2. Liam Abraham

1539 Kata
Seorang pria bertubuh tegap, dengan sorot mata tajam yang memancarkan amarah terpendam, berdiri kaku di sisi ranjang rumah sakit. Rahangnya mengeras saat menatap sosok mungil yang terbaring lemah di bawah selimut putih. Arabella—putri kesayangannya—ditemukan hampir pingsan di toilet kampus sore itu. Sudah dua hari dia terbaring di ruang perawatan, tidak banyak bicara, matanya kosong. Dokter menyebutnya trauma psikis. Dan semua ini terjadi akibat ulah seorang mahasiswi sombong yang berani menyentuh darah dagingnya. Kabar itu dia dapat dari salah satu sahabat dekat Bella, yang datang menjenguk ke rumah sakit tidak lama setelah dia mengantar putrinya. Dari bibir gadis itu, terucap sebuah nama. Satu nama yang langsung melekat di ingatan, dan sejak detik itu, dia bertekad untuk mencari tahu siapa sebenarnya mahasiswi tersebut. Liam Abraham memilih meninggalkan ruang rawat putrinya begitu notifikasi pesan berdering di ponselnya. Langkahnya mantap, sorot matanya dingin. Di luar ruang inap, dua pria berpakaian gelap sudah menunggunya—anak buah kepercayaannya. “Sudah dapat?” suaranya tenang, namun mengandung tekanan yang membuat kedua pria itu saling melirik sebelum menjawab. “Ya, Bos. Ini ….” Salah satu dari mereka menyodorkan ponsel berisi data lengkap targetnya. Liam menatap layar. Foto-foto seorang gadis muda muncul—Nadine Alexandra. Senyum di bibirnya tipis, nyaris tak terlihat. “David Alexander ayahnya, Bos. Ibunya dokter di rumah sakit ternama,” lapor anak buahnya lagi. Liam mengangkat alis. “David ... si pejabat itu?” “Benar, Bos. Gadis itu anak tunggal. Dia selalu ditemani pengawalnya bernama Argantara. Pemuda itu juga merangkap sebagai supir pribadinya. Mengantar ke mana pun dia pergi.” Liam mengusap dagunya, tatapannya penuh kalkulasi. “Kecuali mandi dan tidur, kan?” ujarnya datar, namun cukup untuk membuat kedua anak buahnya mengerti kemana arah pikiran bosnya. Kedua anak buahnya terdiam, lalu menunduk. Mereka sudah paham—itu bukan sekadar gurauan. Liam memutar ponsel di tangannya, menatap foto Nadine sekali lagi dan memandanginya cukup lama. “Dia suka pesta. Klub malam, minuman mahal, lingkaran pertemanan yang itu-itu saja,” ucapnya pelan, seolah sedang menulis peta di pikirannya. “Cari tahu tempat yang paling sering dia datangi. Jadwalnya. Kebiasaan buruknya. Aku mau tahu jam berapa dia keluar, siapa yang biasanya ada di sekitarnya, bahkan kalau dia hanya keluar untuk membeli kopi.” “Siap, Bos.” Liam melirik mereka sekilas. “Dan satu hal lagi ....” Suaranya merendah, dingin. “Saat waktunya tiba, aku mau dia dihadapkanku tanpa ada yang tahu dia menghilang. Tidak ada jejak. Tidak ada saksi. Paham?!” Kedua pria itu mengangguk cepat, sebelum bergegas pergi untuk mengeksekusi perintah. Liam berdiri di lorong rumah sakit, memandangi pintu ruang rawat putrinya. Jemarinya mengetuk pelan ponsel yang masih menampilkan wajah Nadine Alexandra di salah satu media sosial milik gadis itu yang mana banyak sekali tersimpan foto-foto pribadinya bersama teman-temannya. “Sampai jumpa, Little bird ...,” bisiknya, lalu dia berjalan pergi, meninggalkan hawa dingin yang seolah mengendap di udara. *** Nadine menggigiti kuku jarinya ketika tatapan matanya membaca sebaris pesan informasi di grup kampus yang membahas tentang Arabella. Gadis itu diketahui sedang dirawat di rumah sakit mengalami gangguan mental sejak dua hari lalu. Dia sadar betul apa yang terjadi dan itu adalah ulahnya. “Apa yang lo lakuin, Nad?!” Suara Gita memecah keheningan, tajam dan penuh amarah. “Gue kan udah bilang, jangan ganggu dia.” “Gue ... gue lepas kontrol, Git,” jawab Nadine menghela napas berat. “Gue cuma pengen nakutin dia. Gue gak nyangka kalau—” “Lo harus minta maaf, Nad.” Sara memotong ucapan Nadine. “Bukan lo aja yang salah, gue juga terlibat.” Nadine berdecak, memalingkan wajah ke arah lain. Dia benci berada di posisi seperti ini, dipaksa mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf. Itu bukan dirinya. Freya, yang sejak tadi hanya diam sambil mengaduk minumannya, tiba-tiba saja mencondongkan tubuh hingga ke tengah meja. Suaranya direndahkan, seolah menyampaikan rahasia penting pada ketiga sahabatnya. “Dari yang gue dengar .... ayahnya si Arabella ini punya pengaruh kuat di kampus kita, lho.” Sara dan Gita saling berpandangan, ekspresi mereka jelas berubah khawatir. Meskipun Gita sama sekali tidak tahu menahu apa yang dilakukan oleh Nadine, tetap saja semua orang pasti akan tertuju ke arahnya, karena semua orang tahu kalau dia sudah bersahabat lama dengan Nadine dan selalu kompak. Alasan apapun tidak akan ada yang peduli jika dia membela diri. Nadine justru hanya menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan tangan, dan tersenyum miring. “Terus kenapa? Bokap gue juga punya pengaruh kuat di kota ini,” ujarnya santai, seolah ancaman itu hanya angin lalu. Freya hanya mengangkat alis, seperti tidak yakin dengan rasa percaya diri Nadine. “Gue cuma bilang ... jangan sampai lo salah langkah. Soalnya yang satu ini beda.” Nadine terkekeh pelan, tatapannya menantang. “Gue gak pernah salah langkah, Frey. Orang kayak Arabella itu paling juga cuma cewek manja. Dan, gak lama lagi ortunya pasti nyari gue dan kita bahas masalah itu dengan alasan salah paham habis itu selesai, deh.” Sara menghela napas berat, tahu percuma memperingatkan. “Ya udah, Nad, asal inget aja, setiap orang punya titik balik. Dan lo gak akan tau kapan giliran lo.” Gita segera memecah ketegangan dengan nada lebih ceria. “Udah ah, ngomongin yang nyebelin mulu. Eh, jadi kan lo rayain ultah di Velvet Lounge, Frey?” “Fix!” sahut Freya semangat. “Gue udah booking VIP room. Dress code-nya gold and black, biar elegan.” Nadine tersenyum lebar. “Perfect. Gue bakal nyari gaun yang bikin semua kepala di sana noleh ke gue.” Seperti biasa Nadine dan kepercayaan dirinya yang tinggi. Namun, hingga kini tidak ada satupun pria yang berhasil mendapatkan hatinya. Nadine hanya menyukai Devan, dan sayangnya pria itu sama sekali tidak pernah menaruh hati pada Nadine. “Termasuk cowok-cowok incaran lo, kan?” Gita menggoda, disambut tawa renyah mereka bertiga. Bagi Nadine, malam itu nanti akan jadi malam penuh kemewahan—tanpa dia sadari, justru di sanalah langkahnya mulai terhenti. *** Liam berdiri di belakang pintu dengan kedua tangan terlipat, tatapan matanya tak lepas dari sosok wanita yang tengah merapikan selimut di tubuh Arabella yang tertidur lemah. Wanita itu—Karenina—menoleh. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang berusaha dia kendalikan. “Kamu harus menemukan pelakunya, Liam. Aku tidak mau hal ini dibiarkan begitu saja. Dia harus membayar perbuatannya dengan setimpal.” Rahang Liam mengeras. “Ya. Aku sedang merencanakannya.” Karenina, mantan istrinya, menyipitkan mata. “Merencanakan apa?” Liam hanya menatap mantan istrinya tanpa menjawab. Tatapan itu cukup untuk membuat Karenina tahu, bahwa apa pun yang sedang dia pikirkan, Liam tidak akan membagikannya. Seperti dulu, semua tampak rahasia. “Aku akan urus ini,” ucapnya datar, sebelum berbalik meninggalkan ruangan. Karenina menatap punggung pria itu, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi dia terlalu sibuk memikirkan kondisi Arabella untuk menggali lebih dalam. Begitu pintu tertutup, Liam merogoh saku celananya. Ponselnya bergetar, menampilkan nama salah satu anak buahnya. “Bos, kita sudah menemukan waktu yang tepat untuk melakukan aksinya,” suara di seberang terdengar mantap. “Kapan?” “Malam ini. Di pesta ulang tahun sahabatnya. Lokasi dan aksesnya sudah kami kuasai. Kita tinggal beraksi saja, Bos.” Liam mengangkat sudut bibirnya. “Bagus. Jangan buat kesalahan.” Telepon terputus. Pandangan Liam mengeras, seolah dalam pikirannya sudah tergambar jelas bagaimana malam itu akan menjadi titik awal balas dendamnya pada Nadine Alexandra. “Kita akan segera bertemu, Little bird.” *** “Jangan sampai mabuk, jangan pulang larut, ingat harus selalu berada di dekat Non Nadine.” Bu Kinar kembali memperingatkan putranya yang mana malam ini akan menemani Nadine ke acara pesta ulang tahun sahabatnya. Sore tadi dia sudah menghubungi Yura, ibunda Nadine hanya untuk memberi tahu kalau malam ini putri semata wayangnya akan pergi ke pesta dan pastinya pesta yang cukup liar. “Kenapa Bibik lapor ke saya? Biasanya juga dia pergi ditemani Arga, dan mereka baik-baik saja kan?” “Saya hanya ingin memberi tau nyonya, barang kali ada nasihat untuk Nadine.” “Saya sudah percayakan Nadine pada Bibik dan juga Arga, dan selama ini Nadine baik-baik saja kan?” Bu Kinar hanya menggelengkan kepalanya, selalu seperti itu. Dua orang itu hampir tidak pernah peduli pada putrinya sendiri dan merasa kalau harta sudah membuat Nadine tercukupi. Sementara kasih sayang? Tidak sama sekali. Suara ketukan heels sepatu yang beradu dengan lantai marmer terdengar cukup nyaring. Kinar dan Arga menoleh ke arah tangga, sosok Nadine baru saja turun dari lantai atas mengenakan dress hitam ketat yang membungkus tubuhnya yang ramping. “Tada!” Nadine memutar tubuhnya memamerkan dress yang dikenakannya. “Aku cantik kan, Bu?” tanyanya. “Cantik. Selalu cantik. Tapi ingat jangan banyak minum, jangan pulang larut, nanti ibu tidak bisa tidur mikirin Non Nadine yang belum pulang.“ Bu Kinar kembali mengungkapkan raut khawatirnya. Nadine lantas memeluk tubuh Bu Kinar dari samping. “Tenang saja, ibu, kan ada Arga.” “Tetap saja ibu khawatir.” “Kami berangkat. Dah, ibu.” Nadine lantas mengecup pipi Bu Kinar dan melepaskan pelukannya. Setelahnya dia melangkah lebih dulu yang kemudian diikuti oleh Arga. Sepeninggal mereka, entah mengapa perasaan Bu Kinar tidak nyaman. Dia memegangi tengkuknya yang tiba-tiba saja meremang. “Semoga malam ini seperti malam sebelumnya, Arga membawa pulang Nadine ke rumah tidak kurang satu apapun.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN