Aku menyesal, benar-benar menyesal sudah mengaku pada Mas Dilan. Lihatlah, dia saat ini masih belum berhenti tertawa setelah membaca isi suratku. Lebih tepatnya, surat cinta yang kutulis di tahun pertama kuliah. “Dear, Kak Dilan—“ “Mas Ilan, udah, dong, ngeledeknya!” Mas Dilan langsung menghindar ketika aku hendak merebut kembali surat yang sudah lusuh bukan main karena tersimpan bertahun-tahun di dasar dompetku. Iya, dompet yang bahkan aku dapatkan dari bonusan beli tas jinjing. “Bisa-bisanya, kamu bikin surat cinta tapi enggak tahu orangnya?” “Salahkan aja panitia OSPEK! Aku beneran cuma ngikutin mau mereka.” Mas Dilan melipat suratku, lalu menaruhnya ke dalam saku celana. “Kayaknya cuma kamu di fakultas teknik yang waktu itu enggak tahu aku, De.” “Dih, pede-nya selangit!”