Tamparan deras air hujan menghadirkan gemuruh yang mengerikan, sengeri kondisinya yang saat itu terbangun di ranjang dalam keadaan sekarat pada sebuah apartemen kumuh.
Sekujur tubuh dirasa nyeri, tenggorokan pun panas dan tercekat, desah napasnya mulai terasa menyayat. Sepertinya hanya tinggal menunggu waktu bagi Ava Aradhana untuk tiba di denyut nadi terakhir. Seolah belum cukup, sepanjang semua itu berlangsung bising di kepala Ava merajam.
"Lo tahu, Ava? Lo itu manusia paling bodoh dari semua orang yang gue kenal."
Gita, saudara tiri Ava, mengatakannya dengan nada cemooh yang kental.
"Saking bodohnya, lo bahkan sampai kehilangan banyak hal. Dan semua yang lo punya itu sekarang jadi milik gue!"
Saat mengatakannya, ada seringai di bibir Gita. Dia juga sambil mencengkeram wajah Ava, menekan di kedua pipinya dengan jemari yang hina.
"Matilah, Ava. Susul ibu lo yang udah lebih dulu jadi ubi. Lo selalu kangen ibu, kan? Gih, susul."
Oh, ibu Ava ....
Gita memakai kiasan dengan kata 'ubi' dalam cemoohannya. Selayak ubi yang terkubur di tanah, begitulah kenyataan ibu Ava sekarang. Sudah tutup usia, jasadnya dikebumikan, Ava sendiri melihat bagaimana jasad ibunya dikubur kala itu.
Dan bising suara di kepala Ava tidak hanya soal Gita, tetapi Arsenino—pria yang pernah menjadi kekasih Ava sebelum kini jadi milik Gita—ikut berseloroh.
Arsen bilang, "Matilah cepat. Kamu harus mati supaya kami bisa lebih leluasa menggunakan sisa hartamu."
Sebab ternyata selama ini uang yang Ava hasilkan, yang dia berikan kepada Arsen untuk ditabung ... habis tak bersisa.
Waktu itu. Berpacaran dengan Arsen, Ava sepakat untuk membuat tabungan pernikahan karena memang hubungannya sudah jauh. Sejauh itu hingga Ava begitu memercayai kekasihnya.
Tak hanya uang Ava, Arsen juga ikut serta mengisi tabungan mereka. Malah yang Ava tahu, Arsen menabung lebih banyak. Namun, siapa sangka bila ada pengkhianatan di sini?
Dan yang tersisa di Ava adalah harta peninggalan orang tua, sedang dia pertahankan dari keluarga tirinya. Hanya saja sekarang ....
"Matilah, Ava." Hari yang semestinya menyenangkan untuk merayakan hari jadi dengan Arsen, menjadi nahas dan busuk.
Ya, busuk.
Ada sesuatu di makanan atau minuman Ava, lalu saat sesuatu itu bereaksi, Ava melihat senyum di wajah Arsen. Tak lama, muncul Gita.
Kalian tahu?
Mereka berpagutan detik itu. Saat Ava terbatuk, saat Ava merasa helaan napasnya begitu menyakitkan, secara terang-terangan Arsen menerima cumbuan Gita di bibir.
Gita lantas terkekeh, dia menatap Ava dan mendekat dengan segudang cemooh dari lisan hinanya.
Mengatai betapa bodohnya seorang Ava Aradhana.
Yang membuat Ava terluka, Arsen menunjukkan sisi lain dari sosok yang selama ini Ava hanya tahu lelaki itu di pihaknya. Lelaki itu mencintainya. Dan lelaki itu—akh!
Sakit.
Gita mendorong Ava, Arsen membiarkannya.
Dan saat lelaki itu mendekat, alih-alih menolong, Arsen justru mengatakan, "Cepatlah mati. Udah ada deretan agenda kami yang cuma bisa diwujudkan dengan uang banyak, Ava. Gita pengin buka studio sendiri, pernikahan kami juga pengin digelar dengan meriah, wisata bulan madu di luar negeri, dan utang juga antre minta dilunasi."
Jantung Ava seakan ada yang memukul kala Arsen bilang begitu. Orang yang pernah sangat dirinya kasihi.
"Syukurlah aku jadi pacar kamu, ya, Ava? Aku bisa kenal lebih deket sama Gita. Oh, ya, Ava. Kamu cinta aku, kan? Mati demi aku pasti lebih gampang ...."
Ava terhenyak. Kepalanya sakit, tetapi tak jauh lebih sakit dari hatinya. Pria yang dia cinta, yang selama ini Ava bersandar padanya, menaruh hati secara total dengan seluruh kepercayaan, hanya kepada Arsenino. Lelaki itu mengoyak perasaan Ava tanpa belas kasih. Bukan cuma berkhianat, tetapi juga bersekongkol dengan saudari tirinya?
Arsen ....
Laki-laki yang Ava gantungkan asanya, yang sudah seperti oksigen di hidup Ava. Karena hanya dengan Arsen, Ava bisa bernapas. Namun, oksigen yang membuatnya hidup itu ternyata beracun.
Ava tidak menyangka dan belum benar-benar beranjak dari rasa sakit berikut syoknya.
Masih di hari pengkhianatan Arsen, hari di mana Ava sangat terpukul atas fakta bahwa sang kekasih sudah sejak lama memacari Gita, kini mereka bahkan membunuhnya?
Ava sudah ditinggalkan sendiri.
Kiranya nanti mereka—saat Ava mati—akan merangkai skenario apa agar kematiannya ini tidak diklaim terjadi karena pembunuhan?
Oh, Ava tidak mau mati.
Tidak.
Jangan dulu.
Tuhan ....
"Kenapa, Va? Mau ngomong apa?" Sambil menyeringai. Wajah Ava sudah diempaskan Gita. Tadi. Ini kilas baliknya masih menari-nari.
Masih melintas bising suara dari ocehan mereka beberapa saat lalu di kepala Ava.
"Duh, Ava udah nggak bisa ngomong, ya?"
"Sakit tenggorokannya?"
"Panas? Eh, kepalanya pusing juga, nggak?"
"Bagus, berarti racunnya bereaksi. Betewe, ini racun yang sama kayak yang ibu lo konsumsi, lho, Va."
Di ambang sekarat, mata Ava sempat membeliak. Apa maksudnya? Ingin Ava ucapkan, tetapi tenggorokannya tercekat kuat. Yang ada dia malah terbatuk.
"Dan lo tahu siapa yang ngebubuhin racun di minuman ibu lo?" Gita senyum. "Haha! Bener. Mama."
Sempurna.
Mereka semua menyatu. Gita, Arsenino, dan ibu tiri Ava. Fakta itu diucap saat Ava tak lagi berdaya.
Argh!
Kekehan Gita, raut Arsenino yang iba dibuat-buat menjadi akhir dari bising isi kepala Ava detik ini. Berganti dengan suara denging yang panjang dan menyakitkan di telinganya.
Dada Ava bergemuruh kencang, detakannya semakin gila, dentum yang tercipta terasa memukul-mukul.
Oh, Ava ingin rasa sakit ini berakhir. Dia lantas tergerak, Ava berjalan sempoyongan menuju jendela kamar. Dibukanya lebar-lebar, di luar hujan turun dengan derasnya seolah langit pun berduka atas hidup Ava.
Pengkhianatan ....
Pembunuhan ibu ....
Sampai hari kematian Ava sendiri ....
Tuhan ....
Andai Ava diberi kesempatan hidup, sekali saja, andai bisa memutar ulang waktu, semustahil apa pun itu, andai ....
Ava akan—oh, tidak!
Pening di kepala mendera hingga tubuh Ava kehilangan daya, keseimbangannya terganggu, lalu ... badan lemahnya terlempar ke luar jendela. Walau sepertinya, mati dengan cepat pun menjadi bagian dari keinginan Ava hari ini karena sudah tak tahan dengan sakitnya.
Keinginan yang berlawanan. Ingin hidup, tetapi juga ingin mengakhiri rasa sakit yang dideranya kini, dan jalan satu-satunya adalah dengan mati.
Jadi, detik ini ... gedung berlantai-lantai yang tingginya lebih dari belasan meter itu, Ava terjatuh. Tubuhnya terjun bebas dengan cepat dan—brak!
Ava tersentak di meja kantornya.
Suara Gita menggebrak meja dan dia bilang, "Enak banget tidur. Sana, beliin minuman ke kafe sebelah!"
Tunggu.
Apa ini?
Apa yang terjadi?
Ava menatap Gita dari kepala sampai kaki, lalu dia menatap sekitar. Mata Ava memindai. Hingga berakhir di jemari tangannya sendiri.
"Ck, buruan!"
Gita menarik tangan Ava, sontak Ava lantas berdiri. Tegak menapak di lantai. Ava juga dapat merasakan sentuhan, mendengar suara-suara, hingga melihat—dan apa yang dia lihat terkesan sangat nyata.
Mungkinkah ... dia hidup kembali?
Oh, atau ... yang tadi itu mimpi?
Tidak. Rasa sakitnya begitu jelas, sensasi terjun dari gedung apartemennya juga bisa Ava ingat hingga tubuhnya meremang.
Dan yang sekarang Ava hadapi ini terasa mustahil, tetapi ... masa lalu mengalir deras. Bila ini mimpi, mana ada mimpi yang sebanyak dan sejelas itu bisa teringat. Mimpi yang baru dialami pun seringnya sudah lupa. Lantas, ini nyata?
Ava benar-benar hidup kembali.
Oh, ya ampun.
Ditekannya gejolak dendam atas serbuan kisah masa lalu yang melintas di kepala. Tentang Gita ... saudari tirinya.
Kini, Ava pun meraih uang yang Gita letakkan di meja sambil menggebrak tadi.
"Minuman yang biasa, kan?" Ava memastikan.
Benar-benar terasa sangat real.
"Iya, ah. Lama!"
Patuh, Ava berjalan ke luar. Sebagaimana dulu, dia selalu mematuhi apa yang Gita perintahkan, apalagi di lingkungan kantor yang sangat menjunjung nilai hierarki.
Sepanjang jalan, Ava mengulas kenyataan yang masih belum bisa benar-benar dia percayai. Tentangnya yang hidup kembali, bahkan terbangun di ... tanggal berapa sekarang?
Ava bertanya kepada mbak kasir yang melayaninya. Ponselnya tak Ava bawa tadi, langsung beranjak ke sini.
Rupanya, ini hari-hari di setelah kematian ibu.
Ah, sayang sekali ....
Tapi tak apa.
Bila memang ini nyata, begini saja sudah sangat cukup bagi Ava.
Benar.
Di kedai kopi, sementara menikmati kue, Ava termenung.
Doaku dikabulkah?
Ava menyentuh-nyentuh tangannya sendiri.
Kesempatan kedua?
Tapi bagaimana bisa ada kenyataan seperti ini?
Batin Ava bergemuruh bising. Gemuruh yang perlahan jadi menggebu.
Of course, Ava. Bukannya kamu tinggal nyusun rencana buat membalas semua rasa sakit di kehidupan sebelumnya ke mereka?
Benar.
Mama tiri, Gita, dan ... Arsenino.
Semua yang terjadi terhadap Ava adalah hasil konspirasi mereka. Mulai dari pembunuhan ibu, pengkhianatan kekasih, dan kematian Ava.
Oh, jemari Ava mengepal. Rahangnya mengetat.
Tak akan Ava biarkan hidupnya yang ini mengalir seperti kehidupan Ava dahulu.
Pengkhianatan yang hanya Ava tangisi, rasa sakit yang hanya Ava terima, sekarang saatnya Ava membayar lunas semua kepahitan itu kepada mereka.
So, Ava kembali. Menyerahkan minuman kepada Gita. Tak lupa untuk mengulas senyuman.
Kali itu ... senyumnya palsu.
Terang saja, di kehidupannya yang ini Ava bertekad untuk mengubah takdir. Tak akan dia sia-siakan.
Ava yang dulu, kan, sudah mati. Yang lemah, yang tidak berdaya, yang mudah ditindas, yang mudah percaya dan naif ... sudah mati.
Sementara itu, di belahan bumi lain ....
"Beli perusahaan Diamond Dreams dan siapkan tiket pulang."
Seorang pria tampan memerintah asistennya.
"Baik, Pak."
***