.”
Hans menggeram. Tangannya memijit pelipis. Jen tak kalah bingung, ini benar-benar kasus yang rumit. Mereka belum pernah menghadapi pelaku kejahatan dengan kecerdikan seperti ini sebelumnya. Mereka selalu berhasil menemukan celah untuk menangkap para pelaku kejahatan. Namun, biang kerok dari kasus ini seolah berhasil menutup semua celah itu.
“Baiklah, kalian bisa kembali.” Hans akhirnya menyerah.
Dua polisi siber itu menegakkan punggung, mengangkat tangan, menyentuhkan ujung jemari ke pelipis. Memberi hormat, kemudian berlalu pergi.
Hans dan Jen kembali ke ruang tengah. Bergabung bersama Adit dan Rangga.
“Bagaimana?” Rangga bertanya lebih dulu.
Hans menggeleng. “Sekali lagi tak bisa dilacak.” Wajahnya terlihat lesu.
“Sepertinya, kita benar-benar menghadapi penjahat yang cerdik.” Suara Rangga terdengar lebih mirip dengan gumaman. Tangan kanannya memegang selembar kertas berisi salinan hasil cetak dari surel yang diterima stasiun televisi. Matanya terus terpaku pada kertas itu. Entah sudah berapa kali ia membaca isi surel itu.
Selamat sore.
Maafkan mengganggu waktu Anda. Tapi, saya harus mengabarkan ini sebelum muncul korban jiwa. Saya menemukan sianida dalam produk Aryuda Food. Untungnya saya tidak celaka. Ah, jangan tanya bagaimana saya menemukannya. Karena saya yang memasukkannya. Tidak hanya satu, saya memasukkan sianida ke ribuan produk Aryuda Food. Hahaha.
Selamat bekerja keras!
Rangga meremas kertas itu. Melemparkan sekuat tenaga ke sembarang tempat.
“Aaaarkh!” Ia berteriak geram.
Bersamaan dengan itu, ponsel Adit berdering nyaring.
“Siapa, Dit?” Rangga bergegas.
Adit menatap ponselnya gugup. Ia menelan ludah berkali-kali sebelum mengangkatnya. “Dari lab kita, Pak.”
“Cepat angkat!” Rangga mendekat. Begitu juga dengan Hans dan Jen.
“Halo?”
“Halo, Pak Adit?” Adit menyalakan pengeras suara. Semua orang di ruang tengah bisa mendengar suara di seberang telepon.
“Ya, bagaimana?”
Suara di seberang telepon tak segera menjawab, ia justru menghela nafas. Seketika, detak jantung Adit meningkat. Sepertinya yang akan mereka dengar bukanlah kabar baik.
“Dari tiga produk berbeda yang dikirimkan ke lab, semuanya positif mengandung sianida, Pak.”
“Apa?!” Rangga memekik. Matanya mendelik. Hampir saja ia merebut ponsel Adit jika si empunya tak menghalangi. Ini sungguh tak bisa dipercaya.
“Maafkan kami, Pak.” Suara kepala laboratorium pangan itu terdengar lesu. Ia pasti sudah begadang semalaman untuk memeriksa dengan teliti produk yang dikirim perusahaan.
“Tidak tidak, Anda tidak perlu minta maaf. Terima kasih sudah bekerja keras semalaman.” Ucap Adit ramah. Ia berhasil menguasai dirinya.
“Lalu, selanjutnya bagaimana, Pak?”
Adit menatap Rangga. “Yah, bagaimana lagi? Kita akan melakukan konferensi pers. Kita tidak bisa membahayakan nyawa konsumen hanya untuk menghindari kerugian.” Adit tersenyum kecut. Tak ada yang menyangka akan terjadi teror mengerikan seperti ini.
“Baiklah. Semoga keadaan segera membaik.”
“Terima kasih.”
Adit menutup sambungan telepon. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa kali ia menghela nafas semalaman ini.
Ping. Ping.
Dua buah surel masuk bersamaan ke alamat email perusahaan yang dikelola Adit. Ia segera memeriksanya.
“Ada email dari dua laboratorium lainnya, Pak.” Ia memberi tahu Rangga.
“Cepat buka!” Rangga ikut mengintip layar laptop.
Sementara Hans dan Jen menunggu dengan harap-harap cemas di sebelah mereka.
Adit membuka satu persatu surel itu. Membacanya dengan seksama, berulang kali. Mengucek matanya, kemudian membacanya lagi.
“Gila! Sialan! b******k!” Rangga hilang kesabaran. Ia mengumpat dengan suara keras. Memukul pegangan sofa sekeras yang ia bisa. Nafasnya terengah, matanya memerah.
Adit mengusap wajahnya yang pias. Memperbaiki posisi kacamatanya. “Saya… akan menghubungi awak media. Kita akan mengadakan konferensi pers pagi ini, Pak. Siapkan diri Anda.” Suaranya bergetar, pun tubuhnya.
Hans dan Jen yang tidak ikut melihat isi surel menjadi sangat penasaran, mereka bergegas mengintip layar laptop Adit.
Isi dua surel itu sama. Laporan hasil pemeriksaan produk yang mereka kirimkan. Dan hasilnya pun sama persis. Seluruh sampel produk yang mereka kirimkan positif mengandung sianida.