Inara bangun lebih dulu, ia melihat Bayu yang nampak tidur dengan tenang dalam posisi yang sama saat pertama kali ia lihat. Ternyata Bayu tidurnya sangat tenang. Nafasnya yang teratur terlihat jelas dan enak di pandang di tambah wajah tampan itu.
Kaos Bayu nampak tersingkap sedikit, memperlihatkan sebagian kecil perutnya yang nampak ramping dan putih bersih. Inara langsung memalingkan wajahnya saat matanya semakin jelalatan.
Dasar tidak tahu malu, saat tidur saja berani memandang. Andai Bayu tahu, entah seperti apa malunya seorang Inara.
Buru-buru Inara turun dari ranjang dan mengambil handuk serta pakaian ganti. Ia keluar dari kamar dengan perlahan. Ia tidak mau membangunkan Bayu yang nampak masih lelap.
Di luar kamar. Royati sudah terlihat sibuk membereskan sisa-sisa makanan semalam. Rumah masih terlihat agak berantakan. Inara pun tak jadi ke kamar mandi. Ia memilih menemui Royati.
"Emak, jam segini, kok, masih beres-beres?" Royati langsung melirik Inara dan menghentikan aktifitasnya.
"Kamu sudah bangun?" Inara hanya mengangguk.
"Ini masih jam 3 loh?"
"Nggak apa-apa, sini, biar Inara bantu." Tangan Inara di tepis oleh Royati.
"Jangan, sudah sana kalau mau mandi. Biar rambutnya cepat kering," goda Royati. Inara melotot karena paham maksud sang Emak. Royati terkekeh dan minta maaf.
"Bercanda, mana mungkin malam sudah jebol. Kalian pasti kecapean, kan?" Inara tak menjawab ia memilih cepat ke kamar mandi dari pada mendengar candaan sang Emak yang semakin sembrono.
Bayu bangun saat Inara memanggil namanya berkali-kali dengan suara lembut. Bayu mengucek matanya dan duduk dengan kepala menunduk. Rasa kantuk masih menyerangnya.
"Maaf, Mas, sudah membangunkan, soalnya sudah waktunya sholat subuh." Bayu hanya mengangguk dan bangun. Inara memberikan handuk pada Bayu yang langsung di ambil dan pergi dari kamar.
Inara lantas menyiapkan sajadah dan sarung. Ia sendiri menyiapkan mukenah untuk dirinya.
Sekitar 10 menit Bayu kembali dengan wajah segar dan rambut basah. Melihat itu Inara merasa berdebar. Namun, ia coba untuk bersikap biasa.
"Berjamaah?" Tanya Bayu. Inara hanya mengangguk dan bersiap dengan mukenahnya. Bayu pun mengambil sarung dan memakainya.
Bayu bersiap di depan sebagai imam. Inara mengikuti di belakang sebagai makmum. Mereka pun mulai hanyut dalam ibadah menghadap sang pencipta.
Hingga salam terakhir Bayu menoleh ke arah Inara dan memberikan tangannya. Inara pun dengan gemetar menggenggam jemari Bayu dan mengecupnya dua kali.
Bayu mengusap kepala Inara. Inara memejamkan matanya. Bayu pun mengecup ubun-ubun Inara dan mulai berzikir.
Bayu keluar dari kamar jam 7 pagi. Ia melihat Inara dan Royati tengah menyiapkan sarapan di meja makan. Royati yang melihat Bayu langsung mengajaknya untuk sarapan.
"Ayo, sarapan, Nak." Bayu hanya mengangguk dan ikut duduk di ruang makan. Ia melihat Inara yang tak pakai cadar semenjak ia menikah dengan Bayu.
Semakin di lihat semakin cantik. Eh... Bayu langsung memalingkan wajahnya.
"Mau pakai apa, Mas?" Tanya Inara. Bayu langsung menunjuk nasi goreng dan ayam goreng. Inara pun mengambilkan nasi goreng dan ayam pada piring Bayu.
"Silahkan, Mas." Bayu melirik Inara dan mengucap terima kasih. Royati yang melihat itu hanya tersenyum karena melihat keduanya masih tampak kaku.
"Kamu cuti berapa hari, Nak?" Tanya Royati pada Bayu.
"Saya tidak ambil cuti." Royati bengong.
"Kenapa?"
"Karena saya fikir, saya baru saja masuk kerja, memang, yang punya perusahaan adalah papa. Tapi, jika saya memanfaatkan itu saya rasa tidak adil."
Royati mengangguk paham. Ia melirik Inara yang nampak biasa saja.
"Apa kalian sudah menentukan akan tinggal di mana?" Tanya Royati lagi.
"Kami akan tinggal di rumah saya." Royati menatap Bayu.
"Rumah kamu?" Bayu mengangguk.
"Ya, saya sudah punya rumah sendiri. Yah, dulu sempat bantu papa untuk membuat sebuah gambar bangunan. Dan gambar saya di terima. Itu pertama kalinya saya mendapat uang dari hasil saya sendiri. Dan itu kelas 1 SMA. Dari uang itu saya beli rumah. Tidak besar. Tapi, cukup untuk kami berdua." Bayu melirik Inara yang nampak menunduk.
"Alhamdulillah, Emak, bangga sekali denganmu."
"Terima kasih, Emak." Mereka pun melanjutkan sarapannya dengan tenang. Sesekali Bayu melirik Inara yang hanya diam saja.
Bayu meminta Inara untuk menemaninya pergi keliling kampung. Inara pun mengiyakan lantas mengganti pakaiannya dan kembali memakai cadarnya.
Bayu melihat Inara yang sudah siap dan langsung menarik lengan Inara untuk ikut keluar dengannya. Inara nampak canggung dengan sentuhan tangan Bayu. Namun, ia harus terbiasa mulai sekarang.
Sebenarnya Inara masih bingung dengan sikap Bayu. Apakah Bayu menyukai pernikahan ini atau tidak. Dan yang paling membingungkan adalah dengan sikap Bayu yang kadang manis kadang sinis.
"Sawah di mana ya?" Tanya Bayu. Inara langsung menunjuk satu tempat. Bayu pun kembali berjalan ke arah yang di tunjuk oleh Inara. Mereka melewati beberapa rumah dan orang-orang kampung.
"Neng, mau ke mana?" Tanya salah satu tetangga.
"Assalamualaikum, ibu. Saya mau ke sawah," jawab Inara. Bayu ikut menoleh dan tersenyum manis. Ibu-ibu yang ada di sana langsung tersipu malu melihat senyum Bayu. Terlalu tampan bagi mereka.
"Beruntung nya kamu, Inara. Suaminya ganteng banget," puji mereka. Bayu tersenyum bangga di puji begitu. Inara hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya.
"Mbak." Inara menoleh.
"Kok, pergi sih, padahal aku lagi di puji ganteng loh." Inara mengerutkan keningnya.
"Mas, suka di puji?"
"Sukalah, siapa sih yang nggak suka di puji?"
"Istighfar, Mas. Pujian itu bisa membuat kita sombong." Bayu berdecih.
"Bilang aja kamu cemburu sama ibu-ibu itu, ya kan?" Inara menggeleng dan memilih pergi. Bayu mau tidak mau mengejar Inara.
Bayu kembali terpesona dengan keindahan alam yang indah. Hamparan sawah yang hijau, wangi daunnya yang khas. Suara gemericik air kali yang terdengar samar tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Inara hanya menatap punggung Bayu yang tak berhenti mengagumi. Sementara Inara, mungkin sudah bosan dengan apa yang ada di depan matanya kini.
"Mbak!" Seru Bayu pada Inara.
"Ya, Mas?"
"Mbak, sering main di sini?"
"Enggak, Mas." Bayu menoleh. "Kenapa?"
"Saya lebih suka di dalam rumah."
"Ngaji?" Tebak Bayu. Inara hanya diam.
Bayu memutar badannya dan menghampiri Inara.
"Mbak, punya alam indah kaya gini tuh, abadikan. Nikmati, jangan fokus sama akherat aja, Mbak."
"Saya cuma tidak mau menyia-nyiakan waktu saya untuk hal yang tidak berguna, Mas."
"Apa maksud, Mbak?" Inara menggeleng dan hendak menjauh dari Bayu. Namun, Bayu menarik lengan Inara hingga Inara hampir jatuh ke sawah.
"Astaghfirullah!!!" Pekik Inara.
"Mbak, nggak apa-apa?" Tatapan mereka bertemu. Inara buru-buru mendorong tubuh Bayu dan hendak pergi. Namun, lagi-lagi lengan Inara di tahan oleh Bayu. Membuat Inara mau tidak mau menghentikan langkahnya.
"Mbak, nggak suka sama saya ya?" Tanya Bayu. Inara diam. Wajahnya memerah. Bayu tidak sadar jika sebenarnya Inara terlalu tegang bila bersama dengan Bayu. Ia tak biasa berdekatan dengan laki-laki. Di tambah setiap dekat dengan Bayu, jantungnya seakan hendak melompat keluar.
"Bu-bukan begitu...."
"Saya juga nggak suka, loh." Inara terdiam. Jantungnya mendadak sakit.
"Tapi, saya berusaha untuk dekat dengan, Mbak. Bukan berarti cinta ya, Mbak. Saya hanya mau berteman dengan, Mbak. Nggak lebih."
"Te-teman?" Ulang Inara bingung.
"Ya, teman. Kita kan di jodohkan. Pasti tidak ada cinta di antara kita kan? Dan itu mustahil, Mbak. Karena...." Bayu diam. Ia melihat wajah Inara sudah sangat merah. Bayu tak berminat melanjutkan ucapannya. Biarlah ia simpan sendiri masalah ini.
"Maaf, Mbak. Saya nggak maksud...."
"Nggak apa-apa, Mas." Inara melangkah menjauh dan duduk di dekat kali yang cukup jernih. Beberapa daun kering nampak hanyut terbawa arus kali.
Inara terdiam menatap air yang mengalir dengan tenangnya. Air itu tak merasa lelah walau banyak batu besar menghadangnya. Bayu mendekat dan duduk di samping Inara.
"Mbak?"
"Ya?"
"Besok, kita pindah ke rumah ku ya." Inara meneteskan air mata tanpa sepengetahuan Bayu. Inara mengangguk dan Bayu tersenyum.
"Makasih, ya, Mbak."
Lama mereka terdiam di sana. Menikmati air yang mengalir di bawah mereka. Bayu dengan kekagumannya, Inara dengan kesedihannya.